Saturday, November 25, 2006

Facial ? ;p

Ritz Carlton, pertengahan hari di bulan November, tahun 2005…

Dia akhir empat puluh tebakanku. Mmmh.... nope, pertengahan lima puluh tepatnya. Ya rasanya begitu, dibalik segala ”persenjataan perang”-nya mulai dari pelembab, bedak dan blush on serta gradasi warna sepatu yang match dengan tas dan busananya, dia layak menjadi nenek seseorang. Gerak-geriknya energik. Dan saya memperhatikannya. Ya iyalah, dia kan pembicara dan saya peserta. Sebuah conference yang kebetulan diadakan oleh kantor saya. Bertema Woman and Leadership.

Tapi berbeda dengan pembicara sebelumnya, yang semuanya adalah perempuan, baik itu direktur utama sebuah bank milik pemerintah yang terkemuka, pemilik perusahaan yang sedang berkembang pesat hingga salah seorang tokoh penggerak bangkitnya perfilman Indonesia, ibu satu ini tidak sedikit pun menyentuh tema kepemimpinan, karena memang beliau mendapat peran menjelaskan tentang hakikat perempuan. Dan beliau pun sibuk mempromosikan buku terbarunya. Yang kebetulan baru saja terbit. Saya sempat melihat buku terbarunya di Gramedia. Buku ekslusif yang harganya bersaing keras dengan Keown-nya anak Accounting. Isinya tidak lain, bagaimana menghadiri sebuah pesta, tata busana, tata krama hingga penggunaan sendok dan pisau serta tidak lupa cara berjalan dan bergaul. Whoooaa… buku ibu-ibu pejabat, waktu dulu saya menyimpulkannya demikian, atau ibu-ibu yang kebanyakan waktu dan uang yang begitu mementingkan keserasian busana dan pernak-pernik lainnya dibandingkan isi kepalanya. Oalahh desi, sentimen berat !!

Saya tersenyum simpul. Mencoba sedikit lebih realistis. Ada kok tipe ibu-ibu yang akan masuk di antrian pertama pembeli buku ekslusif tadi. Saya melirik modul sekilas, sekarang masuk bagian kepribadian perempuan. Hhhh… bukannya saya tidak antusias dengan ceramah-ceramahnya, tapi sebaliknya, saya tertarik sekali. Hanya saja saya tidak begitu nyaman dengan cara beliau membawakannya. Sehingga berkali-kali ekor mata saya hinggap di jam tangan atau melayang memperhatikan interior ball room Ritz yang baru dibangun ini atau sekedar reaksi orang-orang di sekitar saya.

Dan memacu pikiran saya agar tetap tertuju padanya dibutuhkan upaya cukup keras. Dan saat saya akhirnya berhasil menyimak ceramahnya, beliau sedang menyinggung tema mengenai kebersihan. Hmm, layak didengarkan. Beliau menekankan tentang pentingnya perawatan pakaian dan tubuh, mulai dari mengganti pakaian dari ujung kepala sampai ujung kaki dan pakaian terluar sampai pakaian terdalam sehari sekali, hingga teraturnya luluran, creambath, facial dan perawatan tubuh lainnya. Hihihi.. saya meringis pelan. Antara miris dengan geli.

Percayalah, saya baru berkenalan dengan salon akhir-akhir ini. Haha… benar kok, saya tidak bohong. Salon dalam artian sesungguhnya ya, bukan salon untuk potong rambut tok ya, tapi perawatan tubuh keseluruhan. Saat saya mampu menghasilkan uang sendiri yang setelah ditempatkan pada beberapa pos wajib masih bersisa. Saat saya berganti status dari mahasiswa menjadi karyawan. Saat saya mendapati kenyataan bahwa kecepatan membeli buku saya melebihi kecepatan membaca buku itu sendiri, akibat waktu luang yang mulai terpangkas. Haha.. betapa dilemanya hidup.

Tapi saya ingat perkenalan awal saya dulu dengan tempat yang bernama salon. Letaknya di deretan Margonda. Beberapa bulan yang lalu selesai menghadiri acara HUT FE. Tengah hari yang terik saat badan terasa tanpa penopang karena “dipaksa” bangun sedemikian pagi. Lalu teringat ucapan seorang teman kalau di salon bisa menghilangkan lelah dan penat, akhirnya saya singgah juga. Alasan yang terdengar sedikit konyol memang, tapi akhirnya saya berada di resepsionis, memelototi daftar jasa yang tersedia. Facial buah, facial ekstra.., facial mawar, etc etc.. lalu creambath dan kesekian puluh jenisnya, dan berlembar-lembar keterangan dan produk jasa lainnya. Wuihh… banyaknya. Dan pada akhirnya memutuskan ringan mungkin saya harus mencoba creambath dulu, saya berpapasan dengan adik kelas saya, masih tingkat dua. Ia sudah menyelesaikan facialnya. Dan berujar cepat bahwa facialnya untuk mengatasi masalah jerawatnya. Hihihi, saya tersenyum geli, saat seusianya saya bahkan tidak terpikir facial itu untuk apa. Saya menyelesaikan creambath dengan sedikit lega, dan sedikit lebih segar serta sedikit patah tulang, karena saya benar-benar menikmati ‘proses pemijatannya’. Hahaha…

Kali kedua, saya diajak mengunjungi salon yang berbeda, tapi masih salon muslimah. Yang pada akhirnya jadi salon favorit saya. Masih berlokasi di Margonda. Tapi dengan suasana yang lebih nyaman dan corak ornamen jawa kental yang membuat pelanggannya serasa putri keraton. Kali ini saya memilih facial. Dan untuk produk jasa ini saya terpaksa mengiyakan pendapat teman kantor saya yang bersikeras kalau perempuan itu harus tahan sakit. Ia berpendapat demikian karena proses siklus bulanannya dan melahirkan oleh perempuan pada umumnya. Tapi menurut saya, bahkan dalam rangka perawatan pun, perempuan harus bersakit-sakit ria, karena difacial itu sakit saudara-saudara. Saya tidak melihat apa yang mereka lakukan, karena saya berbaring sambil terpejam, tapi saya bisa merasakannya. Seperti ada aliran listrik yang disentuhkan pada wajah kita, lalu bunyi besi yang berderit-derit dan begitu memilukan, dan wajah kita ditarik-tarik dengan benda yang terasa seperti pencabut botol. Huaahh... saat itu dalam pikiran saya, mungkin ini yang pertama dan terakhir kalinya saya difacial, mengingat untuk menghilangkan komedo dan jerawat saja mesti berkali-kali minta tissue kering untuk mengusap daerah sekitar mata yang tiba-tiba basah. Dan setelahnya, saat saya menengok teman saya yang juga difacial, saya mendapati matanya juga sama sembabnya dengan mata saya. Hahaha...

Kembali ke bangunan dengan bentuk aneh yang sulit dikategorikan segi empat atau segi tiga yang kebetulan dinamai Ritz Carlton, dengan senyum lebar, menertawai episode lalu saya dan juga gaya ibu pembicara di depan yang menggambarkan seorang perempuan yang tidak rajin melakukan perawatan tubuh, pikiran saya seperti dilecut dengan beberapa pernyataan seperti perempuan itu harus cantik, harus menarik, menghargai dirinya agar dihargai orang lain dengan cara merawat tubuhnya, dan karena memang demikianlah hakikat perempuan.

Untuk beberapa jangka, saya terdiam mengiyakan, saya sepakat kita harus merawat tubuh kita – terlepas dari bagaimana pun bentuk perawataanya -- karena dengan begitu berarti kita mensyukuri nikmat Allah, menjaga amanah-Nya dan juga menghargai diri kita sehingga orang pun secara tidak langsung akan menghargai kita. Tapi selebihnya, mengingat konteks dan konsep buah pikirannya, hati saya menggeleng keras.

Pikiran saya segera terbang pada beberapa raut wajah yang begitu saya kenal. Wajah sederhana tanpa polesan make-up. Namun, saat tersenyum, seakan seluruh cahaya mentari tumpah ruah di wajahnya. Ia selalu tersenyum sangat tulus. Dan ketulusannya melekat jauh ke dalam hati. Ada lagi wajah polos sederhana lainya, tapi matanya begitu berkilau saat ia mendengarkan gundahmu, melerai setiap pahit ceritamu, dan ia pun menjelma menjadi bidadari tercantik yang hadir ke bumi karena ia menerimamu begitu apa adanya. Hhh....

Maka, dalam perjalanan pulang dalam taksi menuju Stasiun Sudirman, saya pun berseru dalam hati. Wahai perempuan dimana saja, mari kita berdoa bersama, semoga seseorang yang memilih kita untuk dijadikan pelipur laranya, pelepas gundahnya dan penenang gelisahnya bukan dari lembutnya kulit kita, halusnya wajah kita, lentiknya jari jemari kita, bukan hanya sekedar bungkus. Bukan karena sesuatu yang begitu rapuh dan mudah luruh. Begitu gampang hilang dan tersapu waktu seperti apa yang begitu jelas terpampang.

Semoga kita dipilih karena keimanan kita, buah pikiran kita, kehalusan kepribadian kita, kelembutan akhlak kita, dan kelapangan hati dan jiwa kita. Yang keseluruhan berpadu dalam sinaran yang memancar dari aura kita, saya yakin demikian. Karena itulah hakikat perempuan. Sebenarnya. Aah.. itulah doa terindah saya hari itu.

Sunday, July 30, 2006

maka, beribu doa pun melangit..

’Bunda sayang, izinkan aku, ya ?’

pintaku lembut saat itu,

dan semburat jingga pun bertabur dalam damai,

sedang penggalan-penggalannya menjelma beribu cahaya,

memercik luruh relung-relung yang tiba-tiba menyeruak,

menyisakan harap yang kian bergulir,

matamu meredup, peluh pun mulai jatuh,

beriringan, dan tatapmu nanar,

sedang raut kelam berdesing keras menguak sepi,

melekat gundah sedemikian erat,

’tidakkah sayapmu masih rentan, Nak?

sedang angin di luar pun sedemikian keras berderak,

bahkan mentari seringnya menyengat tajam,

dan itu membuatku galau, sungguh... ’

aku memeluknya,

menyimpan lapis demi lapis cintanya,

menitipkannya pada sinaran yang melingkar,

hanya sesaat,

karena dadaku sedemikian sesak,

sedang cintanya bergulir tanpa putus...

‘....insyaAllah, dia laki-laki terbaik pilihan Allah, bunda, untukku…

tidakkah itu indah ?

laki-laki terbaik pilihan Allah, bunda, untukku...’, pekikku parau

helaan napas panjang, berbaur rindu,

dan syahdu yang mengumandang, kini menjejak kuat

lalu, ia mengusap kepalaku, menyandarkan separuh napasnya

dan mungkin seluruh, karena kini haru mulai berbercak

’sayapku mungkin masih rentan, tapi sayap kami akan saling menyangga kan, bunda ?

hingga akhirnya mampu mengepak seluas dahaga sekuat sayap bunda kelak,

bukankah itu yang bunda ajarkan ?’

’bukankah bunda yang memanggilnya datang,

lewat doa-doa panjang bunda,

lewat sujud-sujud syahdu bunda,

dan dalam perjalanannya meniti langit, ia kini mengajakku serta,

bukankah ini yang bunda adukan dulu pada Pemilik Hati ?’

’................... dan bunda,

ia mencintai Allah,

belajar mencintai Allah sedemikian kuat,

tidakkah itu sudah cukup, bunda ?’

napasnya kini berbalur haru,

luruh sudah segala,

maka, beribu doa pun melangit,

memenggal setiap gulita,

melebur pupus,

dalam rangkaian panjang sebuah cita,

hanya Allah saja ………

Sunday, April 02, 2006

Azzamku

Aku bersumpah wahai diri

Masuklah engkau ke medan ini

Aatau kupaksakan dirimu

Bila semua orang berteriak “Maju“

Mengapa masih juga membenci surga !!!!!



Sudah lama hidupmu dalam tenang

Jiwa,….. oh jiwa…..

Kalaupun tak terbunuh di jalan ini

Dirimu akan mati jua

Inilah jalan keabadian

Yang paling sempurna

Lakukanlah, kau akan bahagia

Elakanlah, kau akan celaka



Abdullah bin Ruwahah – saat perang Uhud ---

Sunday, March 19, 2006

Puisi Pembangun Jiwa


mas kawin untuk bidadariku

adalah sekuntum bunga melati

yang aku petik

dari sujud sembahyangku

setiap hari


buah cintaku

dengan bidadariku

adalah lahirnya sejuta generasi teladan

yang menggendong tempayan-tempayan kemanfaatan

bagi manusia dan kemanusiaan

pada setiap tempat, pada setiap zaman


mereka lahir demi kesejatian sebuah pengabdian

dalam abad-abad yang susah,

abad-abad tidak mengenal Tuhan

abad-abad hilang naluri kemanusiaan

abad-abad berkuasa rezim-rezim kemungkaran

dan mereka tetap kekar dan setia

membela kebenaran

dan keadilan


estafet perjuangan kami berkelanjutan

sambung-menyambung pada setiap generasi

tak berpenghabisan

terus bergerak

mengaliri ladang-ladang peradaban

seperti cintaku

pada bidadariku

yang terus tumbuh

semakin subur

dari hari ke hari

laksana kalimat-kalimat suci

di hati para salehin

di hati para nabi

(Habiburrahman El Shirazy, ”Bidadariku”, 2000)



untuk sebuah hati. yang jauh. saat Allah menyusupkan ketenangan dengan begitu mudahnya.

Monday, January 30, 2006

Ada banyak ruang di hati kita ....

Ada banyak ruang di hati kita. Ada ruang untuk berkeluh kesah. Ada ruang untuk berduka. Ada ruang untuk merasa kesepian. Ada ruang untuk merasa lega. Ada ruang untuk berbahagia. Ada ruang untuk rasa-rasa tak bernama. Dan begitu banyak ruang untuk setiap jeda dalam hidup kita.

But, life is about choosing wisely, rite ?

Sekarang, berarti tinggal kitanya, mau dan bisa tidak untuk memilih secara bijak.

Kita bisa menghabiskan separuh napas kita untuk berada dalam ruang berkeluh kesah. Atau kita pun bisa memangkas habis seluruh hayat kita dalam ruang bernama kesepian. Semuanya hanya sebuah pilihan. Dan seperti halnya sebuah pilihan, dibelakangnya berderet berantai konsekuensi. Jika dan jika, hanya dan bila, lalu dan kemudian. Hhh...

Ada banyak ruang di hati kita. Ada ruang untuk mengurai letih. Ada ruang untuk merangkai cita. Ada ruang untuk memecah penat. Ada ruang untuk menabur kemilau. Ada ruang untuk rasa-rasa tak bernama, dan begitu banyak ruang untuk setiap jeda dalam hidup kita.

Again, life is about choosing wisely, rite ?

Seluruhnya pilihan. Beribu jalan membentang di hadapan. Bertaut pintu terbuka siap dimasuki. Dengan jutaan kilau pesona warna yang ditawarkan. Dan seluruhnya hanya sebuah pilihan.

Look, betapa hebatnya manusia ciptaan Allah ya ? Sanggup memilih. Untuk membangkang. Atau tunduk pasrah. Untuk hina. Atau mulia. Untuk bahagia utuh dan seluruh. Atau pilu penuh sesal di setiap jarak.

Hhmm.. tapi manusia adalah manusia. Sejatinya manusia. Bukan alunan cahaya. Bukan pula kobaran api. Hanya tanah. Dan seluruhnya adalah tanah. Ia mulia karena ruh yang ditiupkan-Nya. Ia mulia karena kehendak, kemauan dan kemampuan. Ia akan tetap mulia. Sungguh mulia. Karena pilihan-pilihan. Ia pun bisa hina. Sungguh terpuruk. Karena pilihan-pilihan. Dan seluruhnya hanya sebuah pilihan.

Ada banyak ruang di hati kita. Ada ruang untuk menyemai bintang. Ada ruang untuk setiap tatapan. Ada ruang untuk seluruh pagi dan senja. Ada ruang untuk rasa rentan yang bertahan. Ada ruang untuk setiap kerapuhan. Ada ruang untuk rasa-rasa tak bernama, dan begitu banyak ruang untuk setiap jeda dalam hidup kita.

But, again, life is about choosing wisely, rite ?

Karena manusia hakikatnya adalah jalinan sendu. Maka, mari sejenak berkunjung ke ruang kerapuhan, ruang mengurai perih, ruang setiap guliran pupus. Ruang yang tampak hanya biru di setiap sisinya. Nikmati setiap jamuannya. Dan jadilah manusia. Namun saat semua mulai menghujam, segeralah berpamitan. Ingat, kita hanya berkunjung. Sejenak. Kita hanya meletakkan lara kita saja. Meninggalkannya di sana. Dan berlatih untuk bersabar. Hingga setelahnya, jauh setelahnya, langkah kita terasa ringan.

Karena manusia hakikatnya adalah rautan gelak tawa. Maka, mari sejenak berkunjung ke ruang penuh kelegaan, ruang menuai kemilau, ruang penuh sinar berbalut semburat hijau. Ruang yang melayangkan setiap berat yang kerap hadir. Nikmati setiap jamuannya. Dan jadilah manusia. Namun saat semua mulai melambung, segeralah berpamitan. Ingat, kita hanya berkunjung. Sejenak. Kita hanya meletakkan lega kita saja. Menitipkannya di sana. Dan berlatih untuk bersyukur. Hingga setelahnya, jauh setelahnya, langkah kita terasa ringan.

Karena begitulah hakikatnya ruang dan rasa. Semuanya bermuara pada Allah. Saja. Allah yang mencipta setiap ruang. Allah yang menghadirkan setiap rasa. Ia pemilik segalanya. Kita hanya pelaksana saja. Menunaikan segala sesuatunya sesuai dengan porsinya. Tidak berlebihan. Karena yang cukup itu baik. Baik untuk kesehatan jiwa. Baik untuk ketenangan Hingga diujung jalan nanti, yang mendekap kita hanya kebaikan semata. Lalu damai pun menyelubungi. Maka jadilah manusia. Maka, jadilah jiwa-jiwa tenang. Will you ?

Desi Novita Sari

Bismillah, dengan hati menuju tenang

29 jan 06, 11:08 pm

Friday, January 13, 2006

Perasaan saya tentang Novel ”I don’t know how she does it” by Allison Pearson

From : Kate Reddy, Wrothly, Yorkshire

To : Debra Richardson

Debs sayang, bagaimana kabarmu?

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Kau tahu aku selalu mengatakan ingin bersama anak-anakku. Oke, aku benar-benar ingin bersama anak-anakku. Kadang-kadang, kalau pulang terlambat untuk mengantar Emily tidur, aku menghampiri keranjang cucian dan Menghirup Bau Pakaian Mereka. Aku begitu kehilangan mereka. Aku belum pernah mengatakan ini pada siapa pun. Tapi begitu aku bersama mereka, seperti sekarang ini, kebutuhan mereka jadi seperti tak ada habisnya. Rasanya seperti hubungan cinta yang dijejalkan ke dalam satu akhir minggu yang panjang – hasrat, ciuman, air mata, aku sayang padamu, jangan tinggalkan aku, aku mau minum, kau lebih sayang dia daripada aku, bawa aku ke ranjangmu, rambutmu bagus, peluk aku, aku benci padamu.

Capek dan ngeri dan ingin buru-buru kembali kerja supaya bisa istirahat. Ibu macam apa yang takut pada anak-anaknya sendiri ?

Salam dari Wrothly,

K8 xxxxx

Saya pertama kali melihatnya di toko buku Gunung Agung. Niatnya sih sekedar membeli DVD Akal untuk adik saya. Dan berwanti-wanti dalam hati untuk tidak membeli novel lagi. Dengan tanda seru dan garis bawah tiga rangkap !! Tapi saya tidak bisa menahan diri untuk sekedar melewati rak novel. Saya pikir, ah kan cuma lewat saja. Melirik tidak mengindikasikan akan membeli bukan ? Dan ya, saya pun melewatinya. Melenggang perlahan. Berkata dalam hati, cukup sudah belanja buku. Minggu kemarin kamu baru saja menghabiskan budget buku untuk tiga bulan mendatang. Jangan boros. Dan saya mengangguk berkali-kali. Ya. Ya. Ya. Jikalau saya menemukan buku bagus, berati tunggu empat bulan lagi. Oke. Berdamai dengan hati.

Dan lalu saya menemukannya. Di baris keempat. Warna covernya ramai, khas chiklit. Heyy, ini chiklit. Bayangkan, saya bahkan belum pernah tertarik pada chiklit sebelumnya. Saya pikir chiklit adalah bacaan yang terlalu ringan dan saking ringannya seperti melayang di udara, tidak berbekas bacanya. Huh !! Tapi rasanya rumusan tadi tidak berlaku. Saya meraihnya. Begitu saja. Membaca selintas judulnya : ”I don’t know how she does it ” yang diterjemahkan ”Sibuk Berat ”. Lalu membaca cover belakangnya.

”Kate Reddy, seorang manager investasi.............“

Huahh, mungkin saya langsung jatuh cinta pada buku ini gara-gara kata investasi. Terus terang saya rindu sekali bahasan investasi. Saya menekuninya saat kuliah. Felt like this topic is my blood. Tapi lalu mengikisnya perlahan karena bidang pekerjaan saya sekarang jauh sekali dari lingkupan investasi L.

”..............., ibu dua anak. Hidupnya diperhitungkan hingga ke menitnya, dan kepalanya berisi jutaan hal yang harus diingat. Presentasi, konser Natal di sekolah, telekonferensi dengan klien, membatalkan janji spa, mengecek indeks Dow Jones. ..... Dengan begitu banyak bola yang melayang di udara, cepat atau lambat salah satunya pasti jatuh juga. ”

Oke, ---dalam hati saya sok menyimpulkan---, jadi tokoh utamanya seorang ibu dua anak yang juga manager investasi yang super sibuk. Dan dia membagi – entah jika memang ada yang bisa dibagi – antara rumah dan kantornya. Baiklah, topik yang sensitif.

Di kantor saya, topik ini seperti gigitan nyamuk, kau tak bisa menikmatinya jika tidak menggaruknya. Bolehlah kantor saya mendapat award ”the best company for working mother”, tapi seorang perempuan adalah seorang ibu, bahkan sebelum dia menjadi karyawan, saat dia dilahirkan ke dunia pun dia sudah berpredikat seorang calon ibu. Dia tidak menikmati penuh pekerjaannya sebenarnya, dia hanya membagi perasaanya menjadi dua dan diharapkan pengorbanan itu sudah cukup. Ah, betapa sok tahunya saya, kan saya belum menjadi seorang ibu J.

Saya masih menggigiti bibir, saat melenggang keluar Gunung Agung tanpa buku itu. Padahal saya sudah hampir menghabiskan bab satu tanpa keluhan satu pun – bayangkan, saya yang selalu mengeluh setiap saat kali ini tidak mengeluh -- dan dengan berat hati meletakkannya kembali. Ini gara-gara saya beli buku ”Jika Einsten jadi Koki”, ”Growth Everyday”-nya Dottie siapa itu, terus delapan buku lainnya yang saya beli saat saya ’kalap’ minggu kemarin. Disiplin desi, disiplin, ujar saya berkali-kali.

Oke, baiklah, jika saya tidak boleh membelinya mengingat integritas saya dan janji bodoh untuk menepati pada diri sendiri – hikks. Kita kan bisa menyewanya. Ide bagus ( sungguh ? ). Maka keesokan harinya – yang kebetulan masih libur lebaran --, saya pergi ke Gerai Buku. Tempat penyewaan buku yang punya konsep bagus mulai dari tempat yang luas dan bersih, sofa-sofa empuk, buku-buku rapih yang bersampul jali, musik yang easy listening, hingga hari peminjaman yang cuma satu hari serta denda yang ekstra ketat. Konsep yang sama juga diterapkan oleh BUBU yang berlokasi di Margonda – UI – tapi dengan ukuran yang lebih kecil dan tingkat kenyaman tempat beberapa derajat lebih rendah.

Buku ini lumayan tebal – 468 halaman. Sebenarnya saya bisa membacanya habis dalam empat jam non stop. Tapi ternyata saya menghabiskannya dalam waktu enam hari – untung saya menyewa enam buku di Gerai Buku, pemborosan sejati karena tidak dibaca, kalau tidak bisa dibilang tindakan yang bodoh -- hikks. Karena setiap satu halaman, saya hanya harus berpikir sebentar dan lalu tertawa miris. Terlalu penuh kepala saya jika saya memaksa membaca keseluruhan buku tanpa mencerna dan mengunyahnya perlahan-lahan hingga saya menemukan inti sarinya. Karena itulah dibutuhkan waktu untuk sehari membaca penuh dan tertawa seminggu setelahnya.

Betapa miripnya apa yang dituliskan Allison Pearson dengan apa yang saya jalani setiap hari atau working mother lainnya. Draft untuk telecon nanti siang, review super singkat dengan bos besar yang tidak bisa terima hal lain kecuali kabar baik, bahan untuk meeting dengan cross team mate, dan kekacaubalauan lainnya yang sering terjadi di kantor. Atau telepon dini hari saat team mate menelepon mengatakan kondisi darurat di customer. Dan mengharuskan saya membuka laptop saya dan bicara dengan orang-orang Austria mengenai satu license keys yang harus selesai saat matahari terbit di negara saya. Tak terbayangkan jika saya punya suami nanti, apakah dia akan mengizinkan saya berada dalam ’kehidupan nyata’ kalau tidak dibilang ’kegilaan yang konsisten’. Haha... Belum lagi ditambah dengan aktivitas sebagai ibu yang tidak tergantikan. Wwoow.. .. i don’t know how she does it !! And i don’t know how you all do it, moms !!

Saya suka membaca novel ini karena seperti membaca bagian hidup seseorang yang begitu dekat. Seperti membaca buku harian seseorang dan merasa bersalah karena meneruskannya hingga lembar terakhir. Alurnya yang super cepat, naik turun, konflik-konfliknya yang menyedot tabungan emosi saya untuk tertawa, miris, jijik dan ber-mellow ria. Semuanya menakjubkan. Bahkan hingga epilognya yang menutup kisah ini dengan cukup bijak – yah setidaknya begitulah menurut saya. Ia memaparkan secara luwes apa yang mendorong seorang ibu bekerja, mulai dari materi yang lebih untuk memberikan seluruh fasilitas hidup terbaik bagi anak dan keluarga hingga materi lagi dan materi lagi. Hahaha…

Saya jadi teringat dulu saat masa sekolah, setiap pulang latihan Taekwondo, saya selalu melewati Yamaha Music tempat les piano. Saya hanya bisa memandangnya dari balik kaca. Seluruh piano dan alat musik lainnya yang begitu tampak mewah. Dan berpikir, mungkin suatu hari nanti, anak cucu saya harus dengan mudah bisa mengikuti seluruh les yang dia mau. Apapun itu. Hhmm.. sepertinya saya begitu mudahnya memahami Kate Reddy.

Selain masalah double occupation – as a mother and full time employee – dan perkembangan terbaru pasar saham dunia serta tak lupa Alan Greenspans-nya, Allison Pearson pun menyinggung diskriminasi gender di perusahaan, peran laki-laki – sebagai suami dan ayah -- dalam sebuah keluarga, hubungan mertua-menantu, sexual harrasment yang ‘terkesan’ wajar dan akhir yang manis dari persengkokolan para wanita – haha.. saya suka sekali bagian ini :p

Jeda lunch break, saya sempatkan untuk mencari informasi mengenai Allison Pearson di Google. Ternyata buku ini mendapatkan award pada tahun 2003 untuk beberapa kategori – saya tidak ingat detailnya, mungkin Critic Book of the Year-nya UK etc. Awalnya adalah tulisan lepas di Daily Telegraph-nya Inggris dan setelah itu dibukukan. Saya tidak meneruskan pencarian informasi mengenai background Mrs Pearson. Tapi saya meyakini jika ia pernah menjadi seorang manager investasi karena menggambarkan alur yang begitu cerdas dan tepat, dan jika ternyata tidak, berarti ia penulis yang saya cintai kedua setelah Mba Imun J.

Untuk buku ini, meski Amazon.com memberinya empat jempol dari lima yang ada, maka saya memberinya satu hati saya dan teriakan : Heyy guys, buku ini sangat layak dibaca, direnungi dan ditertawakan – itu harus, karena selera humor seringnya memudahkan seesorang bertahan di sebuah dunia yang berputar. Terus berputar. Dan berputar.

Maka sore ini, saat saya menggadaikan integritas saya dan berjanji inilah hal terakhir yang tidak saya tepati, saya menelepon inibuku.com dan menambahkan satu buku dalam keranjang belanja saya sambil mengitung sisa hari hingga gajian bulan ini.

”.... ya, mba, ……judul bahasa indonesianya, Sibuk Berat.. benar… Allison Pearson, ……Oke, .. lantai 32 ya, langsung hubungi nomer saya.... cash on delivery, baiklah.. terima kasih ..”

Hhh, ada yang membuncah seketika, haru dan penghargaan…

Salam hormat saya untuk seluruh ibu di dunia. Betapa kalian begitu sangat hebatnya !!!

Ulasan Novel Negara Kelima-nya ES Ito

“Ibu, Aku Ingin Mengubah Bintang.....“

Hhhh... indah sekali. Sesederhana itu. Dan saya jatuh cinta. Seketika.

Haha.. saya tidak sedang menulis tentang seseorang. Tapi tentang sesuatu. Sebuah buku. Mmh.. sebuah novel tepatnya. Seorang teman merekomendasikannya awal Desember kemarin. Dan saya menemukannya beberapa hari yang lalu. Tadinya saya sempat hopeless. Wong, saya browse di toko buku online langganan saya aja – yang super update itu -- gak ketemu. Eh, ternyata saya menemukannya secara tidak sengaja pas lunch break jum’at siang di Gramedia, Plangi. Yee, itu kan toko buku besar, kenapa gak dari kemarin aja ke sana, haha.. iya, soalnya ga sempat. Lagipula saya pikir, sepertinya tidak mugkin ada di Gramedia kalau di toko buku onlinenya aja nihil. Yaah, ternyata saya salah. Dan akhirnya saya mencatat rekor belanja buku tercepat. Pffiuhh...

Saya menemukannya di deretan buku-buku baru. Agak tersembunyi. Yah, pertama memang karena covernya gak eye catching – hitam suram dengan guratan-guratan biru kelam. Terus judulnya juga gak komersil : Negara Kelima. Terakhir, nama pengarangnya juga ga menjual : ES Ito. Hehe.. dasar desi, komentator sejati. Tapi toh saya tidak sempat berpikir dua kali, tidak sempat intip-intip isi novelnya (iyalah, kan diplastikin), tidak sempat pilih-pilih cetakan yang lebih bagus, segera novel itu saya bawa lari ke Kassa. Pertama karena hp saya berdering terus dengan suara galak plus ancaman teman kantor saya diujung sana kalau gak keluar Gramedia sekarang juga ditinggal pulang ke kantor – hiyyy galak deh, maklum, hampir lewat jam satu. Kedua, dan yang paling penting, karena saya mengenal pengarangnya.

’ES Ito, lahir pada tahun seribu sembilan ratus delapan puluh satu. Ibunya seorang petani, bapaknya seorang pedagang.’

Yupp, hanya itu saja keterangan tentang penulis. Letaknya di halaman terakhir. Dia ingin menyembunyikan identitasnya. Dan saya akan menghargainya dengan tidak menyebutkan secara eksplisit namanya. Tapi dia senior saya di kampus. Salah seorang aktivis kampus. Dulu, saya biasa membaca guratan-guratan pikirannya di mading BOE (Badan Otonom Economica FEUI) dengan pegal. Lho, kok pegal? hehe.. kan bacanya sambil berdiri. Dan tulisannya bisa berlembar-lembar panjangnya. Sarat akan semangat, gelisah dan harapan akan sebuah perubahan. Penuh realita.

Hhm.. tadinya saya berpikir jangan-jangan saya akan menemukan realita juga di novel ini. Bukan jenis tulisan yang akan saya pilih saat week end. Saya lebih menyukai negeri-negeri dongeng pada sebuah novel. Tentang mimpi dan cita-cita. Yah, tipikal LOTR, Harry Potter atau novel-novel indah yang sarat akan rasa-nya FLP. Hahha.. karena alasan sederhana, kita terbiasa melihat realita di sekitar kita. Di kereta api. Di tivi. Di kampus. Di kantor. Di jalanan. Dan bisa jadi pikiran kita akan terlampau penat. Sedang kita harus belajar untuk bermimpi. Tentang sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang lebih indah. Yah, begitulah...

Tapi toh, saya justru membacanya saat libur kompensasi tahun baru. Dalam semalam. Kalimat pembukanya – seperti yang saya tulis diatas – sangat indah. Mungkin karena mengandung unsur kata ’Ibu’. Sedang menurut saya, ’Ibu’ adalah salah satu kata terindah yang tercipta. Hhh...

By the way, novel ini unik. Genre yang berbeda dari yang biasa saya baca. Berarti bukan tipe melow dong? Hehe.. yupp, bukan tipe yang menyayat-nyayat perasaan saya. Saya tidak merasa terlibat secara emosional dengan alur dan para pelakunya. Saya juga tidak merasa terjun dan menyelami perasaan tiap tokohnya. Saya merasa seperti orang lain diluar lingkaran besarnya. Menatapi setiap putaran lewat kaca jendelanya. Alurnya mengalir. Lancar. Teratur. Dan bisa ditebak endingnya – itu menurut saya. Tapi tidak demikian halnya dengan komentar Bapak Maman S. Mahayana yang dosen FIB UI itu. Beliau memuji novel ini yang katanya menjanjikan ketegangan yang tiada habis, mengalir deras, berkelok-kelok, penuh kejutan, spekulatif, penuh intrik, dan narasinya yang tak terduga.

Meski demikian, ide ceritanya kreatif. Sangat bahkan. Dan saya menyukai setiap patahan konsep ceritanya. Meski dimulai dengan kasus pembunuhan. Tapi saya melihat sesuatu yang berbeda. Tentunya karena settingnya berbeda dengan novel yang biasa saya baca. Rasanya lucu membaca Polda Metro Jaya versus Reserse Kriminal. Karena saya biasa mendapati Kepolisian New York, misalnya, atau setting New Orleans di novel-novelnya Sidney Sheldon, Agatha Christie, atau novel-novel sejenis. Hehe.. gaya bener desi. Tapi jujur, novel ini membumi sekali. Seperti yang saya duga sebelumnya. Penuh realita. Tapi juga penuh mimpi dan cita-cita. Nah lho, bingung kan? Tapi ES Ito, menurut saya, cukup cerdas mengawinkan antara keduanya, mimpi dan realitas.

Baiklah, meski saya malas menceritakan kisahnya, ada baiknya juga membuat tergiur dengan beberapa potong episode yang mungkin akan menambah rasa penasaran lebih lanjut. Pucuk ceritanya tentang sebuah benda. Bernama Serat Ilmu. Selintas mirip idenya cincin di Lord of The Ring atau Lukisan Monalisanya Da Vinci Code ya. Tapi cuma selintas kok, selebihnya bertolak belakang. Jauh lebih luas ruang lingkupnya. Dan rentang waktunya dari masa Gunung Krakatau meletus, melewati Sultan Iskandar Agung, hingga Sjafruddin Prawiranegara dan generasi terancam hilang anak muda sekarang. Juga tentang zaman Mpu Gandring hingga Museum Nasional yang minim perawatan itu. Lha, des, jadi ini novel sejarah ? Mmh.. bolehlah, karena setelah membacanya saya jadi tahu Tambo-nya suku Minang. Tahu fiosofis matrilineal-nya Padang. Tahu sejarahnya Minang. Lha, kok Padang semua ? Hehe.. iyya, teman saya bilang novel ini narsis Padang sekali. Yah, tapi bolehlah, wong suka-suka novelisnya lah. Haha.. Mmh, tapi novel ini juga diselingi episode roman yang saya pikir kurang konflik. Atau jikalau ada, kurang dipertajam konfliknya. Sehingga ruang hati saya yang bernama ruang ’ konflik’ minus drastis.

Novel ini juga bicara banyak tentang dunia remaja elite yang penuh skandal pergaulan bebas. Dan mmh.. juga bicara tentang dunia bebas di luar sana. Tentang sifat-sifat mendasar manusia, tentang egoisme, tentang ketamakan, tentang idealisme, tentang rasa bangga akan sebuah identitas, tentang semangat, tentang perjuangan, tentang jalan panjang, dan juga tentang banyak kebaikan. Sebuah novel yang humanis. Meski di beberapa sisi ada hal-hal yang ditolak logika saya, tapi ini murni kecenderungan seseorang terhadap sesuatu. Namun secara keseluruhan, novel ini layak dibaca. Dan saya memberikan satu bintang untuknya. Hanya satu. Karena saya hanya punya satu bintang untuk merasakan – hanya merasakan lho, saya nda pantas lah menilai, hanya merasakan tok, sebagai penikmat novel sejati -- novel genre ini.

Namun, terlepas dari betapa cintanya saya pada ide ceritanya, saya yakin ES Ito memiliki berjuta gelisah dan harapan akan sebuah perubahan yang sanggup ia tuangkan dalam novel-novel berikutnya. Yang mungkin di novel selanjutnya, ia akan mengenalkan saya pada pelakunya dan mendorong saya terjun untuk setiap alurnya. Tidak membiarkan saya berdiri dibalik kaca menatapi semuanya bergulir seperti dalam novel ini.

Oh ya, ada satu hal yang membuat saya terharu biru, yaitu saat membaca satu bait bab akhir yang redaksionalnya seingat saya berbunyi : “Mahasiswa adalah kegelisahan. Dan derapnya adalah pergerakan..“ juga salah satu kalimat pelaku utama yang kembali seingat saya berbunyi : “Anak muda cerdas mana di Indonesia ini yang tidak menginginkan revolusi. Bangsa ini sudah rusak.“ Aaahh...

Seketika ada yang berderak jauh di lubuk hati saya. Sebuah perubahan. Dan sebuah proses. Dan diantara keduanya ada rentang berliku yang berisi pergulatan. Dan itu berarti perjuangan. Yang semuanya adalah jalan panjang. Maka, hanya kesabaranlah yang sanggup melaluinya. Mengisinya dengan begitu banyak kebaikan. Tanpa merusak dan menghancurkan. Kesabaran menjalani setiap proses. Kesabaran menitinya dengan doa dan usaha. Bahwa di setiapnya akan tumbuh begitu banyak kebaikan. Hingga Allah mengantar kita pada sebuah titik, yang terangnya telah menyilaukan. Entah kapan. Tapi yakinlah ada. Untuk diri kita. Untuk keluarga kita. Untuk masyarakat kita. Untuk bangsa kita. Untuk Islam dan tegaknya. Untuk semuanya yang berbalut cahaya. Aamiin.

Terakhir, jika teknis penulisannya dan senjata-senjata ES Ito untuk terjun ke medan perang publik – dimana mba-mba dan mas-mas jagonya di milis FLP ini – telah terasah dan jam terbangnya sudah tinggi, saya yakin saya akan lebih bahagia setelah membacanya. Saya ingat, saat itu pukul 11:58 tengah malam saat saya menutup novel ini dan tersenyum sambil menutup mata. Tertidur. Dan setelahnya saya bermimpi tentang semburat ungu dan hijau yang bertebaran acak. Indah sekali.

Baiklah, Bapak ES Ito yang terhormat, tetap semangat berkarya, saya tunggu karya berikutnya dengan berjuta pemikiran, idealisme, semangat, gelisah, harap dan cita untuk sebuah perubahan. Ke arah yang lebih baik. Pastinya.

Desi Novita Sari