Friday, March 11, 2005

Adalah Membangun Peradaban...

“When you put faith, hope and love together, you can raise positive kids in a negative world.” (Zig Ziglar)

Saat beranjak menuju pernikahan, saya teringat pesan seorang teman, cukup singkat, tapi sarat makna. Menikah adalah membangun peradaban. Saya sempat terpaku beberapa saat. Hanya empat kata, tak lebih, tapi mengapa serasa pundak saya dilimpahi beban dua buah gunung sekaligus. Betapa beratnya…

Cukup lama waktu yang saya arungi untuk menyelami maknanya. Saya yakin, pada dasarnya, jauh di kedalaman benak saya, saya paham konsep tersebut. Tapi, entah mengapa, rasanya pernikahan terlampau indah jika dikaitkan dengan sesuatu yang membuat payah tulang-tulang sendi kita.

Peradaban adalah bentukan dari sebuah proses panjang yang melelahkan. Kata tersebut diidentikkan dengan sebuah perubahan yang diawali oleh perguliran masa, pkiran, tindakan, dan kebiasan yang hanya mengarah kepada sesuatu yang lebih baik lagi. Mendekati kebenaran. Menuju kesempurnaan. Serumit itu ? Ya, bahkan proses membangun peradaban lebih pelik lagi.

Namun, perlahan saya mampu menangkap inti konsep tersebut, setelah ---kembali--- seorang teman bertanya “Sudah siap menjadi ibu?”
“Terlampau jauh ah”, saya menepisnya., “harusnya pertanyaannya diubah menjadi ‘sudah siap menjadi istri?’, lha menikah saja belum kok”
“Bukankah menjadi seorang ibu adalah konsekuensi logis dari sebuah pernikahan ? Harusnya pertanyaan mengenai kesiapan menjadi seorang ibu ditanyakan pertama kali, karena hal itu bukan sesuatu yang ringan, mendidik generasi, membangun peradaban.”

Meski seketika dada saya sesak dipenuhi sebuah pemahaman baru, pundak saya terasa berat dan payah karena konsekuensi dibalik konsep ini. Bahwa pernikahan tidak hanya bunga-bunga yang mewangi dan bertebaran dimana-mana atau kapal-kapal pesiar dengan cahayanya yang gemintang, tapi juga ada tugas mulia yang baru untuk mendidik generasi yang jelas membutuhkan kesiapan mental yang kuat serta kelapangan hati yang ikhlas serta pengetahuan yang memadai. Meletakkan bata-bata kecil untuk proses pembangunan peradaban.

Dan mungkin inilah yang tidak disadari, atau disadari tetapi tidak diamalkan oleh sebagian besar pasangan yang hendak menikah. Hingga sedemikian seringnya kita mendengar dan melihat hal-hal yang seharusnya tidak terjadi, seperti kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual dan lain-lainnya yang tercela yang merupakan pemangkasan dari hak-hak anak.

Terlihat segala sesuatunya kini terasa berat, ya memang inilah yang harus dihadapi. Bahwa semuanya ini tidak mudah, meski jauh dari kategori sulit. Tapi, sungguh, jangan buat jadi terlalu berat. Itu adalah pilihan, membuatnya menjadi berat atau menjalaninya apa adanya.

Bukankah meski burung tercipta dengan kemampuan terbang tapi justru ia mesti tertatih-tatih untuk mengepakan sayapnya ? Karena Allah mengiringinya dengan terpaan angin yang kuat. Tetapi itu tidak membuat burung itu enggan terbang, dan berakhir kematian. Sebaliknya, justru membuatnya lebih kuat dan lebih bahagia mengelilingi cakrawala.

Dan, angin adalah bentuk cinta Allah, begitupun halnya dengan sayap…

Tidakkah manusia sama dengan burung. Ia ditakdirkan menanggung beban yang ditolak gunung. Beban yang berat, tentu. Tapi ia pun diberi akal, fisik yang kuat, dan jangan lupa iman dan islam. Lantas, apakah semuanya bergulir mudah ? Sebandingkah ? Atau manusia mengeluh, merasa enggan bergerak, berhenti, membusuk dan lalu mati ?

Disinilah letak pilihan kita. Pilihan yang harus ditentukan diawal, diluruskan di pertengahan dan disempurnakan di akhir. Dan Allah Maha Kuasa dengan melimpahkan kebebasan penuh pada kita untuk memilih, mengambil keputusan. Sedang akal dan islam adalah cinta Khalik pada makhlukNya, demikian pula beban yang ditanggung.

Baiklah, saya rasa kita semua sudah harus menetapkan pilihan, hilangkan segala kecemasan dan ketakutan diawal. Bahkan enyahkan perasaan terkungkung dengan beban berat yang membelenggu. Coba lihat sisi lain, tidakkah betapa beruntungnya kita, dianugerahi tugas mulia ini, ikut menentukan kemana arah generasi berpacu dan bentukan peradaban di masa membentang jauh setelah kita. Terbayang ? Berarti kita bisa melangkah pada pembahasan berikutnya.

Bahwa menikah, berkeluarga dan memiliki anak telah terpatri dalam benak kita dan sudah terinternalisasi dalam diri-diri kita adalah bekalan awal kita untuk mencoba mewujudkan sebuah peradaban yang tidak hanya sekedar guratan tindakan pada waktu, tapi juga cukup berharga untuk dikenang bagi pondasi awal perbaikan di masa yang mengikutinya. Selanjutnya adalah memahami bagaimana membahasakannya melalui tindakan terhadap anak-anak kita.

Seperti yang saya kutip dari Zig Ziglar. Ada tiga hak asasi dari seorang anak yang tidak boleh kita abaikan begitu saja. Mesti terpenuhi secara utuh. Ketimpangan sedikit saja memiliki effect multiflier yang mengerikan.

Pertama, faith. Iman. Saya sering memasangkannya dengan cinta, karena keduanya tidak terpisahkan. Iman, kata Anis Matta, adalah lautnya, sedangkan cinta adalah ombaknya. Iman yang memperhalus budi pekerti. Membuatnya kukuh saat sekeliling sedemikian goyah. Membuatnya tegar saat setiap benda tumbang. Dan membuatnya sanggup bertahan ketika setiap hal rapuh dan rentan.

Kedua, hope. Harapan. Harapan adalah lilin terakhir yang berhasil bertahan menerangi kepekatan kondisi yang melilit kita disaat lilin-lilin lainnya telah padam tersapu angin. Dan kemampuan memiliki harapan harus diajarkan pada anak-anak kita. Karena sebenarnya anak-anak itu sendiri adalah perwujudan dari sebuah harapan. Seperti semburat cahaya mentari yang tersembunyi dibalik dahan-dahan pohon di pagi hari. Seindah itu.

Ketiga, adalah love. Cinta. Tidak perlu berkisah banyak tentang ini. Cinta adalah seluruh makna tanpa perlu dideskripsikan.

Dan, jika tiga hak ini dipenuhi utuh, sesuram apapun kondisi disekitarnya, ia akan sanggup tumbuh dengan baik dan bersinar. Betapa memprihatinkannya mengetahui banyak keluarga yang retak karena tiga hal tadi tidak terpenuhi, atau terpenuhi namun tidak dengan porsi yang seimbang. Bukan proporsi faith:hope:love sama dengan 100% dibagi tiga. Tapi faith itu 100%. Hope pun 100%. Dan love pun penuh 100%.

Saya terbiasa menggunakan kereta ekonomi jabotabek setiap hari untuk pergi ke kampus. Sungguh mencubit-cubit hati jika melihat begitu banyaknya ibu-ibu yang menggendong anaknya lalu berjalan tertatih-tatih untuk mengemis. Atau anak-anak dibawah umur yang bekerja menggotong dagangan menjual minuman ringan di sepanjang kereta. Salah siapa ? Kedua orang tuanya ? Yang bahkan mempertahankan hak-hak dirinya pun sulit. Disinilah letak berbagi. Idealnya, janda-janda dan anak-anak terlantar adalah kewajiban negara. Pemerintahlah yang seharusnya memenuhi hak-hak mereka. Namun jika pemerintah sendiri tidak sanggup, karena memang pincang oleh keboborokan para politisinya, disinilah letak berbagi.

Hak-hak asasi anak-anak yang telah saya jelaskan sebelumnya bukan hanya harus dipenuhi oleh orang tuanya, tapi juga pemerintah dan terutama peran kita sebagai sesama manusia. Karena itulah cinta. Semuanya cinta.. Agar manusia menjadi kuat, berharga, bahagia dan mulia…di hadapan-Nya tentu….tidakkah demikian ?

* * *

Maret, 2004

Selepas Milad...

Selepas milad…

Apakah idealisme hanya milik kampus saja?
Lalu setelah hengkang dari kampus, idealisme hanya sebatas kata yang memudar...
Apakah hujaman kebenaran dan celupan Allah hanya tumbuh dan berkembang di kampus saja ?
Lalu setelah lepas label mahasiswa begitu juga tercabut hujaman yang dulu terpatri ?
Begitukah ?

Apakah seruan lantang dan bait tekad mendekat pada Allah hanya milik mahasiswa ?
Apakah kerja-kerja berwarna ikhlas hanya dilakukan pemuda pewaris generasi ?
Sungguhkah ?

Lalu jika tidak, jika bukan, mengapa duka yang timbul saat mengetahui bahwa perubahan ternyata justru menyakitkan...justru melelahkan...

Sekejam itukah dunia diluar sana ?
Dunia yang dihitung dengan uang dan semua berasas ekonomi ?
Demi kerja dan hidup yang terus melaju...
Begitu yah..

Lalu, hujaman yang tegak akan mudah retak dan patah terlumat suasana dan waktu ?
Oh, jika demikian, alangkah kecilnya duka yang sedang merekah dihati ini..
Mungkin akan terus menganga dan melebar...

Duh, Robb, saya hanya butuh dikuatkan...dikuatkan...dikuatkan...
Bahwa sesulit apapun hidup, securam apapun belokannya, bukankah Engkau tak lepas memantaunya ?
Bahwa sepatah apapun sebuah hati menghadapi realita, bukankah hanya cinta-Mu yang dituju ?
Bahwa apapun yang terjadi, ajaranMu abadi sepanjang waktu....

Duh Robb, pemilik segala hati,
Betapa letihnya jiwa ini...
Betapa sesosok hati yang bersandar ini butuh untuk disirami
Dicelupi,
Dengan cahaya Mu,
Bahwa hanya pada Mu lah tempat persandaran sejati.............


yang sangat butuh dikuatkan....
desi novita sari
Desember 2003
15.06 lab jurak
selepas milad FSI ke-12

True love doesn't have a happy ending, because true love doesn't have an ending

“True love doesn’t have a happy ending, because true love doesn’t have an ending.”

Entah apa ya namanya, jika seseorang melihat keletihan sebagai sesuatu keindahan. Jika memandang kepenatan sebagai sebuah kelegaan. Atau sekedar menganggap paksaan pada setiap derap langkah yang tercipta itu sebagai sebuah hal indah yang mengabaikan makna kepedihan.

Wah, saya tidak sedang membicarakan ‘pink’ lagi, tapi mungkin erat kaitannya dengan bilik-bilik hati kita yang mulai terisi dengan sebuah cinta yang lain. Yang seharusnya lebih mulia. Pasti.

Saya seperti nenek-nenek nih yang selalu memulai hal dengan bercerita, tapi yah, terkadang setiap patah kehidupan entah berepisode suram ataupun cerah memiliki makna yang nilainya lebih dari ‘nilai’ itu sendiri. Jika kita mampu mengevaluasi seseorang yang terpuruk karena sebuah kesulitan yang menghadang, dengan memahami mengapa sulit itu menerjang dan merenungkan pisau untuk memangkas ‘sulit’ itu, bukankah lebih merentangkan waktu berharga yang kita miliki, daripada hanya tenggelam dalam sebuah emosi, entah itu tawa atau derita ?

Seorang teman—lagi :)-- pernah berurai gelisah ketika ia merasa lelah tak berjera saat mengikuti sebuah kepanitiaan. Mmmh…bukan kepanitiaan lingkup dakwah fakultas seperti FSI. Melainkan kepanitian lingkup lain yang lebih umum. Acaranya terbilang sukses, bahkan surplus puluhan juta. Tapi justru hal itulah yang membuatnya bingung, mengapa dengan sebuah akhir yang gemilang namun justru kondisi hatinya terpuruk ? sepertinya ada sesuatu yang tercabut di jiwanya, hanya menyisakan kering tak berkesudahan dan kepiluan yang bertambah mengiringi ketidaktahuannya akan pemicunya.

Saat itu sore dan hebatnya air mancur di taman FEUI sedang indah-indahnya. Sedang langit ceria dengan pelanginya. Kisahnya berlanjut, hari-hari kerjanya diisi dengan beraneka target dan dead line, berbagai tekanan dan tuntutan. Melelahkan jelas, tapi karena ia seorang koordinator tak pantas rasanya menyebut ‘lelah’ bahkan sekali pun. Khawatirnya, rasa lelah itu menyebar ke staf-staf dibawahnya dan menghambat langkah kegiatan yang tersendat.

Sedang Sang PO cukup bersemangat untuk mengobarkan kata ‘motivasi’ , dalam setiap celah kegiatan atau rapat-rapat, bapak PO tidak lupa mengingatkan bahwa kerja ini menyusung nama UI, kinerja yang buruk akan selalu dikaitkan ke nama besar UI dan itu memalukan hasilnya berlipat-lipat ganda. Itu yang didengung-dengungkan selalu. Nama besar UI tidak berhak tercoreng hanya karena kinerja sebagian mahasiswanya separuh dari maksimal. Tidak Berhak , tandasnya jelas !!

Pada awalnya, hal tersebut cukup efektif, tapi tidak untuk jangka waktu yang menyentuh belasan bulan. Baterai energi ‘hanya untuk menyenangkan UI’, ‘hanya menjaga kebesaran nama UI’, ‘hanya untuk menunjukkan bahwa UI masih berjaya dalam segala bidang’, hanya itu semua ternyata tidak cukup untuk menjaga keberlangsungan energi kerja. Terlalu kecil kapasitas hal itu sedang supply energi yang dibutuhkan terlalu besar dan menuntut kontinuitas.

Buktinya, banyak yang berjatuhan, tidak sedikit yang berguguran, dan sungguh tidak jarang yang menghilang saat tuntutan dan roda kerja semakin meninggi.

Akhwat –teman saya tadi lho—pun menghela napas panjang dan dalam rasanya. Mungkin untuk mengisahkan sesuatu yang menghujam rasa seperti ini harus membuka isi lemari jiwa di kalbunya, yang mungkin sebenarnya enggan ia buka. Terlalu menyakitkan sepertinya…

Ia pun menyuplai energinya dengan ungkapan sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai koordinator, that’s it and that’s all… Tidak untuk hal lain, tidak untuk sebuah visi yang terpatri dalam benaknya dan tercermin dalam tekadnya untuk mewujudkannya nyata…Tidak untuk hal-hal seperti itu….Hhhh…

Poor you, honey…itu hal pertama yang terpintas di benak saya….

Jika, hidup hanya berujung pada satu bundaran titik,
Jika, hidup hanya berputar pada selapis garis tipis,
Jika, waktu demi waktu yang terseret berpendar pada pijar cahaya yang melemah,
terus memudar,
meski letih,
terus berpendar,
walau galau,
pada lingkup yang sedemikian rentan,
masih sanggupkah kata ‘hidup’ dieja ?

Sungguh, tidak bermaksud puitis dan menyulitkan,
Tapi…yeah.. terkadang hidup memang tampak menyedihkan jika tonggak acuan kita hanya sesosok ‘makhluk’…..

Satu sosok yang memiliki ragam rupa,
Satu sosok yang berbaju macam rasa,
Satu sosok yang tidak menyodorkan kita apapun, selain tanda tanya besar yang kian mengawang, dan bergumpal-gumpal kelam yang timbunannya melambung….

Duh, afwan yah, jika tiap deret disini sulit dicerna, tapi bukankah sastra itu memperhalus budi pekerti ? :) ----big smile---

Saya hanya berpikir, tidakkah terlalu melelahkan jika terlalu bergantung pada ‘sekedar’ pendapat orang lain ?
Tidakkah terlalu memperberat beban di pundak jika pusat seluruh gerak dan rasa berlabel ‘asal orang lain senang’ ?
Dan saya pikir itu menyedihkan…

Terlebih jika alur lajunya sebuah tindakan tetap kita hidupkan dengan bertolak dari pikiran pendek yang sempit dan mungkin ---afwan--- picik…
Seakan seseorang hidup dalam garis tipis sesaat, terlalu micro bukan ?
Seakan ia tidak pernah menjulangkan raganya untuk sekedar melihat dimanakah posisinya dalam bagian yang global !

Hhhh…

Seperti halnya setiap jejak yang coba kita tancapkan,
bukankah terasa lebih indah jika larasnya disejajarkan dengan sebentuk arti kehadiran kita kala menghirup segarnya kehidupan ?

Jika, makna sebuah kehadiran berarti menggapai cinta Allah,
Jika, tiap tarikan napas mencoba mengais cinta Allah,
Jika, segarnya udara yang mengarungi rongga di jiwa berhawa cinta Allah,
Maka,

Lelah kita pun karena Allah,
Pedih kita pun sebab Allah,

Marah kita pun,
Sakit kita pun,
Haru kita pun,
Gumpalan biru jiwa kita pun,

Mesti bermula karena Allah…

Dan, bukankah tebaran cinta Allah jauh tak berbatas ?

Jadi, entah senggang, entah sibuk, sungguh damainya dapat merenungi tiap hal yang membuat kita haru, letih, pedih, bahkan gundah…
dan melantunkan nadanya hanya untuk memastikan apakah larasnya berpadu utuh dengan cinta Allah…

Mungkin, ukh, kala terluka, dan meredam duka saat direndahkan,
atau, akh, saat gentar atau amarah yang memuncak bila dihujat,
seluruhnya mesti berlapis keikhlasan dan kerelaan pada Allah jua….
dan berakhir pada peniadaan gumpalan demi gumpalan yasng menyumbat…

Tapi, akh, jika yang direndahkan adalah islam,
dan ukh, jika yang dihujat adalah muslim,
itulah saat rasa harus nyata terwujud…
entah apa pun itu…


Karena, cinta Allah cinta sejati, belum tentu berakhir bahagia, karena cinta pada-Nya tak memiliki akhir…

Untuk semua FSI-ers....
Jika diawal telah sedemikian berat, sangat bahkan, mungkin kita harus memacu semangat dan amal lebih lagi sepanjang tarikan napas, karena cinta Allah yang kita tuju, tidak yang lain…

Dedicated to my beloved team, muxon, iffan & muti :
sulit, karena kita tidak serupa
beda tindak, beda rasa
tapi mudah, karena kita satu iman
satu Allah, satu cinta
tidakkah itu cukup ?

Taken from my my mail to FSI milist
June 2004

Perbesar Porsi Itu

Bismillahirahmaanirrahim….

Sungguh, betapa setiap hembusan udara yang kita hirup…betapa setiap tarikan napas yang berpacu…betapa setiap detak nadi yang berdentang…hanyalah atas kehendak-Nya semata…

Teman-teman yang disayangi Allah selalu…

Belakangan ini..ah,entahlah, sepertinya saya merasa hidup di dunia yang berwarna pink....mmmh..mungkin karena segala sesuatu yang saya temui akhir-akhir ini serba pink, mulai dari teman sebelah saya di rental komputer yang sedang mengetik hurup pink besar-besar bertuliskan Happy Valentine, atau sepasang ‘kekasih’ yang ber’senda gurau’ di Kafe sambil menikmati makanan dan Duh Robbii, kebetulan kali yah perempuannya memakai jilbab pink :( ..mungkin juga karena tontonan di tv gak jauh-jauh dari tema pinky, bahkan ada salah satu stasiun tv yang menayangkan film berbaju romantis seminggu penuh…Duh Gusti…

Sedang, idul adha hanya disinggung sekali dalam berita dan penuh harinya diisi dengan film india…jadi pengen nangis.. :( ..

Tapi yah, itulah realita..sulit jika berkomentar tentang cinta, jika saya boleh menyebutnya demikian,..dengan hubungan rasa yang dengannya orang bisa menebar tangis dengan teramat mudahnya..bisa marah dan berselisih dengan amat cepatnya…...rela menyita segala waktu yang utamanya diberikan pada yang berhak, orang tua misalnya…..rela juga membuang pulsa telepon ke tempat sampah dengan sekali lemparan…..entahlah, suatu rasa yang unik…yang menakjubkan bahkan..jika nanti saya jadi akuntan (doakan saja :) ) saya mungkin akan mengklasifikasikan cinta dalam unspecified account…...yah, karena efeknya berbeda pada setiap orang….dan jelas bukan dalam grupnya other account, karena hal itu tidak bisa disebut lain-lain, tidak bisa disepelekan apalagi diabaikan, bahkan justru ialah yang mampu menentukan mana hal yang lain-lain itu…

Hhh…sepertinya dalam benak saya kembali terputar peristiwa dulu, suatu pagi saat mentari mulai memerah di ujung langit UI…seorang akhwat menangis tersedu-sedu di pangkuan saya..’Ya Allah Des’….ujarnya perlahan, terpotong tangisan panjang yang meluluhkan hati…’kok rasanya berat yah..’ lanjutnya, bergulir dengan nyeri yang menggelayuti batin saya mendengar isak tangisnya…’gue tahu ini gak boleh..tapi kok yah..’ dan….bergulirlah sudah cerita dari mulutnya…

Hampir berbilang tahun akhwat ini menjalin ‘hubungan’ dengan seorang ikhwan yang kebetulan kuliah nun jauh di sana..Indah, katanya....ikhwannya seorang yang baik dan cukup religius, ujarnya..saking baiknya, ikhwan tadi rela menelepon dalam kurun waktu tertentu hanya untuk sekedar menanyakan sudah makan belum, gimana kuliahnya dan hal lainnya..gak berbilang jam-an sih, tapi cost-nya bisa beratus ribu bahkan…

Lalu selang waktu berlalu, dan akhwat tadi mulai bersentuhan dengan islam hingga akhimya menyadari hal tadi tidak dicintai Allah, ia mulai merenggangkan hubungan, perlahan tapi jelas arahnya,putus gitu lho…Tapi, ternyata ikhwannya tidak terima....dan akhwatnya sedih bukan main karena merasa telah melukai hati seorang ikhwan yang sangat halus perasaannya dan baik hati pula…maka, pecahlah gelembung rasa itu dan hanya menyisakan kilatan tajam di ujungnya…

Hhh..saat itu saya hanya bisa mengedarkan pandangan pada beberapa ikhwan yang sibuk menggulung spanduk di beranda Mesjid UI…dan beberapa akhwat yang tengah packing setelah mabit semalaman..atau gelayut putih berselendang biru di langit… atau melirik satu persatu mahasiswa yang mulai meninggalkan MUI setelah malam renungannya MACRO…

You know what guys, sepertinya ada sehelai daun yang melayang dalam kedalaman jiwa saya..perlahan namun pasti jatuhnya…

Jalan ini teman, tak pernah mudah, bahkan seringkali sulit, entah itu batu yang menggelincir dari puncak lalu melibas kita dengan meninggalkan memar di jiwa..atau mungkin sayatan perih, jika perih punya bentuk, menusuk jauh ke perbatasan rasa…Apapun wujudnya, tetap saja luka, dan itu sakit…

Tapi, sungguh, karena ini hanya sebuah jalan dan alur desahan keberadaan kita adalah sebuah perjalanan, maka segalanya pun berbungkus perbekalan…untuk nanti, saat tiba segenap raga bertumpu pada segumpal jiwa, yang berdiri sendiri, yang bertanggung jawab atas asa yang dipegangnya saat hayat tersisa…hanya sendiri, seorang diri….

Ahh, ukhti wa akhi bukankah poros hidup kita hanya berputar tentang bagaimana memperbesar porsi cinta kita, pada Allah tentunya…

Segala hal yang sempat singgah,meski hanya sementara, baik dalam relung hati kita atau bahkan terpatri dalam cara berpikir dan terlebih tindakan kita—semuanya—mesti diselaraskan dengan satu pertanyaan besar, cintakah Allah jika saya melakukan ini ? Memilih yang satu dibanding yang lain ? Bertindak satu hal bukan yang lain ? Berpikir ke arah yang ujung tidak yang mula ? Masihkah Allah cinta ? Sungguh ? Masih ? Yakinkah ?

Dan sungguh, hidup hanya berkutat pada satu hal itu, memperbesar selalu porsi hati kita untuk belajar mencintai Allah sedemikian utuh dari tiap helaan rasa kita, tiap sapuan waktu pada hari…begitu selalu…belajar itu, hanya itu…

Belajar untuk selalu menjadi pribadi yang menyenangkan, karena Allah cinta itu..belajar untuk menjadi anak yang berbakti pada orang tua, karena Allah jelas mencintai anak yang saleh…Belajar untuk selalu ber IP 3 misalnya :) , karena Allah mencintai muslim yang berprestasi…Tidak pernah lelah kerja di FSI, karena Allah dengan lembutnya berfirman ‘sebelum segala sesuatu, kalian adalah da’i(penyeru)..penyeru agar setiap jiwa yang merasakan nafas islam senantiasa memperbesar porsi cintanya pada Allah semata..

Hingga nanti, suatu saat, entah itu esok tatkala mentari menyapa, atau bahkan sesaat jika mulai bergulat dengan kantuk, entah itu lambat atau seperti kilat cepatnya…
yaitu nanti Akh, sungguh nanti Ukh saat dimana lengan kita dijalin malaikat maut, dibawanya pergi tak kembali…..............porsi hati kita utuh, bulat dan penuh hanya untuk Allah saja..utuh dan seluruh..Semoga..


I dedicated this to :
-seseorang yang pernah menumpahkan pilunya : ‘Terkadang seseorang mesti dibenturkan dengan kepahitan terlebih dahulu, sebelum dapat menyelami arti sebuah kedewasaan…’
-my beloved sister, Mutia Febrina, Barakallahu Fii Umuurikum, Honey… --tepat hari ini kan?--…Semoga semakin tabah dan tegar, siapa bilang semuanya ini mudah ? :) But, u always know, that u can rely on Allah, right ?
-dan terakhir untuk seluruh ikhwan akhwat FSI yang hatinya sedang dan pernah disinggahi pink itu, tepis segera ya, jangan sampai melucuti porsi cinta kita pada-Nya..sungguh, jangan sampai ya….



16 Februari 2003 di kota hujan,
Desi Novita Sari

If You Dont Like Something

“If you don’t like something, change it;
If you can’t change it, change the way you think about it”

Akhir-akhir ini saya teringat kata-kata diatas. Entah percaya atau tidak, tapi jujur ya, saya tidak suka kalimat tersebut. Terutama pada bagian ‘if you can’t change it…’. Ha..ha..ha..jadi mengingatkan saya pada pesan seorang teman, kok jadi hyperlink gini, ‘you should seriously learn to differentiate between what you can change and what you cannot’.

Gak nyambung sih dengan apa yang sebenarnya ingin saya ungkapkan, setidaknya tidak secara eksplisit. Tapi jari-jari ini jadi gatal setelah membaca emailnya iffan dan arief (subhanallah rief, gimana euy kabarnya ? , jarang ketemu ya, udah lulus apa :) ). Jadi, mengalirlah apa yang saya tulis ini.

Flashback nih, agak lama, tahun 2000. Masih saat pemilu juga. Oh, ya, saya menulis ini terinspirasi setelah membaca bagian kongkow-kongkownya iffan di warung sebelah sambil berkampanye ria. Suatu hari ayah saya pernah telat pulang ke rumah sehabis salat isya di masjid. Saat ditanya, ayah cerita diajak diskusi sama mahasiswa soal pemilu. ‘Mahasiswa IPB, laki-laki, baik-baik yah, ngomongnya santun, wawasannya luas. Terus cerdas pisan, diajak ngomong ini..’ dan mengalirlah kekaguman ayah. Kebetulan daerah kami memang dekat dengan kost-kostan mahasiswa IPB, hampir sama dengan margonda dan UI.

Hari-hari berikutnya pun begitu, sampai saat kami menonton televisi…’wah, emang Pak Nurmahmudi mah …’ Lha, kapan ayah ganti partai, maklumlah ayah saya pegawai negeri dan pemilu 2000 adalah momen pertama saat pegawai negeri boleh beda warna. Ayah saya malah tersenyum, usut punya usut ternyata perubahan itu dampak dari diskusi dengan mahasiswa IPB tadi. Jauh setelahnya, saya baru ber ooh ria dan berujar ‘direct seling’. Hingga kini, ayah jadi simpatisan pasif partai tersebut.

Saya percaya, perubahan adalah suatu keniscayaan. Seiring dengan bertambahnya usia kita atau memudarnya kemudaan kita, setidaknya adalah sebuah perubahan. Atau bertambah matangnya kita menyikapi setiap persoalan dan menindaklanjutinya dengan bijak pun adalah sebuah perubahaan. Dan saya sangat menghargai setiap perubahan sekecil apapun asalkan arahnya positif. Memang, bukanlah suatu hal yang mudah. Siapa juga yang bilang gampang ? Iya gak ? Melepas sesuatu yang biasa kita hirup, atau bahkan bertahun-tahun kita hirup ? Duh, jadi teringat sesuatu lagi nih..

Sesuatu yang membuat saya terpaku hampir..mmh..lima belas menit lamanya setelah habis membacanya. Sebuah cerita. Saya membacanya di internat al-kautsar, sudah lama, pas pdai zamannya siapa ya, lupa J. Cerita itu mengisahkan tentang seseorang. Sesorang yang memiliki cita-cita besar. Ia kecewa dan tidak puas dengan dunia di sekitarnya, maka ia pun berikrar ingin mengubah dunia. Setelah agak lama, ternyata dunia pun tidak berubah, dan ia pun menyadarinya. Maka cita-citanya pun diubah, ia ingin mengubah negaranya saja. Waktu pun hilang, daun-daun berguguran, tapi tetap saja negaranya tidak berubah. Hingga di saat genting hidupnya, saat ajal menanti dengan tak sabar, ia pun menyadari kekeliruannya dan berujar ‘Seharusnya yang kuubah terlebih dahulu adalah diriku sendiri, baru keluarga, negeri dan dunia’ . Ya begitulah, ia meninggal dengan segumpal kekecewaan di hatinya.

Hhh, yang membuat saya terpaku adalah terkadang angan kita melayang terlalu tinggi dan cita kita melambung terlalu hebat, hingga badan kita keletihan. Kepayahan. Bahkan luar biasa letihnya hingga tidak mampu lagi untuk berpikir melakukannya dengan apa yang ada dalam genggaman, dengan apa yang dekat dan bisa kita lakukan.

Saya pun percaya, setiap orang bercita-cita untuk melakukan perubahan. Ya, setidaknya perubahan untuk dirinya sendiri. Jika tidak puas dengan kondisi yang terjadi, ya coba ubah. Jangan teriak-teriak gak jelas, berontak atau bahkan berbalik dari barisan, cari selamat sendiri. Betapa dangkalnya ! Seperti kejadian tadi pagi, sekelompok pemuda tidak teridentifikasi membakar bendera-bendera paratai-partai yang ikut kampanye di sekitar daerah rumah saya sambil teriak-teriak gak percaya dengan pemilu. Apa coba manfaatnya, paling hanya kekecewaan yang sangat sedikit tersalurkan, selebihnya salah sasaran. Ingat kan cerita saya soal Purie, yah, mirip-mirip dikit lah.

So, come on guys, be mature and have big heart ! Ayo, bergeraklah ! Masih ada waktu, meski tinggal hitungan detik, detik-detik yang kita tidak boleh kalah kata Tarbawi J. Mungkin amunisi kita tidak seideal yang kita harapkan, hanya bambu runcing dan batu. Tapi, bukankah dengan bambu runcing bangsa indonesia menuai kemerdekaan ? Dan saudara kita di bumi palestina masih terus berjuang dengan batu-batu ? Jadi, yo lakukan semampu kita, mulailah dengan hal-hal kecil, misalnya email pencerdasan politiknya arief atau kongkow-kongkownya iffan. Selamat bergerak :)

Taken from my mail in FSI SMFEUI Milist

June 10, 2004



Ulasan Novel Rahasia Dua Hati - Muthmainnah

Hhh...saya sudah selesai baca Rahasia dua hati-nya mbak imun (Muthmainnah nick name--red). tanggapannya ? ......kok jadi speechless gini yah ;)

Saya bacanya sudah lebih dari seminggu yang lalu, tapi sampai sekarang masih berdampak. Entah dikategorikan apa, tapi mungkin karena saya belum menikah. Jadi, untuk yang masih single hati-hati baca buku ini ;) ga nyambung yah ? tapi saya jadi melo gini nih. oke, mulai cerita yah...

Kebetulan sabtu seminggu yang lalu, saya keliling Bogor. Tumben banget, tapi maklum tinggal skripsi, jadi domainya kembali ke Bogor. Biasanya saya beli buku islam di bang sofyan mui, atau paling banter deket-deket ui seperti nurul fikri. Tapi ternyata saya beli novel RDH (Rahasia Dua Hati) di gramedia bogor. Ujung-ujungnya nyesel juga sih, berhubung harga novel ini terbilang mahal, hampir angka empat, tapi pas lihat-lihat novel kok ada nama “Mutmainnah-Pengarang buku-buku best seller” langsung deh saya beli. Habis saya pikir, kalau di al-amin bogor cukup lama sih up to date buku-buku barunya, jadi bisa bikin penasaran yang gak jelas kalau belum ada.

Saya beli ‘hanya’ karena lihat nama pengarangnya, “oh, mba imun, emang buat novel baru yah, kok saya ga tahu sih?” gitu deh pikir saya. Btw, saya memang admire her because of Pingkan. Tahu gak, saya beli Pingkan hampir sepuluh biji, dibaca sendiri ? yah enggak lah, saya bagi-bagiin buat yang lain. Habis, Pngkan itu bisa buat titik balik seseorang, biar lebih mengenal Robb-nya, terus...lha kok ngomongin Pingkan sih :(

Balik ke RDH, ringkasan novel disampul belakang bukunya menurut saya gak cukup menarik, setidaknya gak membuat orang tertarik untuk mengetahui isi novel lebih jauh. Novel ini kalau mengabaikan nama pengarang dan penerbitnya, pasti dikategorikan novel ‘cinta biasa’ seperti nora robert dan sebagainya. Sampul depannya pun gambar laki-laki bule dan seraut wajah perempuan dengan latar gedung-gedung luar negeri.,--yang setelahnya saya baru tahu ada settingya yang di Inggris--.
Oh, ya, saya hampir lupa, saya beli novel ini juga karena harganya, biasanya kan harga kepala empat itu kan kertasnya lux banget, kertas putih polos yang bagus itu lho, tapi lha ini harga mahal tapi kertas buram yang…seperti novel-novel terjemahan luar negeri co : John Grisham, Agatha Christie etc. Apalagi kan penerbitnya Asy-Syamil, penerbit islam, biasanya sih kalau penerbit islam itu kan, harga murah tapi fisik buku bagus. (gak percaya ? bandingin sendiri aja!). Jadi, saya pikir, harga segini mahal tapi fisiknya kucel gini, so, logikanya kan pasti isi buku ini dinilai lebih tinggi, mungkin gede ke goodwill-nya nama mbak imun. Tapi, masih soal fisik buku yah, saya agak miris, ada beberapa kertas yang saking tipisnya, cetakan kata-katanya bertumpuk dan butuh usaha ekstra kertas untuk membacanya. Waktu bacanya sih saya gak mikir ke sana, susah bacanya sih iya, tapi tetep go on, soalnya alurnya mulus banget sepeti jalan tol bogor jakata. Belakangan saya ngedumel, maklumlah, selama ini image saya asy-ayamil itu high quality lah, tapi ini, salah cetak aja kali yah…(ini namanya permisivisme :( )
Sekarang isinya yah, tapi gak berani komentar banyak nih, soalnya gak ahli sih. Tapi okelah, ini komentar orang awam, penikmat novel sejati. Kalau boleh dibilang novel ini isinya tentang…..looooveeee..meluluuuuu…yah, iyalah des, judulnya aja rahasia dua hati, yah, muternya ga jauh-jauh ke Tita dan Harry, tokoh utamanya. Terus di lembar pertamanya aja diperuntukkan untuk “Andri yang selalu mengiringi langkah”. Eh, andri itu suaminya mbak imun yah ? saya sih mikirnya gitu, jadi mungkin novel ini jadi kado istimewa untuk berdua. Sok tahu yah ? :)
Makanya saya bilang, hati-hati untuk yang single, karena kisah ini…mmm, susah nih nulisnya, oke, cerita tentang orang yang pacaran. Kesimpulan yang dangkal yah ? iya sih, tapi mungkin saya mikir gini karena proses ‘berubahnya’ tita menjadi muslimah baru seperempat isi buku terakhir. Jadi, ketika ada paragraf yang tita ‘begini ’ diwajarkan karena yah dia kan belum paham islam. Jadi, pas awal-awal saya berpikir ini novel islam bukan sih ? kok ruhinya gak yang seperti yang saya rasakan di Pingkan. Yah, iya sih, beda….tahu…Cuma, yah, gitu deh….
Terus, saya jadi teringat kata pengantarnya mbak helvy di Pingkan dulu, dan it’s happen again dengan tensi yang sedikit lebih rendah di RDH ini. Tapi saya sepakat kok dengan comment-nya mbak helvy dulu. Mungkin benar saya mencintai Pingkan dan RDH ini karena saya rindu sosok-sosok muslimah yang subhanallah. Atau bahkan tipikal ‘hero’ sekalian. Jika di Pingkan dulu, sosok Pingkan mampu mengislamkan beberapa orang sekaligus, cantik, cerdas, kaya karena dapat warisan, dan solehah. Di RDH pun sama, mampu mengislamkan Harry, yah, setidaknya Tita punya andil mengislamkan Harry kan ?, cuma di RDH, hanya Harry saja yang convert agama.
Tapi, tetap, Tita ini sosok yang ‘hero’ atau super beruntung sekali—maaf, kata-katanya kacau balau, habis memang beruntung banget sih--. Dia digambarkan tidak cantik, juga tidak kaya, dan kecerdasannya pun tidak menonjol, tidak seperti Pingkan dulu. Tapi, dia mampu meluluhkan hati dan menikah dengan sosok Harry yang ternyata ‘hero’. Lulusan harvard business school dan jadi pewaris Woodman yang kaya luar biasa di Inggris sana. Meski ada konflik internal keluarga Harry, tetap saja sosok Harry ini sangat charming. Oh, ya, Harry juga ‘dikejar-kejar’ para wanita, tapi sangaaatttt…mencintai Tita much, setia (menunggu sejak saat empat tahun tunangan hingga lima tahun tidak melirik yang lain setelah alur menukik tajam---ga bakal saya bilang ‘menukik tajamnya’, nanti gak seru lagi), terus apa ya, hanif mungkin ya, karena proses menerima islamnya tidak banyak friksi, atau mungkin karena friksinya tidak digambarkan jelas.
Jadinya, saya mikir, Harry ini gak normal karena kok setia banget, bahkan mengesampingkan masalah biologisnya, tapi mungkin itu cinta ya, …yah… saya kan enggak tahu, belum menikah gitu lho….Cuma kelamaan waktu menunggunya itu lho …
Namun selain itu, selebihnya, dan hal-hal yang terlewat, I do love RDH. Alurnya manis dan lancar sekalee..bahkan hingga kemarin-kemarin, saya taruh RDH di pinggir tempat tidur, sengaja kok bukannya jorok yah J, supaya dapat setiap saat saya baca berulang kali. Setelah selesai, perasaan saya jadi biru dan bawaannya pengen nikah muluJ . Nah lho, makanya hati-hati bagi yang masih single…dan pada akhirnya novel itu saya taruh lemari dan dikunci. Bahaya J habis, ceritanya romantis banget, saya bahkan mengabaikan dan malah gak kepikiran tentang segala kekurangan fisik novel dan sosok Harry yang kelewat bagus. Seperti terhanyut dan terbawa terus melayang lalu dihempas badai dan…….gubbrakk, jatuh lagi deh ke bumi :) .

Tapi, bagaimanapun, saya tetap cinta mbak imun, terus berkarya mbak ! Dan mau tahu gak, saya ingat sekali saat selesai membacanya, jam 01.46 malam. Karena setelahnya saya menulis diary berlembar-lembar sambl sesengukan (kok ?), dan menulis kata terakhir ini :
“Sujud padaMu, Robb, telah lewat tahun ke-21, tapi apa yang telah hamba perbuat padaMu?”
Mungkin dampak Pingkan dulu menginspirasi saya untuk menjadi muslimah yang solehah. Muslimah sesungguhnya. Yang kaafah. Yang syaamil. Tapi RDH ini membuat saya berpikir kapan ya saya bisa membuat sesuatu yang bisa membuat seseorang lebih mendekat pada Robbnya, untuk umat, bermanfaat, berdaya guna. Bukan hanya tulisan atau novel, tapi apa sebenarnya yang bisa saya lakukan sesuai core competence saya misalnya ? gak nyambung yah, yah mungkin juga tulisan terakhir itu dipengaruhi bab skripsi saya yang gak nak-naik :(

By the way, terima kasih sudah membaca tulisan saya. Ini bukan resensi apalagi opini, gak berhak lah saya seperti itu. Tapi hanya sekedar curahan hati dan buncahan perasaan saat selesai membaca RDH. Terus maaf ya mbak dianti, gak berkontribusi nih, gak guna nama tertera di website FLP sebagai pengurus. Ga amanah gini L ga pernah nulis dan gak pernah kerja. Sekalinya nulis, hanya berani di milis, dan itu pun dangkal sekali. Tapi, dimaklumi yah, masih pemula :) . Buat temen-temen yang lain, terus semangat, tetap berkarya ! I do love u all coz Allah.
Taken frm my mail to FLP Milist June 14, 2004
Desi Novita Sari