Sunday, January 30, 2005

Doesn't Have An Ending

(mengenang aksi mahasiswa sejak dulu hingga sekarang dan yang akan datang)
“True love doesn’t have a happy ending, because true love doesn’t have an ending.”

Entah apa ya namanya, jika seseorang melihat keletihan sebagai sesuatu keindahan. Jika memandang kepenatan sebagai sebuah kelegaan. Atau sekedar menganggap paksaan pada setiap derap langkah yang tercipta itu sebagai sebuah hal indah yang mengabaikan makna kepedihan.

Saya tidak sedang membicarakan mengenai utopisme, atau perbenturan idealisme vs realitas dan sangat jelas tidak sedang menggambarkan angin sepoi yang menerbangkan dedaunan dengan sekali sapuan.

Saya hanya mencoba menggambarkan berpuluh-puluh sosok yang berbalut jaket almamater di siang itu. Gedung wakil rakyat, katanya. Sangat terik dipeluk sapuan mentari. Tidak sebanding jumlahnya. Itu jelas. Sedang, sosok-sosok lainnya yang gagah nan perkasa dengan pahatan logam-logam berapi berjejer beratus-ratus.

Hhh…tapi ternyata yang terpintas dibenak saya adalah jumlah puluhan tadi menggelombang mencapai ribuan bahkan jutaan dan menjadi tak terhingga. Memerangkap jumlah ribuan sosok yang tiba-tiba menyusut seketika. Mengecil dan melemah. Dan yang tersisa hanya warna jaket almamater saja yang kian memudar dihelaan bening di mata saya.

Satu hal yang tak mungkin diabaikan adalah kobaran semangat mereka. Menukik tinggi dan menghentak. Sehingga yang kini tergambar hanya indah dan indah saja. Keindahan idealisme. Keindahan jiwa pengorbanan. Keindahan mentalitas baja yang tak pernah surut. Keindahan seseorang yang dipunggungnya terbeban sebuah keyakinan akan keharusan dunia yang lebih baik lagi. Hanya itu. Tidak yang lain.

Meski pahatan logam-logam tadi memburu dan memicu, atau teriakan sosok-sosok perkasa yang siap menerkam, seakan tiada berarti, tidak sedemikian besar berarti dibandingkan keyakinan yang membuncah dan akan pecah setiap saat dalam dada mereka. Mahasiswa. Idealisme kampus. Kebenaran nurani.

Pernah, dalam suatu diskusi saya ditanya tentang pergerakan mahasiswa. Mengapa sedemikian mengganggu tapi tak menelurkan apapun selain keributan ? Mengapa sedemikian lambat geraknya ? Mengapa tak menghantam tepat ke sasaran dan sudah musnahlah kezholiman ?

Retoris, saya pikir. Masih perlu jawaban ? Lebih mungkin direnungkan. Tapi yah memang demikianlah pergerakan menuju kemenangan. Putarannya seperti gelinding salju. Perlahan namun pasti dan akhirnya membesar dan membukit, setelah itu barulah menerjang. Karena mahasiswa bukan pejabat, dayanya terbatas. Hanya saja upayanya tak terbatas. Mungkin mahasiswa hanya memiliki panah-panah kecil yang sama sekali tak berbisa, hanya mampu mencederai dan bukan menikam. Tapi saya yakin panah-panah tadi akan dapat dilemparkan ke segala sisi, ke semua sudut dan berakumulasi hingga pada akhirnya menikam juga.

Bukan, ini bukan omong kosong atau impian yang terlalu mustahil menjadi nyata. Ini kenyataan. Dan sudah terbukti. Reformasi 1998 lalu telah berbicara lantang. Mahasiswa.

Dan akan selalu seperti itu, saya pikir. Bergejolak terus. Meski lelah sudah kehilangan maknanya. Yang muncul adalah suatu harapan akan sesuatu yang lebih baik lagi. Karena jiwa mahasiswa tak mungkin terbendung. Apalagi mati dan membusuk. Akan senantiasa hidup dan bergolak.

Sedang mimpi-mimpi yang terlanjur terukir, Insyaallah akan segera terpatri nyata. Karena saya yakin dan saya juga yakin mahasiswa meyakini hal ini bahwa jika Allah memberi kemampuan pada kita untuk bermimpi, Ia juga pasti menganugerahi kita kemampuan untuk mewujudkannya. Hidup mahasiswa !!!
* * *