Monday, October 24, 2005

...pun derap juga

kemilau yang berpendar itu,

adalah cahaya....

derap yang berbalut rindu,

pun derap juga.....

percikannya pecah

dan bilur-bilur pun mengalir...

berjejak...

Hhh... malam itu, didepan tv, saya tertegun. Saya sering mendengarnya. Namun setiap kalinya, selalu berkesan. Selalu lebih kuat.

”Lho, bukannya saya ingin kaya, tapi saya harus kaya” diiringi derai tawa Aa Gym.

Hhmm.. begitulah, akhir-akhir ini saya jadi sering sekali berpikir tentang kekayaan. Bukan, bukannya saya tidak sepakat dengan ucapannya Aa Gym. Tapi justru karena saya mengiyakan setiap baitnya. Muslim memang harus kaya. Tapi, masalahnya, siapa sih yang layak disebut kaya itu ? Lalu, sebanyak apa kekayaanya ?

Ide yang paling umum, orang kaya adalah orang yang punya rumah di deretan Valentino-nya kompleks bintaro plus honda jazz terbaru digarasinya. Mmm, tapi kalau rumah itu berarti kredit dua puluh tahun plus mobil itu tambahan lima tahun kredit lagi, judulnya adalah gak tenang. Mau pakai istilah credit card kek, KPR plus plus kek, itu tetap saja hutang. Yah, seperti beberapa kenalan saya yang kebetulan pasangan muda dan punya double income. Lha des, terus kalo ngontrak terus, judulnya juga deg-degan. Aah, itu diluar konteks yah, kan tulisan ini tidak memuat tips-tips bagi pasangan muda. Tapi lebih luas lagi J

Lalu, ide yang lain ? mmm... mungkin seperti senior saya di kantor, yang anaknya cuma dua dan kebetulah dua-duanya sudah di perguruan tinggi, tapi pembantunya di rumah ada empat. Pasti kaya banget kan. Eh, tapi kalau menjelang lebaran ini, dia panik luar biasa karena pembantu-pembantunya pulang kampung semua, menurut saya dia harus kita coret ya. Lha, wong, mempertahankan sesuatu saja ’nda bisa, rasanya dia tidak sungguh-sungguh kaya.

Ooh ya, ada lagi, mungkin seperti cerita teman saya, yang kaya itu adalah perempuan yang jadi manager di perusahaan bagus dan suaminya pejabat pemerintahan dan petinggi partai yang sedang berkuasa. Kaya dong, tentunya, bukan double income lagi tapi multi income. Aah, tapi kalau sebentar-sebentar anaknya yang perempuan – yang ternyata ga pe de sama sekali -- minta operasi bedah plastik kakinya karena kurang seksi, atau hidungnya yang dirasa kurang bangir dan gak berbentuk segitiga ( nah lho ?? ). Dan kebetulan minta operasinya di Perancis atau di MayoClinicnya Rochester, kan ga normal tuh. Cash flow nya balance sekali. Uang yang masuk sederas uang keluar. Atau mungkin malah cash flownya bleeding lagi. Di reject saja pendapat teman saya itu.

Terus, siapa dong yang kaya itu? Kalau ini bukan, itu ditolak. Ooopss, pasti artis ya, artis kan pemasukannya bisa setengah milyar ya dalam semalam. Wah, kalau artis sih, sudah ga masuk list dari awal. Kok bisa ? Ya iya dong, kan para artis ini ga bisa membeli kebebasannya. Waktu-waktu pribadinya. Di gosipin terus.

Haha... terus siapa dong yang kaya itu? Jangan-jangan ga ada lagi, bottom line-nya aja ga jelas gitu. Sebelumnya, saya juga berpikir begitu. Rasanya orang yang saya cari tidak nyata. Adanya hanya pada tataran teoritis atau di alam saat semua garis adalah kebaikan. Tapi, akhir-akhir ini saya baru menemukannya. Dan, heyy, look, ini bukan di negeri dongeng. Mereka ada, dan real !

Salah satu contohnya ya, salah seorang teman kantor saya, ibu-ibu. Sangat sederhana, bahkan untuk ukuran karyawan kantoran. Posisinya dikantor biasa saja. Suaminya pegawai negeri biasa. Anaknya empat, laki-laki, usia sekolah semua. Tapi ternyata sedekahnya untuk para satpam/cleaning service/messenger – itu lho yang bawa-bawain surat dari lantai ke lantai -- /host -- itu lho, yang suka beliin makanan kita kalau malas turun ke kantin – jumlahnya sangat besar, bahkan lebih besar dari salah satu manager saya. Kok saya bisa tahu ? Iyya dong, saya kan ga sengaja ngintip dari listnya. Dan saya terharu. Seketika. Dia gak repot ngurusin baju kebaya baru, atau model tas manik-manik baru dan perkara-perkara ibu-ibu lainnya, tapi justru memindahkan konsentrasinya untuk memberi banyak pada yang lain. Dia, menurut saya, sangat kaya.

Seorang teman perempuan saya pun saya sebut sangat kaya. Dia bekerja di perusahaan yang menurut saya sih ga manusiawi, kerja dengan waktu di luar batas toleransi saya. Mending gajinya sepadan bebannya, tapi nope tuh. Saya berkali-kali bilang padanya, tapi dia bilang bekerja itu ibadah, dan yang penting ikhlas, sampai Allah menentukan sesuatu yang lebih baik. Hh.. susah deh, kalau orang terlalu baik begini. Terlalu ’nrimo, tidak punya daya pemberontak. Haha.. untungnya imannya kuat, tidak terpengaruh saya J. Tapi yang saya kagumi, dia rela membelah-belah dirinya demi sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Di sisa-sisa waktunya – yang masih aktif di berbagai kegiatan --, masih sempat ngurusin bazaar ramadhan di balaikota hari ini sampai rela menguras uangnya, tenaga dan pikirannya tentu. Dan saya yakinnya, besok senin, dia pasti sudah stand by di kantor dengan kalem tanpa ada orang yang mengira dia sudah melakukan hal besar kemarinnya. Seseorang yang tidak hanya memikirkan segala pernak-pernik tentang dirinya, tidak hanya berpusat pada dirinya, tidak egosentris, dan masih memiliki energi banyak untuk memberi dan berbagi pada yang lain adalah sangat kaya menurut saya.

Oh ya, adalagi yang kaya menurut saya, seorang laki-laki, usia pertengahan. Saya melihatnya saat di kereta suatu siang. Biasa saja. Tipe bapak-bapaklah. Tapi saya jadi memperhatikannya. Lekat. Habis hatinya baik sekali. Terharu sekali saya melihatnya. Dia tidak membiarkan satu pengemis/pengamen/anak-anak yang menyapu sambil menadahkan upah di kereta itu --– yang jumlahnya buuanyaaakk sekali itu --- lewat didepannya tanpa ia menyodorkan sehelai kertas. Entah laki-laki itu baru dapat bonus mungkin, atau warisan, who knows. Tapi orang yang tidak membiarkan tangan dibawah lewat dengan hampa begitu saja dari hadapannya adalah orang yang kaya, menurut saya. Meskipun dia sudah membayar zakat atau sedekah ditempat lain, misalnya.

Karena mengutip ucapan ayah saya ya, sedekah itu adalah wujud nyata kemurahan hati. Kalau zakat, bukan tentang kemurahan hati, tapi tentang kebesaran hati, karena zakat adalah hak orang lain. Nah, kalimat terakhir ini yang membuat mendung saya kemarin sore sirna seketika. Dan saya merasa sangat bodoh setelahnya. Iya dong, zakat adalah hak orang lain, hak fakir miskin, hak para mualaf, hak pejuang fii sabillilah, dan hak orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Tidak pernah sekali pun jadi milik kita. Hanya kebetulan dititipkan pada kita.

Makanya, saya menertawakan diri saya sendiri, lama, kok bisa-bisanya cemberut hampir seharian gara-gara terlalu nervous menghitung zakat tahunan saya. Lha, logikanya kan dapat, hak orang lain toh. Bukan milik kita. Kok seperti melepas sesuatu yang begitu lekat ? poor me...

Setelahnya dengan semangat seorang relawan baru pengumpul zakat plus galak sedikit, saya sms teman-teman saya, ayo, hitung zakat dengan teliti. Mobil, coba dimasukin. Emas, coba ya, dihitung juga. Usaha-usaha, dagang, ternak lobster, konsultan komputer, coba ya, teliti ulang – kebetulan beberapa teman ada yang berwiraswasta --. Haha.. gak apa-apa galak sedikit, inginnya kan kaya bareng-bareng, iya gak ?

Jadilah sore itu sore pembelajaran menjadi kaya. Ingin kaya, berzakatlah... bisik saya berkali-berkali. Mmh.. setelah dipikir-pikir, motto itu bagus juga, kok jadi narsis gini. Saya tergelak pelan sambil mematikan televisi. Famous to famous-nya baru saja usai. Yup, bismillah, sebuah usaha kan, sama-sama pejuang kan, untuk mendekat pada Pusat Seluruh Cinta... Insyaallah kita bertemu disana ya... Janji ?

Ooopss, saya tersentak, tiba-tiba, eh, wait deh, ada yang melintas cepat, jika zakat profesi 2,5%, zakat maal 2,5%, terus.. terus.. zakat bonus itu kan 20%... Huuaaah.. THR itu masuk zakat bonus gak ya? Terus bonus review performance tengah tahun saya kemarin... itu 20% juga-kah ? Jika iyyyaaa…………

Adduhh, hati, mengapa begitu membenci surga sih ???

-dns-

Late nite, 23 oct 05

with backsound Bila Waktu Tlah Berakhir-nya Opick..

mmh… jika sungguh-sungguh waktu telah berakhir???

Tuesday, October 18, 2005

Kasih Sayang No. 37

Saya memiliki kesulitan yang tidak biasa untuk perempuan pada umumnya. Kesulitan yang sedikit menghambat saat berinteraksi dengan rekan sekantor, tapi seringnya menyelamatkan saya untuk begitu banyak situasi. Percaya atau tidak, saya tidak suka berbelanja. Shopping. Deng dong.. Yup, berbelanja. Saya paling sulit menentukan pilihan saat belanja. Ciri-cirinya mudah, pada jam-jam awal saya akan mulai pusing, terlalu banyak pilihan, sedang saya hanya butuh satu, lalu tatapan saya mulai kabur, dan terakhir saya benar-benar butuh udara hangat sinar matahari dengan angin pelan yang meniup.

Jadi, biasanya strategi saya saat berbelanja adalah dengan dua kali datang ke toko tersebut. Tidak efisien memang, tapi efektif. Yah, begitulah menurut saya. Kedatangan pertama, saya melakukan survei. Saya tulis kebutuhan saya dan saya rinci apa yang saya inginkan untuk dibeli. Lihat-lihat beberapa keliling. Dan lalu pulang. Memikirkan dalam-dalam pilihan yang ada, mengurai untung ruginya, keinginan versus kesanggupan, dan akhirnya memutuskan. Pada kali kedua, saya langsung menuju pilihan saya dan menutup acara berbelanja super singkat tadi dengan menuju kasir.

’Aneh’, kalau kata rekan sekantor saya. ’Kamu perlu ikut kelas berbelanja’, kata yang lainnya. Tapi saya hanya meringis. Dan hal ini terjadi saat kami rekan satu departemen outing ke Bandung, menyusuri Factory-Factory Outlet di sepanjang jalan. Tema besarnya adalah berbelanja. Dan alhasil, belanjaan saya paling minim. Itu pun tidak ada untuk saya pribadi. Hanya beberapa helai baju untuk yang lain. ’Lho, des, katanya butuh beli sepatu? Di sini murah dan bagus lho, di Jakarta belum tentu dapat harga segini... ’ Saya hanya nyengir. Lebar. Masalahnya saya tidak bisa berpikir jika orang banyak berjubel dan barang-barang bertebaran.

Tapi baiklah, saya tidak ingin berbicara tentang style belanja saya lebih lanjut. Tapi masih ada kaitannya dengan belanja. Tentang tas Louis Vuitton. Tentang berlian. Tentang berdamai dengan hati. Tentang ahh.. suatu siang di bulan September.

Selepas makan siang, saya diajak dadakan oleh beberapa rekan kantor mencari kado untuk rekan satu departemen yang menikah minggu ini. Umumnya sih diberi uang mentah ya, tapi karena ingin terasa pribadi dan berhubung yang menikah adalah teman dekat, maka layaknya dicarikan barang yang sense personalnya jangka panjang. Kami melaju menuju Sogo – Plaza Indonesia. This is my first time – honestly.

Di Bogor belum begitu ramai dengan mal-mal besar dan pusat perbelanjaan mewah, tapi akan ramai sepertinya, mengingat Plaza Ekalokasari, Sarinah dan Bogor Trade Mall mulai berwujud. Lain dengan Depok, yang jeda sepuluh meter, sudah berdiri mall lagi, lihat saja ITC, Depok Town Square, lalu apalah itu yang pembangunannya bising sekali. Paling saya sempat melongok mal-mal mewah di KL, cuma melirik, melirik tidak akan membuat kepala saya sakit, saya tidak melihat label harganya dan saya pun tidak berniat membelinya. Hahaa…

Dan jadilah saya ke Sogo. Menanjak keatas setelah Avanza teman diparkir aman di basement. Saya melewati panggung utama yang biasanya digunakan syuting Citicard atau apalah acara jetset di MetroTv itu. Lalu menyusuri beberapa counter. Saya merasa seperti tidak di Indonesia. Lebih cocok di luar negeri. Entah saya yang terlalu ‘sederhana’ dan kurang membuka mata, atau memang benar ini tipikal mall mewah setaraf internasional.

Hati saya menggeleng keras, benar-benar jurang itu sedemikian dalam. Indonesia, sebuah negeri yang gemanya sangat memilukan hati. The have and the haven’t.

Beberapa counternya berkilauan, iyalah… Counter berlian gitu lo. Saling mengintip di balik kaca. ‘Itu tuh des, yang putih bundar, itu yang paling mahal..’

Dan ekor mata saya melirik perlahan, mencari label harga.

Wwhaattt, harganya delapan puluh juta !!! Seribu badai topan kalau kata Kapten Cook. Dan ada yang sakit jauh di lubuk hati saya. Tidak terbayang orang yang memakainya, saya pikir, tangannya pasti berat sekali. Dan pasti sering kali melambai-lambai menunjukkan cincin berliannya. Haha.. saya jadi teringat episode ceramah Aa Gym tentang ini.

Ya, sepertinya ingatan saya tahu ada cincin semahal itu, tapi rasanya itu tiak real, tidak mungkin ada di Indonesia, Indonesia sedang prihatin, BBM naik seratus persen. Teman saya nyeletuk, itu lho, sama persis yang dipunya artis ini. Mulut saya kaku, mendengar dan membaca sesuatu memang begitu berbeda dengan melihat sendiri secara nyata label harganya.

Saya teringat beberapa hari lalu, ada pameran berlian berjalan dari meja ke meja di kantor. Seorang teman berdagang beberapa berlian. Besar-besar dan ’ibu-ibu banget’ gayanya. Saya tidak menanyakan harganya. Tapi teman-teman kantor yang sudah berumur alias ibu-ibu asyik mengerubungi kilauan-kilauannya.

Kami beranjak melewati counter lain. Counter tas Louis Vuitton. Saya tak tahu apa hebatnya tas itu, selain international branded, apa tas itu tahan api, tahan gunting atau silet jika ada orang usil di kereta mau mencopet dompet kita misalnya. Sehari sebelumnya saya sempat terperangah, ada orang bawah, dept sales, membeli tas Louis Vuitton kecil yang Think Pad aja ga muat kali, seharga.. tarik napass.. tujuh koma delapan juta rupiah, sodara-sodara !!! Mendengarnya, saya tidak sempat lagi geleng-geleng, seperti dipaku, ada ya orang yang mengeluarkan begitu banyak uang demi gengsi atau apalah yang sama sekali tidak fungsional misalnya. Memandang begitu lekat pada bungkus, tidak isi. Baiklah, tegarlah des, ini Indonesia sayang !!!!

Teman yang lain cerita tentang satu merk yang saya tidak hapal namanya, yang sampai diperebutkan di Perancis dulu saat ia dan suami liburan kesana. Karena di Paris mementingkan kualitas dan produce limited, mereka hanya membolehkan satu orang membeli satu barang saja, controlnya ga main-main, mereka memasukkan nomor identitas ke dalam mesin mereka sebelum memproses pembelian. Dan disana banyak orang Indonesia yang rela menyewa joki untuk membeli barang itu dua sampai tiga. Dengan alasan yang silakan nilai sendiri, kalau di Indonesia harganya melambung sangat tinggi, di Paris harganya lebih murah.

Dan Juni kemarin saat Singapore Great Sale, delapan puluh persennya adalah orang Indonesia. That’s it, fact finally talk !!!!

Beginilah Indonesia, silakan berkenalan lebih dekat. Tapi jangan sebut namanya, terlalu sedih gemanya, rangkul saja, obati hatinya, karena ia sungguh sangat sakit…

Ada yang berderak. Entah dimana. Tapi nyerinya mengalir. Membuat kawah dihati.

Akhirnya kami membeli sehelai seprai dan lampu kamar untuk hadiah. Almost a million !! Saya hanya tertawa, entah sehalus apa seprai tadi. Atau seterang apa lampu tadi.

Des, des, be grown up...

Saat kerjaan saya selesai, saat malam beranjak perlahan.. Saya sengaja berlama-lama membereskan meja. Biarlah lewat kereta terakhir dari stasiun sudirman. Saya menuruni kantor dan menyibak udara malam dengan haru. Saya mesti berdamai dengan hati.

Menghalau angin menuju stasiun manggarai. Di mana begitu banyak jiwa lelah seharian bekerja keras. Demi anak, istri dan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Demi rupiah helai perhelai dihulurkan untuk menyambung napas satu persatu. Saya mesti berdamai dengan hati.

Kereta ekonomi. Terapi paling menyembuhkan untuk jiwa. Dimana saat tangan bersandar kuat, dan badan yang terlampau letih berpadu dengan lantangnya suara pengemis yang setia meminta meski malam bergulir. Atau anak kecil yang menyeret kaki menyapu lantai kereta mengharapkan upah. Atau gigihnya penjual minuman menarik dagangannya yang terasa berat. Mereka masih bekerja. Sedang saya dalam perjalanan pulang. Pengemis yang tengah beroperasi pun istilahnya sedang ’bekerja’. Ibu-ibu yang mengamen. Bapak-bapak penjual koran sore hari. Kereta hiruk pikuk. Penjual berbanding lurus penumpang. Meski malam ? Ya, meski telah larut. Karena lapar dan dahaga tidak bisa ditunda hingga besok pagi bukan ???

Saya berdiri. Tidak kebagian tempat duduk. Didepan saya bapak-bapak dengan begitu banyak gurat lelah diwajahnya. Tumben saya tidak ngomel-ngomel, tumben saya empati, biasanya saya berkeluh kesah tiada henti, memaki dalam hati pada laki-laki yang tidak gentle atau bersikap pura-pura begitu kelelahannya hingga pada akhirnya mereka akan menawarkan saya tempat duduk. Haha.. trik jaman kuliahan. Tapi saya hanya menatapi wajah-wajah terlelap yang dimakan beban hidup dihadapan saya.

Satu bintang berpendar indah di ujung langit. Sudahkah berdamai dengan hatimu, Des ?

Dan tiba-tiba saya teringat puisi ini. Aahh, des, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ? dan cinta yang manakah yang kau khianati ?

Kasih Sayang No. 37*

(Nur Fahmi Taufik Al-Shaa’b)

Gemintang mengerjap

Ada yang jatuh di sela-selanya,

Mungkin puisi cinta

Langit pun seperti tirai:

Menyibak perlahan-lahan; tampilkan

Rahasia mawar merah itu

Demikianlah malam

Menyampaikan rindu hidung

Pada kesturi

Maka cinta yang manakah

Yang mesti kukhianati?

*QS Ar rahmaan: 37

Sunday, October 16, 2005

..Virtue...

“Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talent are to some extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination”

Karakter yang baik, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit --- dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras

( John Luther )

Bismillahirrohmaanirrohiim....

Sepenggal pagi. Tapi diskusi mulai menghangat. Apalagi topiknya kalau bukan BBM dan segala efek sampingnya. Saya banyak diam. Mendengarkan. Menatap wajah-wajah bersinar di hadapan saya.

Salah seorang teman bercerita tentang satu kisah menarik saat berdiskusi dengan BPS Bogor. Setelah KKB (Kartu Kompensasi BBM) dibagikan, sekitar 7000 masyarakat yang menyatakan miskin ramai-ramai mengunjungi BPS. Mereka mengklaim lurah dan anggota BPS yang curang dan tidak akurat. Nah, saat ribut berdebat itulah, terdengar bunyi suara handphone yang ternyata dari kumpulan masyarakat miskin tadi. Kontan saja anggota BPS tadi berkata : ’Pak, handphone bapak saja lebih mahal dari handphone saya, masa bapak mau mengklaim sebagai masyarakat miskin....’ Bapak itupun segera menghilang. Malu, tentunya. Hahaha.... tawa pun berderai.

Tapi yah begitulah, meski dengan empat belas karakteristik miskin yang ditetapkan, masih sulit mendefinisikan miskin itu sendiri. Karena sejujurnya saya pikir, pada masyarakat kita, miskin itu sudah menjadi mentalitas. Bukan lagi kondisi dan keadaaan. Tapi karakter.

Teman yang lain berbagi sebuah cerita, tentang sebuah kampung di daerah Sumatera tempat mertuanya tinggal, berpenghasilan perbulan hanya Rp 200.000. Tapi percaya atau tidak, sekitar Rp 150.000 dibelanjakan untuk kredit DVD. Sisanya ya untuk hidup sehari-hari. Saya menggeleng kuat. Inilah yang saya sebut mentalitas miskin.

Lain lagi cerita di Bogor. Agak memilukan memang mengingat Bogor dekat sekali dengan Jakarta, tempat peradaban berpusat. Di Bogor, ditemui kasus kaki gajah, busung lapar, polio bahkan flu burung. Nah, bicara tentang kasus busung lapar, saat turun lapangan, ada beberapa diantara mereka memiliki televisi, dvd dan perhiasan emas. Kurangnya pendidikan, memang. Menimbang mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tapi mentalitas miskin inilah yang membuat mereka menilai ’bungkus’ terlalu tinggi dan mengabaikan ’isi’. Menilai tinggi sesuatu yang tampak diluar dan mengabaikan tumbuh kembang didalam. Memilih membeli televisi dan dvd ketimbang membeli susu untuk gizi bayi-bayi mereka.

Saya jadi teringat cerita dikantor. Dalam obrolan lainnya. Bos baru saya, kebetulan orang India, bercerita bahwa dia sudah menjelajahi seluruh mall di jakarta dan dia takjub setiap kali memasukinya. Saya heran, memangnya di negeri asalnya tidak ada, dan dia dengan tegasnya mengatakan tidak ada. Ooh, saya paham, dia dulu di Bangalore, bukan pusat India. Aaah, tapi jika Bangalore disamakan dengan Semarang – sama-sama bukan ibu kota -- , masih timpang juga, bahkan di Semarang pun mall-mall besar berdiri megah.

Rekan kantor saya dengan sinisnya berkata, yah, itulah mentalitas Indonesia. Lihat, mall-mall mewah berdiri megah, sedangkan pusat pendidikan terabaikan. Buku-buku mahal sekali. India, lanjutnya, mungkin seperti bos saya bilang, no mall at all, atau setidaknya tidak ada yang semewah di Indonesia, tapi di Kompas pernah dimuat profil sekolah kedokteran terbaik di dunia dan adanya di sana. Hhh…

Rekan kantor lainnya berkata, adiknya yang kebetulan baru pulang dari menyelesaikan S3-nya di Inggris dengan herannya berkata handphone-handphone di Indonesia bagus-bagus ya. Semua handphone terbaru, ada dan dibeli. Sedang di Inggris yang notabene negara adidaya, gaungnya tidak seperti ini. Mmmh… saya jadi ingat beberapa kenalan saya yang menghabiskan gaji satu dua bulannya hanya untuk membeli handphone jenis terbaru. Padahal dia baru bekerja hitungan bulan. Style, des, katanya. Saya cuma menggeleng. Yah, antara paham dan heran, tapi inilah mentalitas masyarakat Indonesia kebanyakan. Lebih menyukai ‘bungkus’, daripada ‘isi’.

Mentalitas. Karakteristik. Apapun namanya, jika telah mendarah daging, berat untuk dilepas. Karena karakter itu ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih. Sebaliknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Otot-otot karakter juga akan terbentuk melalui praktik-praktik latihan, yang akhirnya akan menjadi kebiasaan.

Kembali pada forum diskusi pagi ini. Saya khawatir jika tidak ada yang berubah dengan mentalitas miskin bangsa ini tahun-tahun mendatang, KKB yang katanya merupakan usaha awal untuk meluncurkan kartu jaminan sosial untuk orang miskin akan justru memperberat masalah bangsa kita. Hahaa.... karena alasan sederhana, orang-orang justru akan berebut menjadi miskin dan malas bekerja. Wong, sekarang pun, ada satu BPS yang kebanjiran komplain masyarakat miskin sekian ribu orang, yang jika dihitung awal jumlah pendemo dengan masyarakat yang telah mendapat KKB totalnya 90% dari masyarakat keseluruhan. Ini berarti 90% nya masyarakat daerah tersebut miskin dong. Yupp !!!

Mengutip ucapannya Al Ghazali kalau akhlaq adalah tabiat atau kebiasaan dalam melakukan hal-hal yang baik. Jadi, karakter ’miskin’ tadi meski sudah menghujam jauh ke akar masyarakat kita baik menengah kebawah atau pun keatas, harus berusaha kita lepas. Dimulai dari unit terkecil kehidupan kita. Mustahil? Yakinlah, tidak kok. Berat? Tentunya. Tapi jika itu membuat kita jatuh dan terpuruk pada akhirnya, boleh kan kalau kita bangkit dan berdiri lagi ?

Hhhh.. banyak sekali yah pe er kita, ujar Teteh di ujung sana dengan senyum yang luar biasanya teduhnya. Kami mengangguk. Kuat tapi perlahan. Dan pagi pun beranjak siang.

“Virtue is the muscle tone that develops from daily and hourly training of spiritual warrior”

Karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual.

(Tolbert Mc Caroll)

Terinspirasi oleh tulisannya Ratna Megawangi, pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF); sebuah yayasan yang bergerak dalam pengembangan model “Character-based Holistic Education”.

Friday, October 07, 2005

Sabrina Zakiyyah Amani

Namanya Sabrina Zakiyyah Amani….

Nama yang berat, menurut saya, sangat berat....

Seseorang yang sabar, berhati bersih dan beriman... pffyuhhh...

Selamat datang di dunia adik kecil, benar-benar berdoa agar kelak kau tumbuh seindah namamu...

Namanya Sabrina Zakiyyah Amani….

Pipinya bulat, kemerahan dengan rona segar membungkus...

Matanya terpejam, rapat, iyyalahh Des.. usianya baru hitungan hari..

Semua orang tersenyum bahagia...

Termasuk ibundanya, mesti meringis menahan sakit di ujung tempat tidur lainnya.

Yah, beberapa hari yang lalu, selepas waktu dhuha, hp saya menjerit, satu sms masuk. Mengabarkan Teh Tia melahirkan seorang putri cantik yang sehat. Tapi mohon doa karena Teh Tia harus masuk ruang ICU karena beberapa pembuluh darahnya pecah saat melahirkan. Saya meringis. Membayangkan rasa sakitnya. Dan gagal. Allah, batin saya...

Perempuan....

Perempuan....

Menyebutnya membanggakan ya. Haha.. Bukan karena saya juga perempuan. Tapi karena beberapa kejadian disekitar saya akhir-akhir ini membuat saya berpikir bahwa Allah menciptakan perempuan begitu kuat. Begitu kuatnya. Dan itu membuatnya begitu hebat. Hhh...

Kemarinnya, seorang teman saya dikantor. Sebut saja Mey. Tiba-tiba hampir semaput. Saya kaget. Dia memanggil nama saya. Dia sering sekali begitu. Niatnya biasanya menggoda saya, katanya saya kalau kerja terlampau kalem, seperti berada di alam lain. Jika saya menyahut, biasanya dia bilang : ‘iseng’. Ggrhh.. Tapi gadis 28 tahun ini teman terdekat saya. Baik sekali hatinya.

‘Mey, mey, jangan bercanda’ Dia tiba-tiba saja duduk lemas. Dan saya masih berpikir dia bercanda. Sampai saya dekati dan menatap raut wajahnya yang menahan sakit. Kontan saja saya panik. Dan teman-teman di booth terdekat jadi ikut panik. Akhirnya kami menggotongnya untuk berbaring di ruang sebelah. Dia benar-benar seperti bayi, cuma bisa berbaring melingkar. Sangat lemah.

Setelah diusut, ternyata ini hari pertamanya, got period. Ladies only !! Sibuklah kita menyediakan teh hangat, membeli Kiranti di AmPm bawah dan membuatnya senyaman mungkin dengan menumpuk-numpuk bantal. Lima belas menit lagi dokter kantor baru datang, jadi terpaksa menunggu. Di kantor ada dokter tetap yang menerima keluhan sakit para karyawan, tapi hanya beberapa jam saja di hari-hari tertentu. Setelah dokter datang, kami membawa Mey ke ruang periksa dokter.

Dokter bilang wajar hal seperti ini. Namanya dismonorea – benar ga ya nulisnya – nyeri saat haid. Akan lebih parah jika ada tekanan psikologis. Seperti beban kerjaan yang menumpuk, kondisi yang tidak harmonis di rumah dan lain-lain. Mey disarankan minum ponstan saja. Dia sudah bisa tersenyum sekarang. Akhirnya kami di booth saling bercerita tentang dismonorea. Kebetulan perempuan semua. Ada beberapa rekan kerja yang sudah berumur, ibu-ibu muda dan saya yang paling kecil. Ternyata ada yang lebih parah dari yang dialami Mey. Ada yang sampai benar-benar pingsan. Ada yang selalu mengambil cuti saat hari-hari pertama karena tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Ada yang tidak bisa makan, karena bawaaanya pasti muntah. Parah nian. Dan ini terjadi tiap bulan. Duh, duh, perempuan...

Tiba-tiba sebuah peta tergambar di benak saya. Berat sekali menjadi perempuan. Sebelum melahirkan, dismonorea menghadang. Saat melahirkan, pembuluh darah pecah, ekalampsia, atau lain-lain yang ujungnya nyawa taruhannya. Ekalampsia – benar tidak ya tulisannya – itu keracunan kehamilan. Saya awam sekali istilah ini, mendengarnya saat teman booth sebelah mengalaminya. Sangat parah harusnya. Karena dia menjadi trauma berat akan melahirkan. Bahkan sudah divonis dokter tidak boleh melahirkan lagi.

Lalu pasca melahirkan, pikir saya, hal berat apa lagi ?

Dan pertanyaan saya terjawab saat seorang teman kantor mengabari bahwa ibundanya masuk rumah sakit, ruang opname, untuk operasi pengangkatan rahim besok paginya. Ternyata ada tumor disana. Salah satu penyakit menjelang dan pasca monopouse. Lainnya beragam, mulai dari stadium ringan hingga berat seperti kanker rahim. Masyaallah...

Pulang menjenguk Teh Tia, hujan menyelimuti bogor. Ada satu rasa menyelimuti. Masih tak bernama. Saya teringat bunda. Alangkah benarnya. Dalam islam perempuan ditempatkan dalam posisi yang begitu mulianya. Dijaga. Dilindungi. Dan dicintai.

Tuesday, October 04, 2005

....be inspired.....

Jumat sore, selepas maghrib, kereta pakuan tanah abang-depok-bogor,

Saya melihat iklan besar itu di Koran Tempo, punya seorang teman. Ia membentangkan koran itu lebar-lebar, sambil mencoba berdiri dengan satu tangan,

‘Lihat deh….’ Iklan itu besar, setengah halaman penuh.

‘Seratus juta lebih kali biayanya..’

Wooi, bukan itu, dia menunjukkan kalimat yang menarik perhatiannya

…FEUI, School of CEO….

Mmmhh…. ‘jadi, kapan jadi CEO? Atau owner company sendiri?’

Hhaha... Tawa pun berderai. Kebetulan kita anak FE, lalu mengalirlah obrolan tentang besok. Acara HUT FEUI yang ke-55. Yup, iklan besar yang saya lihat tadi adalah iklan Reuni Raya FEUI menyambut HUT nya yang ke-55. Iklan super mahal yang terakhir saya tahu berbiaya seratus lima puluh jutaan tapi karena buat FE, gratissss.....

Iklannya penuh info, mulai dari seminar CEO Summit, napak tilas, gerak jalan, sampai acara main golf bareng – oops, yang terakhir, bukan buat kita kali ya, masih ’rakyat jelata’ gito lho... Kami pun tertawa lagi..... duh, feui...

Sabtu yang super pagi, untuk sabtu sebenarnya ga ada kata ’pagi’, selaluu siang.....

Menurut saya, hanya pada hari sabtu minggu lah, jam badan semua orang berjalan seribu kali lebih lambat. Tapi sabtu kali ini, rasanya kalimat tadi tidak berlaku, FEUI banjir orang bahkan pada jam belum menunjukkan angka 7. Wwah, Subhanallah.... Mobil diparkir berjajar rapi sepanjang jalan hingga luber sampai jalan raya sebelah Sastra. Wuiihh, only FE can do that !!

Baliho besar di stasiun, depan FE, dan macam-macam iklan sponsor yang berjarak semeter-semeter di jalan menuju FE menyambut kedatangan saya, haha.. iyalah, ditengah hiruk pikuk arus orang berseragam yang beryel-yel sambil gerak jalan, saya naik ojek haha.. Wajar dong, ini sabtu sodara-sodara !! Dalam hati, pasti diomelin habis-habisan para KOALA-ers ( Korps Alumni Lab Akun – pen), disuruh datang jam setengah tujuh, jam tujuh baru datang, tapi ternyata mereka pun bahkan ada yang datang menjelang jam 9, pffiuhh, selamatt deh...

Memasuki pelataran parkir FEUI, ada rasa yang tiba-tiba begitu semerbak…FE begitu penuh orang sodara-sodara…..penuuuh sekali…. dan rasa itu bernama haru… Kapan ya saya terakhir lihat begitu banyak orang yang sangat natural, alami.... ada bapak, ibu, remaja , ABG, anak dan bayi-bayi… ada hha…ha…ha.. Spongebob, uuhh, I wish my sister came !!!

Di kantor pernah ada beberapa acara gede-gedean dengan tamu-tamu penting di Four Seassons dan Nikko’s, lengkap dengan atribut sesuai tema besar, tapi suasana yang saya tangkap berbeda. Di sini, lebiih mmmmh… ceriaa, mungkin karena ada matahari, dan hhh… yaah… sinarnya sampai ke hati…

Beberapa kali langkah saya terhenti, hhuuaahh... duh, bapak penjaga perpus dengan istri dan anaknya (parahh, saya visual sekali, sulit mengingat nama, hari ulang tahun dan hal-hal detail lainnya), sapanya ramah, tawanya lebar ..

“Mba, kenalkan ini istri saya, sekarang sedang mengandung delapan bulan… ini anak saya yang besar, ayo dek, salim …” Wadduh, terharu, bapak ini masih ingat saya saja…

Terus bapak satpam, bapak fotocopyan, bapak pengurus ekstension yang saya ingat karena saya nongkrongin ibu sylvi terus pas jaman-jaman ngejar setoran skripsi, terus.. wahh, banyak sekali, dan semuanya terlihat utuh. Mereka bersama istri/suami dan anak-anaknya. Lengkap. Sampai si bayi pun dibawa serta.

Terkadang kita mengenal seseorang dari satu sudut pandang tertentu. Ya, pribadi dan karakternya saja. Tapi jika kita mengenal keluarganya, pihak-pihak yang senantiasa menghapus lelahnya, mendukung dan ‘menjadikannya’ sehebat sekarang, lengkaplah sudah semua sudut pandang tadi.

Lalu, tatapan saya yang beredar terpaku pada spanduk besar itu : Welcome Home Alumni… Hhh…saya alumni ya. Baru setahun lewat, tapi saya jarang sekali datang ke FE, terakhir mungkin Maret ya, sehingga tiba-tiba seluruh kenangan berloncatan, tak terbendung.

Acara ini meriah. Sangat. Dan katanya lebih meriah dari peringatan HUT 50 tahun 2000 lalu. Ada dua panggung utama. Satu disebelah SC. Panggung besar tempat band, tari-tarian dan door prize berlangsung. Satu lagi melingkari stand-stand Angkatan di lapangan parkir depan Dekanat. Yang datang, hhmm.. oma-oma, opa-opa, om-om dan tante-tante. Stand termuda Angkatan 98. Dan tertua, wahh, ada tahun lahir saya : Angkatan 82. Tapi bukan, masih ada gerombolan Angkatan 55 yang super gaya dengan kaos bertulis seperti ini : ”55 will never die, we’re only a bit pikun”.

Hahaha.. betapa…betapa dan betapa... indahhnya….

Banyak orang lalu lalang, para pengurus FE yang kelelahan sehabis gerak jalan dengan seragamnya yang mencolok, para pejabat dan ”orang-orang sukses” yang napak tilas dan pembagian award di auditorium, only selected people invited, para oma-oma yang mengobrol panjang lebar di stand-stand belakang, dan sibuk membanggakan almamaternya pada setiap pengunjung standnya.

”Teman di angkatan kami ada yang jadi produser lho, itu lho film Dealova. Tahu kan ? Nanti juga ada jumpa artis... ”

Saya hanya manggut-manggut, itu film yang mana ya ? Film Indonesia bukan ? walahh..

Tapi saya dan seorang sahabat ( ga usah disebut namanya, ntar ge er setengah mati hehe.. ) justru terdampar dengan sukses di pojok depan air mancur yang menyemburkan air dengan indahnya. Bernostalgia, katanya. Duuh, romantiss banget, ga banget deh, we’re too young, dear... Hahaha..

Tapi begitulah, kembali ke FE seperti mencerabut beberapa helai cahaya dari langit dan menancapkannya di hati.. Selalu seperti ini. Segala cita, harap, perjuangan – apapun lingkup maknanya – menyergap seketika.

Menelusuri dinding demi dinding yang sekarang sudah putih polos tanpa mading warna warni di lobi A, menapaki tanjung lantai 1 gedung A yang diisi lomba anak pun menyeruak hadir, lalu memajukan jari demi jari di Papan Para Nominasi Award kategori Dosen Terbaik, Peneliti terbaik, Alumni Sukses etc etc memupuk cahaya langit itu tumbuh subur di hati.

Ada nama mba Sylvi disana, beberapa kali dinominasi. Mata saya berkabut. Bangga sekali melihat dosen kesayangan dan pembimbing skripsi saya disana. Muda. Berprestasi. Dan mengharukan… Berharap sepertimu, mba. Sangat. Doakan ya.

Helai cahaya langit tadi pun bertumbuh saat saya membolak balik buku HUT 55 FEUI, menatap lekat beberapa wajah yang dipajang dan dilabeli sebagai Alumni Sukses di berbagai bidang yang berkontribusi bagi bangsa tiba-tiba menyekat seluruh rasa. Ada foto Bang Rama Pratama disitu, termuda dan paling membanggakan. My favorite, hehe.. Lalu, mmh, sedikit sekali alumni perempuannya yang dianggap berkontribusi, bisa dihitung jari.

Buku ini kelihatan mahal. Seperti FE. Heyy, ada nama saya. Iyalah, seluruh angkatan 1945 sampai 2000 juga ada. Profil FSI juga ada ada, SPA dan organisasi lainnya pun ada. Meski akhirnya saya tidak jadi membeli buku tebal itu, hanya membalik tekun setiap lembarnya dan membuat adik kelas saya yang kebetulan bertugas jadi penjaga sedikit mengomel, saya menyukai setiap halamannya. Terutama tentang profil para alumni sukses. Ada beberapa ruang kosong disana. Untuk foto-foto selanjutnya, saya pikir.

Mmh, akankah ada foto kita disana ?

Hhhh........

Semuanya.. berpendarlah.. dengan kemilau sinarnya..

Biar helai cahaya langit tadi bertumbuh.. lalu menyeruak hebat.. tidak saja menyinari lingkar-lingkar kecil kita, tapi menyinari berjuta orang lainnya.....

Bismillah.. dengan hati menuju tenang.....

3 Oct 2005, 10:43 PM

Desi Novita Sari