Monday, May 26, 2008

Gerai Buku

Ketika Suami Saya Begitu Jauh…….

Laki-laki itu menghentikan motornya tepat didepan bangunan itu. Saya segera turun dari motor tua kesayangannya dan mencium tangan beliau meminta izin sembari mengucap terima kasih. Lalu motor tua itu pun melaju pulang.

Saya tersenyum. Betapa sayangnya saya pada laki-laki senja itu. Meski putrinya telah menikah, bahkan memberinya cucu, masih saja mau direpotkan untuk urusan antar mengantar seputar Bogor. Tapi seperti cerita Mama, setelah saya menikah dan tinggal di Jakarta, ternyata Papa kehilangan – dan bahkan merindukan -- aktivitasnya untuk antar-mengantar mengelilingi Bogor. Antar Desi ke pengajian. Antar Desi ikut seminar. Antar Desi ke toko buku. Hehhee... Dan saya justru menikmati naik motor berdua saja dengannya. Melibas angin. Menentang sore.

Siang masih menggelinding. Bahkan panas pun mulai menyimpulkan teriknya. Bangunan itu dua lantai dengan pintu kaca yang didepannya terpasang tanda ”Buka” besar-besar dengan warna merah. Gerai Buku. Aaah.. masih sama. Seperti dulu. Saya tersenyum sekilas. Berusaha mengenang aktivitas favorit sepanjang masa mmm...saat saya lebih muda dulu hehhe...

Saya memasukinya. Angin dingin AC serentak menyergap. Mata saya segera menyapu buku-buku yang berjajar rapi. Terkategorikan seksama. Jika saya nanti diberi keluangan niat dan kemauan untuk berbisnis, jenis bisnis seperti Gerai Buku inilah yang akan saya buat. Lantai satu ini penuh buku-buku baru yang dijual dengan harga sedikit lebih murah jika dibandingkan harga buku di toko buku besar lainnya seperti Gramedia. Ruangannya tidak terlalu luas, sehingga tidak lengkap semua buku ada disini. Tapi terus terang, buku-buku pilihan yang ada disini justru hampir semuanya saya katakan menarik. Dan saya dapat simpulkan sang pemilik Gerai Buku ini selera bukunya ’tajam’. Ia mengambil tema-tema unik dalam setiap kategori. Dan indahnya seperti pelangi. Indah saja.

Lantai duanya dulu juga penuh buku, hanya saja ditengah-tengahnya lapang. Dan banyak anak-anak bergelimpangan alias membaca buku santai dengan banyak bantal-bantal empuk. Lantai dua dulunya unit penyewaan buku. Mulai dari novel, komik, buku motivasi, buku ekonomi sampai buku resep masakan tersedia untuk disewakan. Bahkan kita juga bisa request buku baru yang dijual dibawah untuk disewa. Ooh... Indahnya dunia.

“Iya, mba?” sapa sang penjaga toko yang melihat saya kebingungan mencari tangga menuju lantai dua. Akhirnya setelah dijelaskan, saya jadi sedikit menyesalkan strategi bisnis sang pemilik yang mungkin positif dari segi pemasukan, tapi tidak memupuk subur minat baca. Ternyata tangga telah ditutup, dan lantai dua sekarang telah dijadikan penyewaan play station dan warnet. Sedihnya... hukum supply dan demand disini berlaku. Penyewa buku bagus jarang datang. Akhirnya supaya tidak merugi, banting setir dengan merusak moral anak bangsa dengan play station. Makanya jika saya ingin berbisnis toko buku, saya harus jadi konglomerat dulu, bisnis hanya sebagai hobi, pemasukan urutan kesekian gigallion deh. Hehhe...

Tapi usaha sewa buku di Gerai Buku ini tidak dihilangkan, hanya saja buku-buku yang terpampang tinggal novel dan komik. Satu dua buku bagus –sangat terbatas-- untuk disewa. Salah satu yang layak baca, World is Flat ada disana. Ngilu juga.

Tapi sudahlah, toh tujuan saya disini rendezvous. Suami saya sedang kunjungan kedua kalinya ke Mexico, -kalau suami saya bilang, sudah kaya pulang kampung aja, lebih bahkan, toh pulang kampung saja cuma setahun sekali-, saya pun mengungsi ke rumah Neneknya Safwa. Dan waktu –saat suami saya begitu jauh-terasa begitu panjang. Rindu pun sudah dilucuti. Maka saat air merindukan lautnya, lembar-lembar waktu pun bergulung berputar-putar. Putih saja.

Proses mengenang memang menguras energi. Setelah dua jam menekuri semuanya, saya menaruh perhatian pada buku ’Panduan Lengkap Homeschoolling’. Safwa baru 10 bulan, tapi saya bertekad dari sayalah dia belajar baca quran, belajar baca alfabet, dan belajar lainnya, karena saya capable untuk itu semua dibandingkan perempuan lainnya didunia, karena saya adalah bundanya. Yang akan melimpahinya dengan cinta seorang ibu. Lalu ada ’jangan mau gak nulis seumur hidup’nya-Gola Gong. Karena saya meyakini saya adalah penulis. Meski sangat tidak produktif. Tapi menulis bagi saya adalah berbagi. Berbagi itu sedekah. Sedang sedekah adalah salah satu pintu ridho-Nya. Juga ada ’Bunda Luar Biasa’-nya Ahmad Ghozali yang kemudian memasuki relung pikiran saya untuk mulai buat bisnis kecil-kecilan. Ada lagi buku ’Semua Bunda adalah Bintang’-nya Neno Warisman sebagai cemilan ibu-ibu setelah memasak hehhe. .. Terakhir dari segi non fiksi ada ’Eneagram : Panduan Mendidik Anak’, yang meyakinkan saya kalau saya menikahi pria dengan tipe 2 alias Suka Penolong. Dan semuanya masuk kantong belanja saya, masih kantong plastik hitam, L, niatnya pengen buat tas belanja sendiri yang dipakai ulang untuk setiap belanja, sayang bumi dong. Sayang anak cucu juga.

Segi Fiksi, ada novel ras di amerika : To Kill Mockingbird, yang alurnya mulus lus lus kaya jalan tol, terus ada novel detektif pembunuhan tentang sekte agama gitu, dan terakhir ada Sherlock Holmes – Misteri tak terpecahkan tapi yang ngarang tentunya bukan Conan Doyle, tapi ditulis oleh orang lain, agak semangat bacanya tapi lemes diprosesnya, teriming-imingi tulisan depan dari New York Times : Sangat mengharukan !! Padahal.......

Kalau Dee ’Supernova’ bilang, proses baca-tulis baginya adalah proses bernapas, yaitu membaca seperti menghirup udara, dan menulis diumpamakan mengeluarkan udara. Maka saya ingin sekali tulisan saya ini –yang merupakan proses mencuri waktu saat Safwa sedang terlelap-- merupakan upaya untuk berbagi untuk semuanya. Apapun itu. Insyaallah keberkahan. Dan kebaikan. Amiin...

Thursday, May 08, 2008

Barakallah ya...

Bismillahirrohmanirrohim…

Di acara rekruitmen bank yang paling dinantikan tiap tahun.
”Ooh, udah nikah ya... Aku belum Des, nunggu dapat kerjaan tetap dulu, pacarku sih udah tetap kerjanya, tapi kan aku belum. Biar penghasilan keluarganya mantap nih. Makanya doain ya. Biar keterima nih.” Seloroh gadis teman SMU ku dulu. Pekerjaan ya, hhmm...

Ngobrol siang-siang dengan majalah terbuka dan hembusan sepoi-sepoi.
”Gak Des, belum euy, ini masih hunting rumah, setelah rumahnya udah pasti, baru mulai serius nyusun nikahan. Ada rekomendasi nda? ”. Ujar teman kuliah saya. Hhhm.. rumah ya.

Sambil memegang dua undangan, saya menceritakan dua kisah diatas itu semuanya saat kami sedang menikmati air mancur di FEUI -- Duduk di taman. Langit begitu senja. Untunglah Safwa ada dipangkuan saya. Jika tidak nanti timbul gosip lagi ada mahasiswi berjilbab pacaran depan taman. Halah.. serasa tampang masih mahasiswi aja hehe.. -- Suami saya berujar, ”Semoga dilapangkan hati orang-orang yang akan menikah itu..” Hhhmm.. amiin...

Saya jadi teringat dulu saat menikah. Saya sudah dua tahun kerja di sebuah perusahaan. Karyawan tetap. Tunjangan kesehatan dan keuarga lengkap. Tapi sejak awal menikah pun saya sudah mulai rewel ingin keluar kerjaan. Approval dari suami sih langsung sekejap. Tapi approval dari manager baru setahun kemudian terpenuhi. Lebih karena moral hazard sih, transfer kerjaan harus smooth samapi ke centralnya di Kuala Lumpur. Sedang suami baru saja menyelesaikan studi S2-nya. Ia sudah terikat kontrak lima tahun balik ke kampus sebagai dosen karena beasiswanya. Tapi saat itu satu mata kuliah pun untuk diajar belum didapatkan. Sekarang saya ibu rumah tangga. Suami masih di kampus. Mengajar. Tapi dalam setahun ini, sudah dua kali menolak ajakan temannya untuk jalan-jalan keliling eropa saat pulang dari Mexico karena terlalu merindukan anak istrinya yang sudah ditinggal hampir dua minggu. Perjalanan selanjutnya bakal diiiyakan ajakannya, karena ada juga tugas yang harus dikerjakan di Belanda. Maka keseluruhan suami saya akan melakukan lima kali perjalanan dengan lebih dari 26 jam minus transit (satu kali perjalanannya) dalam setahun ini.

Waktu saya menikah dulu, boro-boro mikirin mau rumah dimana, mempelai laki-lakinya saja baru pulang dari sekolahnya di Aussie H-3 minggu. Hehhe.. Satu minggu kecapean. Satu minggu memperkenalkan diri dengan keluarga – berhubung baru lewat foto saja sebelumnya--. Satu minggu menjamu keluarga besar yang datang ke Bogor. Jangankan ngomongin rumah, ngomongin tetek bengek nikah aja banyak yang dilewat hehehe... Lalu, kami tinggal seminggu di rumah orangtua. Setelahnya ngekost satu kamar di Setiabudi. Iya, satu kamar di belakang kantor saya. Hanya ada tempat tidur dan lemari – yang itu pun perabot dari kost-annya--. Kamar mandi di dalam kamar, yang seingat saya jika kamar mandi dibuka, yang tidur di tempat tidur bisa merasakan percik-percik air basahannya deh. Hhaha...
Sebulan setelahnya baru ngontrak di Pramuka. Tapi sekarang saya sedang mensyukuri tiap bata yang menyusun rumah kami. Dulu kalau hitungan logis, tak terpikir akan membangun rumah sendiri dalam usia pernikahan sesingkat ini. Saya dan suami bukan keluarga orang kaya. Penghasilan kami pun ala kadarnya. Tapi memang hanya Allah-lah pemilik skenario terbaik.

Terakhir, tulisan ini tidak bermaksud lain kecuali ditulis dengan penuh doa bagi orang-orang yang berlapang hati untuk menyempurnakan agamanya. Karena menikah adalah ibadah. Dan semoga selalu ikhlas. Sehingga bisa melihat keindahan dalam setiap kepingannya.

Ps: Barokallah untuk Ai&Adi dan Didith&Dika

Tuesday, May 06, 2008

Please enjoy reading my old file

18 April 2008. Setelah mengajar di lab akun. Menunggu suami tersayang. Dengan backsound lagu Rayuan Pulau Kelapa (halahh J) dari komputer lab. Ditingkahi suara indah percik hujan diluar sana. Hanya ingin berbagi. Please enjoy reading, file lama saya, tahun 2005, sepulang kantor.

Bismillah…..

Kereta api pakuan, selepas stasiun depok lama.…

Jam pulang kerja sore, kereta memang selalu padat. Puncaknya kereta pakuan jam setengah enam sore. Jangan terlalu banyak berharap bisa duduk di kursi jika datang ke stasiun lewat dari jam lima seperempat. Atau berharap bisa memeras sedikit letih dengan duduk beralas koran pun baru bisa setelah hampir separuh penumpangnya turun di stasiun depok lama. Karena alasan itulah, biasanya jika hari-hari normal workload, saya berusaha keras untuk naik kereta jam lima. Aturannya bebas tempat duduk, sedikit berebut tapi biasanya semua orang dapat kursi, hanya satu dua yang berdiri.

Seperti hari ini. Saya duduk dengan nyamannya. Bicara dengan bapak-bapak yang sudah sepuh disebelah saya. Tersenyum lebar sembari mengangguk dan sesekali mengomentari. Dan pikiran saya melayang, jika saya seusianya, saya pikir yang saya inginkan pun hanya didengarkan, mengenang dan berbicara. Tadinya saya pikir bapak ini terkena post syndrom mungkin ya. Dengan usia yang membuat hampir seluruh rambut di kepalanya memutih, usia yang sudah lepas dari usia pensiun, beliau masih giat bekerja. Anggota kehormatan di jajaran auditor sebuah perusahaan karena jenjang karir gemilangnya yang lama di dunia tersebut. Tapi ternyata bukan itu, bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya pun bekerja, ceritanya. Sedang mereka tidak dikaruniai putra. Jadi, lebih bermakna jika waktu yang tersisa dikontribusikan untuk yang lain, ceritanya singkat. Senyum bapak ini luruh. Masih tersisa gurat-gura pilu disana. Tapi senyumnya menulari saya. Saya tersenyum. Luruh. Dengan doa yang tumpah seketika untuk kebahagiaannya. Apapun itu, toh Allah pembuat skenario yang terindah.

Lepas stasiun depok lama, kereta mulai hening. Dan dinginnya AC – yang katanya cuma punya dua tombol, hidup atau mati tanpa ada setting dingin, lebih dingin, atau sangat dingin – mulai menusuk. Semua orang mulai merapatkan jaketnya. Sedang diluar hujan mulai berisik. Bapak tadi sudah turun dengan meninggalkan bekas di hati saya. Saya tidak tahu namanya, bayangkan. Tapi kami berbagi sesuatu. Allah Maha Mengetahui kapasitas kita masing-masing, yakinlah, ujar saya berulang-ulang. Biar menghujam jauh hingga lubuk hati.

Saya menarik perlahan jaket saya. Menghisap hangatnya. Mendengar sayup-sayup dan akhirnya melihat mereka. Saya – entah mengapa – jadi terbiasa mengingatnya, menghapal tiap personilnya, jenis-jenis lagu yang biasa mereka dendangkan hingga gaya pembuka dan penutupnya. Yup, mereka adalah pengamen. Sekelompok laki-laki usia pertengahan yang berdandan seadanya tapi nyatanya cukup berhasil menghibur. Mmh.. mungkin karena alasan terakhir inilah saya jadi mengingatnya.

Mereka mulai berdendang di gerbong yang saya tumpangi. Sedikit beradu mungkin jika jendela terbuka dengan deburan hujan di luar sana. Beberapa orang yang tertidur mulai menggeliat. Merasa terusik. Tapi saya tidak. Saya senang. Pertama kali saya melihatnya saat di kereta ekonomi larut malam saat saya pulang kantor. Kebetulan kereta kami mogok di tengah sawah dengan hujan yang semakin deras. Sedang kereta saat itu padat sekali. Mungkin karena kereta sebelumnya dibatalkan karena ada pohon tumbang yang akhirnya membuat kereta berjalan satu jalur. Hal luar biasa kah ? nope, kasus biasa jika hujan, dan orang-orang ini – termasuk saya mungkin --- sudah sangat pasrah hingga mendekati apatis. Dan mereka bernyanyi hampir sepuluh lagu saya hitung. Lebih karena mereka menikmati menghibur dan mengisi waktu hingga kereta berjalan lagi sedang mereka tidak bisa berpindah gerbong saking padatnya penumpang, bukan karena ingin upah yang lebih banyak dari para penumpang. Subhanallah kan..

Saat ini pun sepertinya saya dejavu, kereta pakuan kami pun mogok, menunggu sinyal dari stasiun depan atau semacamnya, itupun hanya menebak-nebak. Karena penumpang dibiarkan menunggu tanpa alasan apalagi kepastian. Tapi yah, sudah biasa sekali dan tingkatannya kini sudah sampai menikmati tidak lagi mengeluh. Dan saya menutup buku yang sedang saya baca dan menikmati mereka bernyanyi. Kalau di atas kertas, mungkin suara mereka sangat sumbang sekali. Tapi bernyanyi saya pikir bukan hanya soal suara dan pendengaran, tapi juga tentang suasana hati yang tercipta, tentang perasaan yang dibagi, tentang batas-batas yang ingin dilewati, tentang kemelut yang ingin ditaklukan.. Lho, kok bisa ?? Lucu memang, tapi sejujurnya itu yang saya rasakan. Dan kini mereka pun melakukan hal yang sama. Mereka tidak pelit menyanyi satu dua. Mereka menyanyi banyak sekali. Mungkin karena gerbong yang saya tempati gerbong paling ujung dan mereka sudah melewati bernyanyi di gerbong-gerbong sebelumnya. Mungkin mereka juga ingin membunuh rasa bosan menunggu kereta yang tidak juga bergerak. Apapun alasan pastinya, akhirnya penumpang gerbong ini mulai cerah karena alunan lagu mereka. Subhanallah ya pekerjaan sesederhana seperti mengamen itu. Jika mampu menghibur orang lain dan efeknya balik ke diri kita sendiri, membahagiakan hati karena membahagiakan orang lain. Bukankah itu indah ?

Akhirnya kereta kami mulai bergerak, perlahan. Saya melirik jam tangan saya, sudah hampir satu jam. Duh Gusti, limpahkan kesabaran sebanyak Engkau melimpahkan titik-titik air di balik jendela ini, harap saya. Mereka istirahat bernyanyi, dan mulai mengobrol. Saya mendengarnya. Lelucon-lelucon hangat episode persahabatan
.