Wednesday, November 23, 2005

Masihkah ingat ?

Kita menyibak waktu dengan haru. Dengan pilu. Ya, dengan lega juga. Dengan balutan seluruh rasa. Sepenuh raga. Ingatkah ?

Meski dengan kesederhanaan dalam mengeja. Menyingkirkan sepenggal berat. Dan sepenggalnya lagi harus kita telan utuh. Setelah terkoyak tak bertubuh. Ingatkah ?

Kita sering pandangi langit yang bergerak. Menitipkan setiap tatap harap kita. Cita kita. Mimpi kita. Yang terlalu indah, sahutmu. Tapi, heyy, bukankah manusia pun Allah ciptakan indah ? Dan adalah wajar, jika yang lahir dari keindahan adalah keindahan ? potongku cepat. Kau tersenyum. Mengerti. Dan menggenggam tanganku. Erat. Bismillah, ujarmu tegar.

’Surga itu harus kita rebut sekuat tenaga’ ujarmu satu saat.

’Sekuat tenaga’ kau menekankan.

Dan aku mengangguk. Mencoba menghapus haru yang tiba-tiba menyesak kuat dan berwujud. Mengalir.

’Harus kita rebut dari siapa? Dari syetan yang memang tak pernah layak memilikinya? Atau dari diri yang begitu bodohnya amat mencintai neraka?’

Tatapmu hanya nanar. Menerawang beribu-ribu mega.

Masihkah ingat ?

Saat aku bergulung. Meratapi setiap kelabu yang kerap singgah. Dan yang kau tawari hanya lantunan kerinduan. Ayat demi ayat. Alquran. Lalu seketika menggilas segala kelamku. Tak berbekas.

’Kebahagiaan itu,’ katamu, ’terletak bagaimana kita mensyukuri nikmat yang Allah berikan’

Lalu kelu pun hadir. Tatapku bertanya.

’Jadi,’ sambungmu, ’ berhentilah mengeluh, dan jalanilah hidup, dalam syukur yang tak pernah putus’

Dan, berjuta kata yang kurangkai remuk seketika.

Karena, kau benar. Apa adanya. Karena, sekali lagi, kau benar, dan itu adalah sebenarnya.

Tidakkah kau ingat ?

Karena, aku ingat.

Lalu kita pun belajar meniti hari. Dalam syukur yang tak pernah putus. Kelak, kita pun akan mulai belajar meniti langit. ’Kenapa?’ tanyaku. ’Apakah karena seluruh hari sudah kita lalui? Bukankah itu berarti kita berada dalam dekapan kematian? ’

Selapis senyum. Dan kau menggeleng. Perlahan. ’Bukan. Tapi karena langkah kita, satu demi satu, harus kita tanya. Berkali-kali. Apakah arah yang kita tuju, menuju Allah, saja ?’

’Oo begitu, bagaimana, jika kita belajar mulai dari sekarang saja?’ ajakku.

Dan kau mengiyakan.

Aku masih mengingatnya, akan selalu begitu.

Hidup, seperti sebuah garis. Dan kau menggariskannya pada secarik kertas.

’Kita ada dimana?’ tanyamu. ’yang ujung saat kita lahir, satunya lagi saat kita menutup mata, dan kita ada dimana?’ tanyamu. Lagi.

Aku menekurinya. Tanpa kata.

’Kita tidak tahu bukan, karena kita tidak tahu garis hidup kita sepanjang apa, pendekkah, panjangkah, dan meskipun kita tahu, kita pun tidak tahu kita ada di titik keberapa dari awal atau masih tersisa berapa titik lagi hingga ke akhir, iya kan?’

Mata kita bersitatap. Dan lalu secara bersamaan kita mengulang kalimat favorit kita.

’Hidup hanya sekali. Dan yang sekali pun hanya sesaat. Maka dari itu, yang sesaat harus sangat berarti.’

Senyum kita mengembang. Meski dada kita sesak, saat punggung kita bertambah lebar beberapa inchi demi menanggung cita jiwa yang semakin memberat.

Sekarang, sudahkah kau ingat ?

Saat dengan kalut, aku mempertanyakanmu, ’menurutmu begitu?’

Dan kau hanya menghela napas. Satu satu. Dan kerut di wajahmu pun memudar.

‘hidup adalah sebuah pilihan,

menjalani hidup, berarti memilih dengan bijak

memilih dengan dasar ilmu,

memilih karena cinta, cinta tak berperi, pada Ilahi,

dengan, doa dan harap di penghujungnya,

agar hanya kebaikanlah yang berwujud

di setiap pilihan kita,

mengertikah?’

masih dengan kalut, aku pun berujar ’apakah aku memilih untuk ’mengerti’ ?

bukankah ’kemengertian’ adalah sebuah pilihan,

juga ?’

Lalu kau merenggang. Seperti berjuta jaraknya.

Dibutuhkan bertak-terhingga doa dalam sujud-sujud panjangmu,

saat dengan tulus kau membawaku serta dalam setiap rintihmu

untuk membuatku utuh, kembali.

Kini, kau pasti ingat.

Sepenggal malam terakhir saat untuk merenung, untuk berkeluh kesah, tiada berbatas. Dan kita titipkan segala galau. Untuk diganti dengan keyakinan dan keberanian. Karena hari sedemikian panjang. Sedang kita sedemikian lemahnya. Hanya setitik debu. Bagaimana meraih ridho-Nya ?

Saat bulan mulai terlelap, kau katakan sesuatu tentang bergegas. Bergerak. Bangun. Jangan terlalu lama terlena. Jangan tertidur terlalu panjang. Karena demi masa, kita rugi jika tidak bergerak maksimal. Sedang Allah menitipkan kita begitu banyak potensi. Kita zolim jika tidak mewujudkannya sebagai amal nyata. Karena demi masa, ujarmu sekali lagi, kita sungguh merugi.

Dan aku tersenyum. Semangatnya memeras kantukku hingga titik-titik. Dan aku menuliskannya. Bukankah kita sedang bergerak, Sis ? Belum maksimal, memang. Tapi kita akan selalu menaikkan kapasitas kita, bukan ? Sepanjang garis ini, menuju titik kesempurnaan itu, saat amal-amal kita diangkat. Yang kita tidak tahu kapan.

Karena demi masa Sis, kita memang sangat merugi jika tidak bergerak maksimal.

Baiklah, sekarang, selalu ingatlah. Seperti aku yang selalu mengingatnya.

For my dear Sisters, do love you coz Allah…

Counting the days to 23, please don’t be sad, and never worried, terhadap apapun, yang ada di depan sana, karena jika kita berlumur takwa, yang ada hanya kebaikan di sepanjang jalan ini, masalahnya, apakah kita sudah cukup bertakwa? Dan heyy, adakah kata ‘cukup’ dalam takwa ?

Bogor, 22 November 2005

Saat kering menelan setiap percik yang telah hadir,

Desi Novita Sari

Tuesday, November 01, 2005

Untuk mba Rie yang jauh disana………

Untuk mba Rie yang jauh disana………

Dua hari sebelum lebaran,

Akhir-akhir ini saya sering sekali teringat mba. Begitu saja. Hhh… Mungkin karena suhu di bogor yang semakin muram. Atau mungkin karena sekarang waktu sedemikian hebatnya bergulat dengan Ramadhan. Dan, hari-hari lalu pun diputar ulang. Gerak cepat.

Mba baik-baik saja kan disana ?

Negeri kita ini adalah surganya berislam, kata mba saat sore menjejak. Karena di setiap jengkalnya, ayat-ayat Allah dikumandangkan dengan bebasnya, tanpa takut, tanpa himpitan. Dan untuk alasan sesederhana itu, tak ada ruang untuk mengeluh. Hhh.... sekarang, masihkah begitu ?

Aaahh.. mba, tapi realita berbicara lain. Dan tiba-tiba berwujud perih. Mba ingat rumahku tidak ? Haha.. ya benar, masuk kategori Bogor coret. Karena sudah selayaknya tidak masuk peta. Masjid di daerahku jaraknya satu kilo dari rumah. Jalannya berliku-liku. Termasuk sempit. Banyak celah di jalanan, harus ekstra hati-hati saat melangkah, apalagi saat hujan. Penerangannya pun minim. Kampung banget, deh J Tapi hari-hari terakhir ini, shafnya tinggal dua. Di awal dulu, hampir enam bahkan tujuh. Sekarang hanya deretan badan-badan bungkuk, napas yang mudah letih dan langkah yang tertatih-tatih. Mereka yang setia hadir. Di mana ya bunga-bunga yang sedang tumbuh dan mekar ? Yang harumnya semerbak itu ? Lenyap, mba. Shaf ikhwannya pun setali dua, hanya rambut-rambut putih yang tertiup kipas angin di puncak, dan bunyi deraknya terkadang memilukan. Bahkan, anak-anak kecil yang selalu ribut di ujung shaf sana hilang dari peredaran. Ada yang lega masjid lebih lengang, shalat terasa khusyu. Ah, tapi, siapa yang menggantikan saat usia terlampau senja ? Jika sudah begini, sunyinya masjid seringnya menusuk. Bacaan imam masjid terasa mengiris. Pilu, mba.

Dan mba, tiba-tiba begitu banyak pemgemis di kota Bogor. Mba tahu Jembatan Merah? Yang panjangnya cuma lima belas meter itu. Sekarang penuuuh pengemis. Dulu, paling diujung kiri dan kanan. Sekarang jeda satu meter, ada yang setia menanti dengan baskom kecil. Ada bayi-bayi yang gemuk , penuh gizi ? nope, karena udara mba, lha wong perutnya membusung gitu, gemuk nda normal. Janda-janda dengan tatapan patah. Kakek nenek yang sudah tak utuh. Entah penglihatannya, lengannya atau mentalnya. Hhh.. kalau sudah begini, saya selalu berpikir, pemerintah kita itu zoliim banget, mba. Mereka kan tanggungannya ya. Benar kan mba ?

Hhh.. susah kalau sudah bicara tentang pemerintah, bukannya hopeless ya mba, tapi begitulah adanya. Kemarinnya lagi saat pembagian Kartu Kompensasi BBM, ada nenek-nenek yang semaput gara-gara terinjak-injak. Kehabisan napas. Pun, saat penjualan sembako murah, ada saja korbannya. Dan herannya, kenapa coba ya, sedikit sekali dana pembagian sembako. Dulu saat kampanye, rasanya tiap saat ada pembagian sembako. Sekarang kemana partai-partai hebat itu ? Apa perlu jadwal kampanye disamakan dengan saat kenaikan BBM ? Dan mulut saya terkatup erat, menggigit perlahan. Memaki hati. Tangan serasa lumpuh. Mulut gagu. Apa daya.

Belum lagi soal mudik. Budaya. Mengakar jauh ke tulang. Tapi mengapa ya silaturahim identik dengan idul fitri ? Sehingga konteksnya jadi kacau balau. Dengan kondisi seperti ini,--- bayangkan mba harga cabai naik dari enam ribu jadi empat puluh ribu, walahh.. -- , banyak orang yang tidak mudik. Ada yang pasrah, tapi ada pula yang maksa. Jarak Jakarta – Semarang dengan motor dan seorang bayi. Duhai, apa sih yang kau cari ? Beberapa hari lalu, jumlah kecelakaan di jalur mudik bertumbuh. Rasanya saking banyaknya penduduk kita, nyawa tidak lagi berbilang mba. Hilang satu, masih sekian ratus juta lagi, mungkin begitu kali ya pikirannya. Pikiran yang tidak bermutu. Padahal tiap jiwa terletak rasa. Dan dikelilingi sejuta rasa lainnya. Mereka individu, pribadi utuh, bukan hanya bilangan dalam arus statistik. Jika diletakkan proporsional, akan terlihat seimbang. Dan hal-hal ini tidak perlu dimaknai berlebihan. Tapi beginilah arusnya.

Polisi pun mulai ramai, mba. Dan jalanan di Bogr kian menyempit beberapa meter. Karena tiba-tiba kaki lima berhamburan. Ada yang jual kaos murah. Sepatu murah. Tas murah. Pokoknya semuanya serba murah. Dalam lapak-lapak bebas di pinggir jalan. Yupp, bagaimana pun beratnya hidup, ini tetap lebaran sweetheart !! Dan lebaran berarti baju baru untuk semuanya. Dan sepuluh hari terakhir ini, toko-toko dipenuhi orang untuk i’tikaf. Hebat kan mba. I’tikaf di mall. Memilih aneka helai baju. Untuk adik. Untuk kakak. Untuk ayah. Untuk semuanya. H-10 diskonnya masih 20%. Semakin mendekati lebaran, diskonnya dinaikkan perlahan. Jelas saja semua orang jadi giat beri’tikaf di mall. Wong pemicunya luar biasa manis. Diskon. Padat sekali, mba. Dari luar saja bisa terlihat. Orang dan barang bertumpuk.

Hhh.. kenapa ya mba, kalau lebaran itu identik dengan baju baru. Apa karena jiwa kita terlahir suci kembali ? Stupid sekali ya mba, kalau hal ini dikaitkan dengan jiwa yang belum tentu kembali bersih. Atau mungkin hanya ingin menyenangkan hati anak-anak kecil ? Supaya mereka lebih berantusias menyambut lebaran ? Hmm... Tapi yah begitulah mba, apapun sejarahnya, setiap anak kecil pun ditanyainya itu, sudah punya baju baru untuk lebaran ? berapa banyak ? Jelas saja anak-anak kecil terpola baju dan hal-hal lain yang baru dan kasat mata. Tunas-tunas bangsa itu, mba. Eh, kalau Yudha ga gitu kan ya? Banyak doa untuknya. Semoga jadi anak sholeh. Abi dan uminya kan hebat J.

Terlintas sesuatu nih mba. Kemarin pas cuti – sengaja ambil sebanyak mungkin pas ramadhan, biar gak tumbang tarawihnya ;p --, sempat ke Gramedia. Dan tiba-tiba tertarik buku-buku kesehatan. Alhasil belilah satu buku kesehatan. Wah, masyaAllah mba, being a woman is soooo hard. Di tiap jenjang usia perempuan ada resikonya. Mulai dari vertigo, osteoporosis, kista, hot flashes pra monopouse, kanker payudara hingga kanker rahim. Dan semuanya terkait dengan hormon estrogen. Itulah alasannya kenapa laki-laki minim probabilitasnya terkena osteoporosis. Karena laki-laki kan ga punya hormon estrogen !! Selesai baca, luar biasa iri dengan laki-laki. How could, gitu deh. Tapi tadi, sepulang dari kantor, melihat satu sosok, saya jadi berubah pikiran. Menjadi laki-laki pun luar biasa berat.

Bapak-bapak mba. Sepertinya perawakannya lebih lapuk dari usianya. Gurat-gurat wajahnya kasar. Tertempa kerasnya hidup. Mungkin tukang becak, tukang pikul buah, atau barangkali kuli pasar. Ia menghitung lembaran uang biru. Di dekat lapak bebas kaki lima baju-baju. Harganya luar biasa miring. Tapi dia masih menawarnya. Saya memperhatikannya. Dan saya berpikir. Kok harganya begini miring ya, ternyata baju-baju bekas. Baju bekas yang terlihat setidaknya layak pakai. Duuh, mata saya berkabut. Di negara yang begitu sangat kaya, penduduknya sedemikian miskin. Bahkan mereka pun berebut dan menawar untuk membeli baju bekas !! Ilahi....

Bapak tadi, dengan napas beratnya, membeli dua pasang baju kecil – untuk anaknya, bisik saya -- dan sehelai baju perempuan – tentu untuk istrinya --. Dia pun berlalu. Dan saya masih terpaku. Beban hidup, harapan, mimpi, cita dan usaha seluruhnya dipikul oleh laki-laki. Karena bagaimana pun seorang laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan di sekitarnya. Bagi ibunya, bagi saudara perempuannya, bagi istrinya, bagi anak perempuannya. Pemimpin berarti penggenggam tanggung jawab, pelindung, pengayom, dan bahkan dalam arti luasnya bisa menjadi penjamin kebahagiaan. Dan itu luar biasa berat.

Bapak tadi mungkin hanya ingin sekedar membahagiakan istrinya, membuat tertawa senang anaknya, dengan semampunya, apa adanya. Dan saya jadi mengaitkannya dengan korupsi mba. Pelaku korupsi yang notabene laki-laki mungkin dipicu oleh orang-orang terdekatanya. Harapan-harapan mereka. Keinginan-keinginan mereka. Tidak perlu diutarakan. Raut wajah sudah terang menyuarakan. Mungkin rumah yang lebih besar. Perhiasan yang lebih banyak. Mobil yang lebih baru. Aah, saya jadi berpikir ngalor ngidul mba. Tapi sungguh mba, betapa pun hebatnya menjadi seorang perempuan, begitu pun hebatnya menjadi seorang laki-laki. Karena menurut saya, setiap laki-laki adalah pahlawan bagi orang-orang disekitarnya. Ayah bagi anaknya. Kakak bagi adiknya. Suami bagi istrinya.

Dan saat abang penjualnya menawari, saya menolaknya dengan menjawab ’ga ada jilbab sih’. Jawaban sekenanya. Dan segera berlalu. Tapi dalam hati ngilu pun mengalir. Deras.

Dan begitulah mba, kabar negeri kita tercinta. Terlihat mengenaskan ? Tapi mungkin seperti nasihat mba dulu, semua hal berproses dan setiap proses mesti dijalani. Mungkin ini proses yang Allah gariskan bagi bangsa kita ya mba. Banyak hikmah dalam setiap jejak perjalanannya. Dan kelak di titik sana, saat cinta begitu berlimpah, saat setiap jiwa berlabuh, harumnya akan semerbak mewangi.

Maka saat matahari tergelincir, dan setiap dahaga tertunaikan, saya pun merintih pelan, perkuatlah kesabaran saya dalam menjalani prosesMu Robb. Pun, perkokohlah kesabaran semua hati di negeri ini. Aaamiin...

Hoaemmm... Sudah sangat larut. Mata mulai sulit terjaga. Titip salam untuk langit Manchester ya mba, semoga kilaunya seindah langit malam ini di Bogor. Saat berjuta cahaya terhampar. Dan setiap hati pasrah. Tunduk.

Happy Ied Mubarak, mba...

Taqoballahu minna wa minkum...

Dengan cinta yang membiru….

Desi Novita Sar