Friday, May 11, 2007

Saat kelam menggulung kilau, perlahan...

Saat kelam menggulung kilau, perlahan...

Aku ingin selalu menuliskanmu puisi-puisi
mangalir seperti aliran darah membawa energi
hingga ke sel-sel yang tersembunyi
berhembus dalam setiap helaan nafas hidupku

Tapi sayang...itu bukan puisi untuk kita, seorang hamba
Itu adalah rentetan-rentetan suku kata dan rasa
untuk Yang Maha Indah
aliran syair bagi Pemilik Jiwa
puisi-puisi kita pada Sang Pencipta

Kita kan tuliskan puisi-puisi,
rentetan kata dan rasa,
aliran syair dan cerita,
untukNya
pada tiap aliran darah,
pada tiap helaan nafas hidup kita

Cucuran darah kan menjadi warna indah pada tinta puisi kita
Engahnya nafas menjadi rentak dalam pembuktiannya
Kita kan selalu menuliskanNya puisi-puisi
mengalir seperti aliran darah membawa energi
hingga ke sel-sel yang tersembunyi
berhembus dalam setiap helaan nafas kita

Puisi-puisi yang menjadi sempurna saat aliran darah terhenti
saat hembusan nafas senyap
saat sempurna melihat wajahNya..

Bersediakah kau sayang....????


"Lakukanlah apa yang kita mampu dan tahu,
biarkan Allah memampukan dan memberitahukan
apa yang kita tak mampu dan apa yang kita tak
mengetahuinya."



Note : Puisi di atas ditulis oleh belahan hati saya. Yang bagi saya pribadi merupakan puisi penggerak, saat jiwa mulai layu. Puisi penggubah cahaya saat kelam mulai berjejak. Sekaligus merupakan puisi yang tiap baitnya begitu indah dan menghujam hingga jauh setelahnya.

Sekolah Alam (Part 1)

Tentang Kepindahan
Banyak alasan untuk pindah.
Pindah untuk mendapatkan yang lebih baik.
Pindah untuk lebih dibebaskan menjadi diri sendiri.
Dan pindah untuk diakui sebagai pribadi yang unik.
Itulah beberapa alasan utama mereka pindah ke Sekolah Alam.


Gramedia Bogor, pertengahan oktober 2005, saat mentari begitu menyengat,

Liburan?? Hhmm, menurut saya adalah toko buku. Ya Gramedia, Gunung Agung, Al-Amin, Nurul Fikri, Bazaar-bazaar buku, Gerai Buku, sampai mas-mas ramah dengan senyum lebarnya di stasiun Sudirman yang menjajakan majalah super lengkap mulai dari Cita Cinta, SWA sampai Tarbawi. Hah, Serius? Hhaha.. iyya, karena liburan bagi saya ya identik dengan arung jeram, outbond, bungee jumping, kemping gitu, atau jalan-jalan ke desanya teman saya di Lampung. Tapi berhubung di Bogor minim sekali pilihannya, jadi saat melerai setiap otak yang kusut ya dengan jalan-jalan melalui buku, tapi terlebih dahulu ya dibeli dulu bukunya hehe, dan dimana lagi kalau bukan toko buku.

Maka jadilah toko buku tempat favorit saya. Meski cuma memelototi setiap buku dan memaksa mas-mas penjaganya merobek plastik bukunya supaya saya bisa melihat detail isinya, sudah melegakan hati. Yah, walaupun karena bukunya tidak bermutu, terkadang tanpa rasa malu saya letakkan buku yang sudah susah payah dirobek plastiknya itu disertai senyum manis dan kata-kata maaf yang ajaib untuk penjaganya. Dan bereslah semua. Oh ya, ada satu hal lagi yang membuat saya memfavoritkan toko buku, pertemuan-pertemuan tak disengaja dengan teman-teman lama saya. Ya, seperti hari itu. Tatapan saya menubruk seseorang diujung sana, bagian buku-buku laris.

“ Sigiiitt ??!! “
“ Desii ??!! “

Huaah, saya bertemu teman SMU saya, teman satu organisasi dulu. Dan dia tidak berubah banyak. Masih seseorang yang beraura kebapakan dengan senyum lebarnya yang khas. Lalu obrolan pun mengalir. Dan kami pun bertukar kabar. Sigit lulusan IPB. Dia kini seorang guru. Sekolah Alam, ujarnya berjeda. Dan saya mengenalinya sebagai rasa bangga. Hingga kami berbalas salam, dan dia menghilang di kasir, saya masih merasakan rasa bangganya. Pada profesinya. Pada sekolah tempatnya mengajar. Hhhm, menarik.. Dan saya pun kembali menekuri buku-buku di deretan berikutnya.

Saya langsung teringat Sigit saat saya menemukan sebuah buku. Covernya lucu. Coret-coretan seorang anak umur lima tahun. Kok saya tahu, habis persis coretan adik saya yang kecil. Judulnya, Menemukan Sekolah yang Membebaskan ditulis oleh Komunitas Sekolah Alam. Kali ini saya tidak memaksa penjaganya membuka plastiknya, saya masukkan langsung ke keranjang. Lebih karena rasa ingin tahu saya akan rasa bangganya Sigit pada Sekolah Alam dan sedikit woman’ s feeling bahwa buku ini buku yang bagus.

Maka mulailah liburan saya kali ini. Saya menghabiskannya di kereta. Dan setelahnya saya ingin sekali menuliskan rentetan kata-kata yang dimulai dengan ranting-ranting merah di bawah pohon perdu, percik air dalam warna bulan atau semburat-semburat jingga dalam lembayung pagi dan berjuta kata-kata indah lainnya yang bisa terangkai. Betapa kita memiliki kilau sejati berlian yang tidak pupus, kekuatan dan ketabahan hati-hati yang lapang untuk menanggung beban dan amanah umat. Ya, anak-anak. Makhluk suci berparas cahaya.

Kata pengantar yang ditutur oleh ustadz kesayangan saya, ustadz Anis Matta, selalu seperti biasanya, menoreh sangat dalam. Beliau berbicara tentang belajar adalah proses berubah secara konstan. Tentang ’luka persepsi’ saat usia dini yang mungkin melahirkan ’luka emosi’ saat usia menanjak dewasa. Tentang wajah-wajah penuh cahaya yang dilahirkan tidak untuk menanggung obsesi-obsesi sang orang tua. Tentang ’menjadi’, bukan ’menguasai’ sesuatu. Tentang belajar matematika yang melatih kemampuan logika seseorang, tentang belajar sejarah yang menajamkan kesadaran atas identitas kolektif. Tentang pengetahuan adalah sebuah ’fungsi’ bukan ’barang’ yang diperdagangkan dalam komoditas sekolah. Tentang tradisi ilmiah, tentang pengembangan intelektual berkesinambungan, tentang sikap seseorang terhadap pengetahuan, bukan hanya ’sekedar’ prestasi belajar. Dan begitu banyak ’tentang’ lainnya yang beliau petik dari pengalamannya menyekolahkan keempat anaknya di Sekolah Alam.

Dan selebihnya buku tersebut menggulirkan apa yang ada. Begitu terbuka. Sehingga yang lahir hanyalah keindahan. Tak lebih.

Proyek idealis membangun bangsa, simpul saya saat menyudahinya. Buku ringan yang tak disangka sangat berat. Gabungan dari begitu banyak pola pikir, tulisan dan patahan-patahan episode hidup. Mulai dari penggagas ide, pendiri, guru, orang tua murid hingga murid-muridnya sendiri. Semuanya bercerita. Dan percik-percik yang tertampung begitu sederhananya mengalun. Dari kisah tentang menitikberatkan pada konsep manusia sebagai makhluk individu yang unik, tidak hanya ’kecerdasan’ yang diukur dari angka-angka, tanpa diberi kesempatan untuk menampilkan keunikannya. Lalu kisah tentang sekolah yang mendidik, bukan hanya mengajar. Ada lagi kisah menginap di sekolah untuk mengamati planet Mars, outbond lengkap dengan tali temali dan kolam pasir, market day saat belajar mengenai uang dengan praktik berjualan, tidak adanya seragam, kepercayaan bahwa setiap anak dilahirkan sebagai anak pandai dengan cara yang mungkin berbeda-beda, tentang saung sebagai ruang kelas, tentang rumah pohon, tentang kolam ikan dan berbagai macam tumbuhan, tentang sekolah yang membebaskan anak-anak untuk menjadi dirinya sendiri. Kisah lainnya tentang seorang anak yang menasehati bundanya saat sedang marah, “Bunda, jangan marah... surga bagimu, ayo Bunda, istighfar ya... “. Sekolah yang tidak hanya bemurid anak-anak, tapi orangtua murid pun turut serta ikut belajar, bahkan hingga khadimat-khadimatnya. Sekolah yang memiliki kurikulum ’belajar untuk hidup’ dan bukan ’belajar untuk sekolah’. Hhh... hati saya berdegup. Saya harus melihat sekolah ini.
-- bersambung ke part 2 --