Tuesday, December 27, 2005

Sepasang Burung

Di suatu tempat,

Entah di mana, di dunia

Seseorang menunggumu, berdoa

Seperti doa yang biasa engkau ucapkan sehabis sholat

Pada suatu saat, entah apabila, di dunia

Seseorang merindukanmu, berjaga-jaga

Seperti malam-malammu yang berlalu sangat lambat

Seseorang menunggu, merindu, berjaga dan berdoa

Di suatu tempat, pada setiap..

Seperti engkau, selalu.....

(Ajip Rosidi, ”Ular dan Kabut”, 1972)

Pada akhirnya seseorang memang akan menemukan padanan sayapnya. Lalu terbang dengan sepasang. Membumbung. Ke langit.

Untuk seorang sahabat,

Untuk seluruh diskusi-diskusi kita,

Barakallahu lakum....

Aaah... Woman....

Bunderan HI, saat mentari begitu ramah menjelang hujan…

Taxi kami tersendat. Ada demonstrasi di ujung sana. Tapi sepertinya jenis yang beradab. Perempuan semua. Jumlahnya tidak lebih dari lima puluh. Hanya satu spanduk. Dan begitu banyak selebaran-selebaran berwarna biru. Berjudul Campaign United Nations for the Elimination of Violence against Women. Saya membacanya tekun. Baris demi baris. Mereka mengkalim hak tentang maternitas, perlindungan perempuan pekerja dan ratifikasi konvensi ILO No. 183. Hhhm.. saya tersenyum. Sebaris. Sejak dulu perempuan berjuang dan mungkin akan terus berjuang hingga akhir.

”Is it in english, Des? I want to read it” suara Mr Punjabi dari kursi depan.

Mr Punjabi adalah CFO kami. Ia orang India. Sangat kebapakan dan tampak bijak meski usianya baru awal 40. Dan percaya atau tidak, di kantor kami belum pernah ada CFO asli Indonesia, semuanya import. Dan ini menjadi bahan tertawaan rekan saya di negara lain. Satu-satunya negara di ASEAN yang selalu mengimpor CFO. Indonesia. Tolong tepuk tangannya.

Di samping saya mba Mita. Dan dibelakang saya ada dua taksi lainnya. Kami diundang Free Lunch oleh Mr Punjabi. Sebagai penghargaan atas kerja keras kami quarter end yang lalu, katanya. Tidak semua yang diundang, selected people only, and I felt so guilty because it will make others envy. Saya ingin mendebatnya tentang ini, semua orang bekerja, Mr Punjabi. Di kantor kami mana ada pekerjaan yang dimanage oleh dua orang, satu job description, satu orang yang handle. Dan untuk alasan itu dan alasan kesehatan jiwa saat bekerja, seharusnya semuanya diundang. Tapi seperti biasa, saya kalem saat menyadari mungkin maksud saya tidak akan jelas tersampaikan mengingat kemampuan bahasa saya yang tidak layak sekali. Depresi berat kalau mengingat ketidakmampuan saya ini, berkali-kali hendak reserve conversation class di The British Institute, tapi lalu di cancel lagi, gara-gara 1,5 juta per dua bulan yang satu kali seminggu, benar-benar perampokan, saudara-saudara !!

Minggu kemarinnya saya iri berat dengan mba Prita, anaknya IwanPonco itu lho, dia handle Treasury Country, mba yang cantik luar biasa ini ternyata luar biasa fasih saat presentasi tentang Investment for Your Life. Bahasa inggrisnya sempurna. Dan saya manyun sambil membesarkan hati, wajaar dong, kan lulusan Aussie. Hhhh, desi, selalu cari pembenaran. Besoknya saya berburu kaset-kaset, niatnya terlalu tinggi, british style english, tapi sampai sekarang masih sering tersandung. Pasti butuh lebih banyak niat lagi !!

Saya mengangsurkan kertas biru itu. Menjelaskan dengan patah-patah kondisi perempuan pekerja. Sebatas pengetahuan saya yang minim dan sebatas bahasa inggris saya yang luar biasa payah. Padahal saya ingin sekali menjelaskan perbedaan filosofis perempuan di berbagai negara. Latar belakang sejarah mereka. Mendebat pendapatnya tentang wanita India. Dan begitu banyak ide yang berloncatan. Tapi saya hanya merespon ucapan Mr Punjabi dengan ”yes, Mr Punjabi, you right. I don’t think so, Mr Punjabi. This is the reality, Mr Punjabi.” Duuh, sedihnya, mengapa hal sesimple bahasa begitu jadi kendala yah.

Taksi kami pun memutar, ambil jalur Kebon Sirih. Penang Bistro restaurant. Dari jauh saya melihat kumpulan perempuan yang berseragam kaus putih itu masih sibuk membagi-bagikan selebaran biru. Perusahaan kapitalis yang orientasinya hanya laba tentu akan berpikir banyak untuk merekrut perempuan. Cuti hamil tiga bulan tapi makan gaji buta full, cuti period tiap bulan, cuti karena anak sakit, cuti karena anak pertama masuk sekolah, cuti karena suami sakit, cuti karena ada pekerja bangunan di rumah dan lain-lain. Dan untuk semuanya itu mereka masih harus bekerja mencari nafkah yang seringnya diselingi kekerasan dan sindiran seksualitas. Aahh, woman.....

Penang Bistro Restaurant, saat berjuta-juta laki-laki berdoa dalam sujud panjangnya...

Mr Punjabi, menurut saya sangat nasionalis. Dia sangat India. Sudut pandangnya. Tindakannya. Filosofisnya. Saat review tahunan bulan lalu, saya – setelah stress berat karena merasa kurang puas menjawab pertanyaanya dengan baik – mengorek tentang rencana masa depannya, tanggapannya terhadap keluarga, dan pikiran-pikirannya. Langkah cerdas, des. Karena saya hanya mendengarkan dan bergumam sesekali.

Selera makan pun begitu, dia vegetarian sejati. Kami bertanya tentang motifnya menjadi vegetarian. Untuk tradisikah? Kita semua tahu India sangat terkenal akan tradisinya ini. Untuk kesehatankah ? Tapi dia menjawab, untuk semua alasan itu, untuk tradisi, untuk kesehatan dan terutama untuk agama. Saya selalu bingung jika ditanya kapan saya menjadi vegetarian, karena saya tak pernah memulainya, saya terlahir sebagai vegetarian. Orangtua saya. Saudara-saudara saya. Istri saya. Ungkapnya panjang lebar. Waah, desi, listen, he’s doing it for religion !!

Dan saya tergelak sendiri. Pasti dia melihat kami makan seperti saat seorang muslim melihat orang lain makan babi didepannya. Hidangan yang ada daging dan ikan semua. Hahaha..

Kami makan melingkar. Mejanya bundar. Titik-titik hujan buatan mengalir di dinding sebelah. Pahatannya sempurna. Seperti tidak sedang berada di Jakarta yang panas. Pohon-pohon hijau cantik menghiasi sisi sebelah. Dan langit-langitnya tinggi dan indah. Pelayanan kelas satu. Mungkin karena semua biaya tambahan ini, harga makanannya selangit.

Saya selalu risih saat makan dengan sendok dan garpu. Baik, saya tahu sendok di kanan dan garpu di kiri. Tapi saya harus membalik posisi saat makan daging atau sesuatu yang mesti dipotong. Masa makan pakai tangan kiri ? Ooh, please dong, dikira nanti kita gak cinta Rasulullah lagi.. Dan karena ribet juga bolak-balik posisi, sebisa mungkin saya optimalkan sendok. Hehe.. Biarlah Mr Punjabi senyum-senyum. Untungnya dia tidak bertanya. Jika iya, saya akan mencontek jawabannya, ”mostly for religion” J

Kami hampir memulai dessert, saat mba Emi bertanya, ”how come Mr Punjabi, your staff is 90% woman ?” Dan itu memancing reaksi dialog lebih lanjut. Mr Punjabi membawahi sekitar tujuh bidang yang dihandle tujuh manager dalam alur besar Finance and Administration . Salah satunya adalah mba Nina, manager saya. Dan heyy, saya baru sadar, manager laki-laki hanya tiga orang, dan itupun staffnya 80% perempuan. Kebanyakan ibu-ibu yang sudah bekerja disini belasan tahun. Paling wajah baru dan kebetulan laki-laki ya si Anton di procurement sana yang jago main golf, dan dia bangga sekali dengan birdienya minggu lalu. Hhhm, apa karena pekerjaannya adalah jenis perempuan sekali ? Detail, akurat, teliti. Mulai procurement sampai audit internal. Dan yang duduk dimeja ini pun selain Mr Punjabi, adalah perempuan !!

Saya suka sekali tema tentang perempuan, sedikit banyak karena saya perempuan. Dan karena akhir-akhir ini di kantor issue ini mulai menghangat. Mba Ifa, manager sebelah hendak resign. Anaknya cuma satu dan kebetulan autis. Mungkin alasan klise tentang double income-lah yang lambat membuatnya memfinalisasi keputusannya ini. Suaminya karyawan biasa. Sebenarnya bintang mba Ifa cerah sekali, dia supel, cerdas, muda, pekerja tangguh dan tahan banting. Kerjanya hebat dan dipuji banyak orang. Tapi anak satu-satunya autis. Autis berarti butuh perhatian lebih. Lalu, siapa yang akan mengalah ? hhm.. tidak tepat jika saya sebut mengalah, tapi lebih kembali pada prioritas mendasar. Tapi saya tidak ingin berargumen lebih lanjut lagi, saya tidak tahu ujung masa depan saya juga akan seperti apa. Dan rasanya juga tidak terlalu adil jika menuntut masnya mba Ifa berpenghasilan seperti mba Ifa. Kemampuan setiap orang juga berbeda.

Saya jadi teringat review saya dengan Mr Punjabi. Mr Punjabi bertanya tentang rencana saya. Saya katakan lepas dua tahun kerja saya akan ambil cuti sekolah. Kemana ? inginnya Inggris atau US, saya jawab. Standar jawaban untuk orang-orang yang bermimpi terlalu tinggi. Lalu kami berbincang banyak tentang dua negara tersebut. Mengapa harus dua tahun kerja ? Saya berkata itu waktu paling minimal Mr Punjabi, saat saya mengizinkan diri saya mengikuti test TOEFL dan mengapply scholarship. Saya mengejar beasiswa dan itu tentu tidak mudah. Mungkin butuh waktu dua tahun, tiga atau lebih saat saya akhirnya mendapat beasiswa. Saya ingin bekerja, Mr Punjabi. Saya ingin melihat ilmu-ilmu yang dulu saya pelajari bergerak dinamis dalam dunia yang lebih nyata. Dan saya menikmatinya.

Lalu Mr Punjabi bertanya tentang rencana personal saya. Kapan saya akan menikah, keluarga jenis apa yang akan saya bina, apakah saya akan tetap menikmati pekerjaan saya. Saya berkata, tentu setelah menikah, sudut pandang saya akan berbeda. Dunia saya tidak akan berputar sendiri. Dunia saya akan berputar bersama dunia yang lain, mungkin berputar mengelilingi dunia lainnya yang lebih besar. Lalu, saya berkata padanya, dunia perempuan berbeda dengan dunia laki-laki. Dalam agama yang saya anut, surga termudah seorang perempuan ada dalam ridho suaminya. Jadi tentu nantinya, akan ada perubahan dalam hidup dan pencapaian-pencapaian saya setelah menikah.

Dan setelahnya saya banyak menjawab pertanyaanya dengan kata-kata yang dimulai dengan, ’itu tergantung Mr Punjabi, tergantung kompromi saya dengan suami kelak’, ’banyak pertimbangan Mr Punjabi, pertimbangan saya dan suami saya’ dan sebagainya. Dan dia pun berkata ’’mengapa begitu banyak variabel des?’ Dari sorot matanya saya menangkap sepertinya dia melihat saya tidak punya kendali apapun terhadap hidup saya sendiri. Ya bagaimana tidak, dia menanyakan sesuatu di masa depan yang saya tidak punya kendali sedikit pun padanya. Saya kan tidak tahu apakah saya akan menikahi seorang birokrat, politisi, pengusaha, eksekutif kantor, karyawan biasa, akademisi, budayawan, olahragawan atau seorang dokter maupun insinyur. Jelas saja saya tidak bisa menjawab pertanyaan teknis seperti itu, jika konsep nilai tentu akan saya ladeni. Hhh...

Tapi akhirnya, setelah saya berusaha keras menjawab pertanyaan-pertanyaanya dengan ’gaya cerdik’ tapi nampaknya dia masih berkerut entah tidak setuju dengan pendapat saya atau berusaha menangkap kata-kata saya yang tidak beraturan kala emosi saya pecah, saya jadi berpikir panjang. Mengapa begitu banyak variabel ya dalam hidup seorang perempuan ? dan kita harus menyiapkan begitu banyak planning supaya jika terjadi nanti, kita hanya tinggal memilih satu diantara begitu banyak planning. Mba Rita, teman saya di kereta yang kebetulan marketing di kantor sebelah yang sedang naik daun, baru saja resign kerja dan pindah ke Banjarmasin mengikuti suaminya yang ditempatkan disana. Mba Dian senior saya di kantor cuti sekolah ke Belanda karena mendapat STUNED tahun lalu. Dia berangkat sendiri. Suaminya punya pekerjaan bagus dan tetap di Indonesia. Baru tiga bulan di sana, dia baru tahu kalau dirinya hamil dan akhirnya dia pulang ke Indonesia, melahirkan. Sepertinya STUNEDnya hangus.

Tapi setelah saya pikir lagi, memang perempuan itu diciptakan Allah sangat fleksibel. Hidupnya penuh variabel-varibel. Teman saya bilang, it’s oke des, setelah menikah kamu hanya tinggal membelokkan rencanamu, tidak menggantinya penuh. Misalnya, jika kamu ingin sekolah lagi di luar negeri, dan suamimu tidak mengizinkan / tidak bisa / tidak mau menemanimu, ya gantilah dengan sekolah dalam negeri. Uuuhh.. dan saya merenggut, berbeda sekali sekolah di luar dan dalam negeri. Dan saya punya listnya penuh satu buku. Lha, terus, masa kamu mau menolak seorang calon potensial gara-gara merasa dia tidak mendukung impianmu ? Saya tertawa, enggak, dia pasti langsung mundur melihat kok ada perempuan yang penuh obsesi terlalu tinggi dan gak bisa diatur. Haha..

Atau idenya teman chat saya yang sedang kuliah di Jerman. Dia cerita baru berkenalan dengan ibu-ibu usia pertengahan yang baru memulai kelas masternya. Ibu ini sangat bersemangat meski ia tampak jauh dari kesan muda. Ketika ditanya, kenapa baru memulai sekarang, ibu ini menjawab, karena saat muda dulu ia memiliki prioritas lain, yaitu anak-anaknya. Sekarang saat anak-anaknya dewasa, dia baru membuka impiannya lagi. Dan hebatnya, she just made it !!

Dan saya pun akhirnya tersenyum sambil menjawab, “that’s woman, Mr Punjabi, so many variabel....’” Saya tidak ingin mendebatnya lagi, karena dia dalam posisi atasan yang mencoba mempertahankan karyawannya sedang saya melihat dari sudut kehidupan yang lain. Sedang saya tahu Mr Punjabi melarang istrinya bekerja. Anaknya cuma satu, 14 tahun, sekolah di British International School hampir seharian. Dan saya tergerak untuk bertanya, apa yang Mrs. Punjabi kerjakan hampir seharian saat anak dan suaminya tidak dirumah sedang pembantunya ada dua ? Yah untunglah saya berhasil menahan diri untuk tidak bertanya, tapi mungkin jawaban yang paling mungkin ya memasak. Mereka kan sulit menemukan masakan vegetarian yang khas India. Lagipula untuk alasan apa istrinya bekerja ? Sudah rahasia umum gaji seorang CFO jauh lebih besar dari gaji CEO dikantor saya. Maklum, tenaga impor seh.

Lalu Mr Punjabi bertanya bidang yang ingin saya ambil kelak. Saya jawab, mungkin finance, saya suka bidang itu. Lalu dia pun mengajukan satu pertanyaan yang bisa meruntuhkan seluruh planning saya. Bagaimana jika saya beri kamu assignment yang benar-benar finance, mungkin di tempatnya Vincent, atau kamu bisa apply untuk assignment finance di KL, apakah kamu masih mau sekolah ? Hhhmm, interesting offering, tapi rencana besar saya jauh dari sekedar sekolah atau tidak. Sekolah hanya satu bagian kecil. Tapi tentunya saya tidak bisa katakan itu padanya. Pola pikir kami pun berbeda. Mr Punjabi besar secara profesional, dia punya gelar CFA, dan sederet gelar profesional lainnya. Dia hanya bachelor, bukan master apalagi doctor. Jadi saya hanya menjawab garis besar saja. Lagi-lagi soal variabel. Dan dia hanya mengangguk berkali-kali. Lebih karena semangat saya ketimbang isi dari jawaban saya.

Dari balik kaca yang berukir indah khas melayu -- maklum Penang Bistro resto Malay, saya tahu kalau Jakarta mulai hujan. Setelah hujan, biasanya Jakarta lebih bersih. Lebih hening. Lebih tenang.

Jadi saat akhirnya Mr Punjabi menjawab ’Yeah, that’s challenge for me’ menanggapi pertanyaan mba Emi, saya berpikir lagi tentang perempuan-perempuan masa kini. Betapa tantangannya begitu hebat. Di semua lini bisa kita temui perempuan tangguh. Bahkan di kantor saya yang notabene industri laki-laki, CEO-nya seorang perempuan. Dia seorang perempuan bervisi yang sejak tahun pertama di kantor menetapkan cita-citanya untuk menjadi seorang CEO perempuan pertama di kantor saya. Dan akhirnya memang tercapai.

Setelah menyelesaikan dessert dan beranjak pulang, saya pun bertanya, ’lalu, apa visimu des ?’

Hujan turun. Titik-titiknya indah. Menghujam. Melerai semua kelabu. Menghadirkan tenang. Semoga syukur yang berdengung benar-benar membumi. Hingga ke sudut-sudut penuh luka sekalipun.

Sesampainya dikantor jam sudah menunjukkan setengah dua. Jumat memang hari pendek. Saya membuka email saya dan menemukan satu undangan menghadiri Women’s Leadership Conference di Ritz Carlton minggu depan. Pengisinya mulai dari Mien Uno, ibu Shinta pendirinya Bubu.com, ibu Gayatri direkturnya BRI sampai direkturnya HR IBM ASEAN yang lagi-lagi perempuan. Serta beberapa petinggi kantor saya yang kebetulan juga perempuan. Teringat pagi tadi saat membaca koran di kereta, saya membaca sosok kanselir Jerman baru yang seorang perempuan, fisikawan yang banting setir jadi politisi. Suami keduanya seorang ilmuwan dengan dua gelar doctor yang dua-duanya summa cum laude, tapi tidak mendampingi istrinya saat dilantik sebagai kanselir baru. Perempuan disemua lini. Dan semuanya berputar. Aah, woman..

Minggu pagi, Miftahul Jannah, saat ketenangan berhimpun dalam satu asa

Kelas perdana tahsin dan tilawah. Ustadz Muzzammil dari LTQ Al-hikmah yang mengisi. Dan dibutuhkan niat dan sesal hampir enam bulan penuh untuk menghadirinya. Dan saya mengucapkan selamat pada diri saya sendiri. Selamat, desi !! Haha.. saya mendaftar dan membayar penuh untuk semester yang lalu, tapi hebatnya – atau menyedihkannya – saya tidak pernah menghadiri satu pun kelasnya. Alasan klise tentang sulit bangun pagi dan sudah stand by di Miftahul Jannah pukul 6 pagi teng di hari minggu. Pffiuhhh.. Maka dengan niat yang semoga Allah selalu menguatkannya juga rasa iri berat karena teman-teman saya sudah naik kelas tahfidz, saya akhirnya hadir disini.

Ada rasa yang membubung saat saya berada di lautan jilbab. Kain agung yang dihulurkan menutupi setiap jengkal tubuh. Aah, bukan kainnya yang agung, tapi komitmennya, niatnya.. dan saya bangga berada diantara mereka. Rasanya sesak dan terharu. Rindu sekali saya akan suasana seperti ini. Matahari baru saja menyapa, tapi mesjid ini sudah penuh. Wajah-wajah bersahaja penuh senyum. Yang melihatnya saja sudah meredam semua gejolak hati saya. Perbandingannya lima puluh persen lah. Antara ibu-ibu dengan yang single. Tapi mungkin saya salah prediksi. Karena ruangan ini pun penuh balita. Yang berlarian bebas mengelilingi luasnya mesjid. Saya jadi terpikir, ibu-ibu itu bangun jam berapa ya, membersihkan rumah, mempersiapkan sarapan untuk suami di rumah, memandikan dan menyuapi si kecil lalu berangkat ikut kelas bersama si kecil dan sudah berada disini tepat jam 6. Subhanallah, memang pejuang tangguh !!

Saya jadi teringat seorang teman. Dia sangat kontroversial dan untuk alasan kuat saya ingin dia berada disini saat ini. Dia berkata, ’kebanyakan wanita Indonesia berhenti berpikir saat dia menikah. Ia menyerahkan hidupnya pada suaminya. Dia berhenti bertumbuh. Baru mereka mulai berpikir lagi saat suaminya meninggal atau cerai, saat kendali hidupnya diserahkan lagi padanya’. Ggrhh....

Tapi heyy look, disini buktinya tidak kok. Saya melambai pada seseorang diujung sana. Senyumnya melebar dan balas melambai. Namanya Teh Neneng. Ia sarjana psikologi UGM. Usianya sepuluh tahun diatas saya. Tapi anaknya ada empat. Aktif-aktif semua. Dia ibu rumah tangga tanpa pembantu. Hebat kan. Suaminya kali yang berbagi peran secara adil dengannya. Hoho, nope !! Teh Neneng sih memang akhwat luar biasa. Suaminya bekerja di Libya atau negara Timur Tengah sana deh. Lulusan teknik minyak UGM juga. Pulangnya setiap tiga bulan. Mereka menikah saat sama-sama lulus kuliah. Teh Neneng sering cerita kondisi ikhwah di jamannya, sangat ketat, tidak selonggar sekarang. Saya cuma bisa nyengir, time is changed so much. Saat menikah Teh Neneng merelakan sekolah profesi psikologinya untuk mengikuti suaminya yang ditempatkan di Cilegon. Berpindah-pindah akhirnya. Mulai dari flat dua pintu – depan dan belakang --, sampai rumah super sederhana di ujung bukit dengan ular bebas berkeliaran. Hiiyy, bergidik saya mendengarnya, tapi dia memang tangguh.

Setelah keadaan ekonomi mulai membaik, suaminya ditempatkan di luar negeri, ya di Libya itu. Teh Neneng ikut juga. Tapi saat anak-anaknya balita, dia memutuskan kembali ke Indonesia, sendiri. Alasannya, Libya tidak baik untuk perkembangan psikologis dan agama anak-anaknya. Saya terharu jika sampai bagian ini. Teh Neneng cerita soal Libya yang begini dan begitu. Dan tidak ada surga seindah Indonesia untuk perkembangan Islam. Dan akhirnya beginilah. Suaminya pulang tiga bulan sekali. Tapi sepertinya saat anak-anaknya cukup bagus pondasi agamanya, dia akan ikut suaminya lagi. Dan itu berarti tahun depan. Dan saya tahu saya akan sedih sekali saat itu.

Tapi meski tidak pernah berprofesi profesional, saya tidak pernah berpikir sedikitpun Teh Neneng berhenti bertumbuh. Ia cerdas. Diskusi kita tentang politik jalan. Analisisnya tajam. Dia cermat mengamati koran dan telivisi. Diskusi tentang harakah dan pergerakan dinamis kalau dengan dia. Dia terupdate selalu. Diskusi tentang kiprah perempuan pun maju. Dia menenangkan sekali. Rasanya wajar dan biasa saja ya, semua orang juga, tapi jika melihat dia memiliki empat orang anak yang aktif-aktif yang beda usianya cuma setahun dua tahun tanpa pembantu serta suami yang terpisah jauh, saya beri dia dua jempol. Teh Neneng cerita bangun tiap pagi pukul tiga lalu mulai belajar. Saya tanya belajar apa ? Belajar tahsin katanya. Baca buku – koleksi perpustakaanya hebat. Dan menghapal quran. Hhh.. Subhanallah. Tak terbayang saya sepertinya. Dan saya tidak ragu keempat anaknya akan tumbuh hebat.

Siapa bilang, wanita Indonesia saat menikah lalu mulai berhenti berpikir ? Heyy, des, kan kebanyakan, contoh yang tadi mungkin pengecualian yah. Hhhmm..

Pikiran saya teralih. Saya menekuri diktat baru saya. Belajar tahsin itu sulit. Kenapa mesti bacaannya begini, landasannya apa, ternyata ada semua. Dan saya jadi termenung. Dulu empat tahun kuliah saya tidak terbujuk sedikit pun untuk tahsin. Kan sudah lancar bacaanya. Tapi lancar pun tidak cukup. Harus benar bacaanya. Itu ucapannya Ust Muzammil. Ustadz muda awal tiga puluh yang sudah hafidz sejak usia 15 tahun. Dia cerita sertifikasi syahadah di LTQ Al Hikmah kemarin, dari 25 kelas tahfidz, yang lulus sertifikasi hanya empat. Dan dari kelas tahsin, tidak ada satu pun yang lulus. Wuiihh...

Seorang anak kecil berlari-lari memutari saya. Dia tertawa riang. Ibunya tekun mendengarkan kuliah perdana. Dan entah mengapa saya merasa nyaman disini. Meski suasanya ribut. Meski saya berusaha keras untuk menyimak kuliah Ustdz di depan. Meski anak kecil tadi mengajak saya bermain dengan tawanya. Ya, saya merasa nyaman. Semuanya terasa alami. Apa adanya. Banyak kebaikan disini. Mungkin kelak anak kecil ini akan tumbuh cintanya untuk mempelajari quran secara menyeluruh sedari dini karena terbiasa melihat ibunya akrab dengan quran, tidak seperti saya yang usia kepala dua baru memulai belajar secara serius.

Seperti cerita Ustdz Yusuf Qardhawi tentang seorang anak usia tiga tahun di Iran yang ajaibnya sudah hapal quran. Dan setelah ditelusuri mungkin ini karena keberkahan ibunya yang menjaga kesucian dirinya semasa mengandung. Subhanallah...

Allah memberi banyak kebaikan pada perempuan. Dan lebih banyak lagi kebaikan saat dia memutuskan menjadi seorang ibu. Mungkin tidak terlihat pada dirinya. Tapi nanti pada anak-anaknya. Cucu-cucunya. Dan keturunanya kelak.

Dan pikiran saya mengalun pada mba Ifa, mba Dian, Teh Neneng, mba Rita, dan wanita-wanita lainnya yang saya kenal. Mungkin selama ini saya selalu terpaku pada cangkir itu sendiri. Apakah itu porselen ? Jika ya, tolong berikan pada saya. Oh, bukan ya, plastik ?, oh tidak, buang jauh-jauh saja jika plastik. Dan saya mengabaikan isi didalam cangkir itu sendiri, saya tidak peduli itu teh, kopi, susu atau air mineral, asalkan porselen. Padahal justru saya harus memutuskan saya ingin teh, kopi atau susu terlebih dahulu. Bukan hanya berkisar pada porselen atau plastik saja.

Astagfirullahaladzhim...

Robb, sujud padaMu...

.........dan saat itu saya hanya ingin bersimpuh dalam sujud panjang yang tak putus, membilas semua debu hati saya, dan menenangkan setiap gelisah jiwa saya......

desi novita sari

27 nov 05