Saturday, February 12, 2005

Titik Kritis

Saya jarang sekali duduk-duduk di halte bis stasiun ui, seperti hari ini. Biasanya manajemen waktu saya ketat, tergesa-gesa mau ngajar atau mau rapat yang mengharuskan segera sampai fe. Jika dana berlebih, ya naik ojek. Jika tidak, terpaksa jalan kaki ekstra cepat--kurang dari lima menit--yang buntutnya ngos-ngosan sampai fe.

Tapi hari ini saya duduk-duduk nunggu bis kuning. Sendirian. Sambil makan rujak. Sedang pikiran ngalor-ngidul ke skripsi, sertijab fsi sore nanti bahkan ke suara bising marching band ui di sebelah yang lagi open recruitment. Saya duduk di deretan ujung, laki-laki semua, tapi untungnya tidak sepadat ujung satunya yang overloaded. Lumayan lama, sampai saya bosan banget. Rujak tinggal setengah, tapi bis tak kunjung tiba.

Karena bosan dengan pikiran yang mengawang-ngawang, saya memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang istimewa. Tapi yang menarik adalah laki-laki disamping kanan saya. Ia sedang membeli gorengan. Lha, apa menariknya ? Sabar, dong. Penjualnya yang membuat saya melirik dua kali. Kenapa, cantik, seksi ? J Bukan. Hhh..saya jadi miris nulisnya, tapi ya itu realita ya. Dikuatkan, Des. Penjualnya dua anak kecil. Laki-laki. Bersaudara. Yang satu kira-kira berusia 7 tahun, dan satunya lagi 6 tahun. Usia sekolah. Mereka berjualan gorengan dalam baskom besar yang ditutupi plastik. Sepertinya berat, karena adiknya tidak kuat mengangkatnya.

‘Siapa yang goreng ?’ mas-mas sebelah saya bertanya
‘Ibu….’ mereka menjawab sambil loncat-loncat, saling bercanda. Duh, anak kecil…

Pikiran saya melayang. Saya punya adik kecil, usianya hampir 5 tahun. Dan saya tidak bisa membayangkan jika setahun kemudian ia bekerja. Jika orangtua saya tidak sanggup membiayai misalnya, saya tentu akan mati-matian membiayainya. Dan saya pikir demikianlah perasaan seluruh kakak di dunia. Bukannya saya berpikir dikotomi ya. Saya mengagumi Aa Gym misalnya yang telah bekerja dalam usia tujuh tahun, meski hanya jadi loper koran. Tapi meski mengagumi, menghargai dan menghormati hal tersebut, di benak saya—konvensional banget—dunia anak-anak adalah dunia tawa dan canda, belajar sambil bermain. Ceria. Riang.

‘ooh…ada bis lurus dan bis belok. Bis belok yang kemana ?’ si kakak bertanya
‘belok ke kanan. Emangnya mau jualan dimana?’ Mas sebelah saya balik nanya.
‘kampus ui’
‘lha, ini kan kampus ui’
‘ya, naik yang lurus aja yuk’ ajak si kakak ke adik. Si adik hanya mengangguk. Gak ngerti saya, keputus sih omongannya.

‘eh, dik, kalau mau jualan, jangan ditaruh aja, diangkat terus ditawarin ke ujung sebelah’ Mas yang duduk di sebelah kiri saya memperhatikan juga ternyata.
Mereka ketawa sambil loncat-loncat lagi.

Saya jadi sentimentil, nih. Mungkin karena ingat adik saya. Kemana orang tuanya ? jadi tukang becak dan tukang cuci, mungkin. Sedang sakit, barangkali. Pikiran saya masih egois, saya beranggapan adalah kewajban orang tua untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya. Lha, kalau orang miskin, gimana des? ……….Pemerintah……... Nah, itu lagi, ini indonesia, honey, get real !

Bis kuning datang. Kanan alias belok. Saya naik. Dan anak kecil tadi naik. Nah lho? Gak konsisten gini. Maklum anak kecil. Dan ternyata kampus ui yang mereka maksud itu fisip karena mereka turun di pemberhentian pertama, fisip. Apa jangan-jangan gak ngerti ya. Mungkin iya……. Ada yang ngilu di hati saya, mereka tetap tertawa-tawa dan meloncat-loncat, sumringah banget, padahal dagangannya belum laku, kok tahu ? ya, kelihatan penuh dan berat gitu, sedang hari bergerak menjelang sore. Makanya des, jangan keseringan ngeluh, mereka aja…duhai, Robb….

Saya merasa, sudahlah, tidak perlu mengeksploitasi perasaan. Tapi saya di sini, di ui, di kampus pencetak pemimpin bangsa. Dan saya bisu, gagu, lumpuh. Masa ? Jelas, karena tangan saya kaku untuk dapat mengubah sesuatu…Saya sering mengeluh, berkoar-koar tentang kondisi seperti mereka atau bahkan lebih parah lagi, tapi apa yang sudah saya perbuat ?!?

Saya jadi teringat waktu tingkat satu. Waktu itu ada atraksi topeng monyet di fe. Teman saya, deni yang kebetulan non islam, tertawa terbahak-bahak. Saya tegur dia, kok bisanya tertawa-tawa gitu, saya pikir kan bapak itu terpaksa banget jadi tukang monyet dan monyet itu pasti juga tersiksa banget. Pekerjaan macam apa itu. Bukan bikin ketawa, tapi buat perih hati. Eh, dia malah balas, ‘des, lakukan sesuatu, jangan bicara doang’. Dugg, tajam, sakit sedikit, tapi setelahnya, dan jauh setelahnya saya mengangguk mengiyakan.

Hhh…saya suka sekali bilang, kita ini mahal. Kita harus berdaya guna. Kita harus bermanfaat. Kita harus jadi orang hebat. Kita? Siapa kita ? Kita, yang dikaruniai Allah untuk mengenyam pendidikan tinggi di ui. Kita, yang tertarbiyah dengan islam. Mahal, jelas, karena tidak semua orang seberuntung kita. Dan karenanya, beban yang kita tanggung, lebih berat. Bagaimana menebarkan nilai-nilai dan kemampuan yang kita dapat dari kampus, yang jarang didapatkan selain dikampus, pada masyarakat luas. Pada mereka yang mungkin menyusuri jalanan dengan mengamen, mendorong gerobak atau bahkan mengemis….

Saya, yang sedang dalam titik kritis hidup, ingin melakukan apa, harus melakukan apa, dan bagaimana melakukannya……


14 Juni 2004