Tuesday, December 27, 2005

Sepasang Burung

Di suatu tempat,

Entah di mana, di dunia

Seseorang menunggumu, berdoa

Seperti doa yang biasa engkau ucapkan sehabis sholat

Pada suatu saat, entah apabila, di dunia

Seseorang merindukanmu, berjaga-jaga

Seperti malam-malammu yang berlalu sangat lambat

Seseorang menunggu, merindu, berjaga dan berdoa

Di suatu tempat, pada setiap..

Seperti engkau, selalu.....

(Ajip Rosidi, ”Ular dan Kabut”, 1972)

Pada akhirnya seseorang memang akan menemukan padanan sayapnya. Lalu terbang dengan sepasang. Membumbung. Ke langit.

Untuk seorang sahabat,

Untuk seluruh diskusi-diskusi kita,

Barakallahu lakum....

Aaah... Woman....

Bunderan HI, saat mentari begitu ramah menjelang hujan…

Taxi kami tersendat. Ada demonstrasi di ujung sana. Tapi sepertinya jenis yang beradab. Perempuan semua. Jumlahnya tidak lebih dari lima puluh. Hanya satu spanduk. Dan begitu banyak selebaran-selebaran berwarna biru. Berjudul Campaign United Nations for the Elimination of Violence against Women. Saya membacanya tekun. Baris demi baris. Mereka mengkalim hak tentang maternitas, perlindungan perempuan pekerja dan ratifikasi konvensi ILO No. 183. Hhhm.. saya tersenyum. Sebaris. Sejak dulu perempuan berjuang dan mungkin akan terus berjuang hingga akhir.

”Is it in english, Des? I want to read it” suara Mr Punjabi dari kursi depan.

Mr Punjabi adalah CFO kami. Ia orang India. Sangat kebapakan dan tampak bijak meski usianya baru awal 40. Dan percaya atau tidak, di kantor kami belum pernah ada CFO asli Indonesia, semuanya import. Dan ini menjadi bahan tertawaan rekan saya di negara lain. Satu-satunya negara di ASEAN yang selalu mengimpor CFO. Indonesia. Tolong tepuk tangannya.

Di samping saya mba Mita. Dan dibelakang saya ada dua taksi lainnya. Kami diundang Free Lunch oleh Mr Punjabi. Sebagai penghargaan atas kerja keras kami quarter end yang lalu, katanya. Tidak semua yang diundang, selected people only, and I felt so guilty because it will make others envy. Saya ingin mendebatnya tentang ini, semua orang bekerja, Mr Punjabi. Di kantor kami mana ada pekerjaan yang dimanage oleh dua orang, satu job description, satu orang yang handle. Dan untuk alasan itu dan alasan kesehatan jiwa saat bekerja, seharusnya semuanya diundang. Tapi seperti biasa, saya kalem saat menyadari mungkin maksud saya tidak akan jelas tersampaikan mengingat kemampuan bahasa saya yang tidak layak sekali. Depresi berat kalau mengingat ketidakmampuan saya ini, berkali-kali hendak reserve conversation class di The British Institute, tapi lalu di cancel lagi, gara-gara 1,5 juta per dua bulan yang satu kali seminggu, benar-benar perampokan, saudara-saudara !!

Minggu kemarinnya saya iri berat dengan mba Prita, anaknya IwanPonco itu lho, dia handle Treasury Country, mba yang cantik luar biasa ini ternyata luar biasa fasih saat presentasi tentang Investment for Your Life. Bahasa inggrisnya sempurna. Dan saya manyun sambil membesarkan hati, wajaar dong, kan lulusan Aussie. Hhhh, desi, selalu cari pembenaran. Besoknya saya berburu kaset-kaset, niatnya terlalu tinggi, british style english, tapi sampai sekarang masih sering tersandung. Pasti butuh lebih banyak niat lagi !!

Saya mengangsurkan kertas biru itu. Menjelaskan dengan patah-patah kondisi perempuan pekerja. Sebatas pengetahuan saya yang minim dan sebatas bahasa inggris saya yang luar biasa payah. Padahal saya ingin sekali menjelaskan perbedaan filosofis perempuan di berbagai negara. Latar belakang sejarah mereka. Mendebat pendapatnya tentang wanita India. Dan begitu banyak ide yang berloncatan. Tapi saya hanya merespon ucapan Mr Punjabi dengan ”yes, Mr Punjabi, you right. I don’t think so, Mr Punjabi. This is the reality, Mr Punjabi.” Duuh, sedihnya, mengapa hal sesimple bahasa begitu jadi kendala yah.

Taksi kami pun memutar, ambil jalur Kebon Sirih. Penang Bistro restaurant. Dari jauh saya melihat kumpulan perempuan yang berseragam kaus putih itu masih sibuk membagi-bagikan selebaran biru. Perusahaan kapitalis yang orientasinya hanya laba tentu akan berpikir banyak untuk merekrut perempuan. Cuti hamil tiga bulan tapi makan gaji buta full, cuti period tiap bulan, cuti karena anak sakit, cuti karena anak pertama masuk sekolah, cuti karena suami sakit, cuti karena ada pekerja bangunan di rumah dan lain-lain. Dan untuk semuanya itu mereka masih harus bekerja mencari nafkah yang seringnya diselingi kekerasan dan sindiran seksualitas. Aahh, woman.....

Penang Bistro Restaurant, saat berjuta-juta laki-laki berdoa dalam sujud panjangnya...

Mr Punjabi, menurut saya sangat nasionalis. Dia sangat India. Sudut pandangnya. Tindakannya. Filosofisnya. Saat review tahunan bulan lalu, saya – setelah stress berat karena merasa kurang puas menjawab pertanyaanya dengan baik – mengorek tentang rencana masa depannya, tanggapannya terhadap keluarga, dan pikiran-pikirannya. Langkah cerdas, des. Karena saya hanya mendengarkan dan bergumam sesekali.

Selera makan pun begitu, dia vegetarian sejati. Kami bertanya tentang motifnya menjadi vegetarian. Untuk tradisikah? Kita semua tahu India sangat terkenal akan tradisinya ini. Untuk kesehatankah ? Tapi dia menjawab, untuk semua alasan itu, untuk tradisi, untuk kesehatan dan terutama untuk agama. Saya selalu bingung jika ditanya kapan saya menjadi vegetarian, karena saya tak pernah memulainya, saya terlahir sebagai vegetarian. Orangtua saya. Saudara-saudara saya. Istri saya. Ungkapnya panjang lebar. Waah, desi, listen, he’s doing it for religion !!

Dan saya tergelak sendiri. Pasti dia melihat kami makan seperti saat seorang muslim melihat orang lain makan babi didepannya. Hidangan yang ada daging dan ikan semua. Hahaha..

Kami makan melingkar. Mejanya bundar. Titik-titik hujan buatan mengalir di dinding sebelah. Pahatannya sempurna. Seperti tidak sedang berada di Jakarta yang panas. Pohon-pohon hijau cantik menghiasi sisi sebelah. Dan langit-langitnya tinggi dan indah. Pelayanan kelas satu. Mungkin karena semua biaya tambahan ini, harga makanannya selangit.

Saya selalu risih saat makan dengan sendok dan garpu. Baik, saya tahu sendok di kanan dan garpu di kiri. Tapi saya harus membalik posisi saat makan daging atau sesuatu yang mesti dipotong. Masa makan pakai tangan kiri ? Ooh, please dong, dikira nanti kita gak cinta Rasulullah lagi.. Dan karena ribet juga bolak-balik posisi, sebisa mungkin saya optimalkan sendok. Hehe.. Biarlah Mr Punjabi senyum-senyum. Untungnya dia tidak bertanya. Jika iya, saya akan mencontek jawabannya, ”mostly for religion” J

Kami hampir memulai dessert, saat mba Emi bertanya, ”how come Mr Punjabi, your staff is 90% woman ?” Dan itu memancing reaksi dialog lebih lanjut. Mr Punjabi membawahi sekitar tujuh bidang yang dihandle tujuh manager dalam alur besar Finance and Administration . Salah satunya adalah mba Nina, manager saya. Dan heyy, saya baru sadar, manager laki-laki hanya tiga orang, dan itupun staffnya 80% perempuan. Kebanyakan ibu-ibu yang sudah bekerja disini belasan tahun. Paling wajah baru dan kebetulan laki-laki ya si Anton di procurement sana yang jago main golf, dan dia bangga sekali dengan birdienya minggu lalu. Hhhm, apa karena pekerjaannya adalah jenis perempuan sekali ? Detail, akurat, teliti. Mulai procurement sampai audit internal. Dan yang duduk dimeja ini pun selain Mr Punjabi, adalah perempuan !!

Saya suka sekali tema tentang perempuan, sedikit banyak karena saya perempuan. Dan karena akhir-akhir ini di kantor issue ini mulai menghangat. Mba Ifa, manager sebelah hendak resign. Anaknya cuma satu dan kebetulan autis. Mungkin alasan klise tentang double income-lah yang lambat membuatnya memfinalisasi keputusannya ini. Suaminya karyawan biasa. Sebenarnya bintang mba Ifa cerah sekali, dia supel, cerdas, muda, pekerja tangguh dan tahan banting. Kerjanya hebat dan dipuji banyak orang. Tapi anak satu-satunya autis. Autis berarti butuh perhatian lebih. Lalu, siapa yang akan mengalah ? hhm.. tidak tepat jika saya sebut mengalah, tapi lebih kembali pada prioritas mendasar. Tapi saya tidak ingin berargumen lebih lanjut lagi, saya tidak tahu ujung masa depan saya juga akan seperti apa. Dan rasanya juga tidak terlalu adil jika menuntut masnya mba Ifa berpenghasilan seperti mba Ifa. Kemampuan setiap orang juga berbeda.

Saya jadi teringat review saya dengan Mr Punjabi. Mr Punjabi bertanya tentang rencana saya. Saya katakan lepas dua tahun kerja saya akan ambil cuti sekolah. Kemana ? inginnya Inggris atau US, saya jawab. Standar jawaban untuk orang-orang yang bermimpi terlalu tinggi. Lalu kami berbincang banyak tentang dua negara tersebut. Mengapa harus dua tahun kerja ? Saya berkata itu waktu paling minimal Mr Punjabi, saat saya mengizinkan diri saya mengikuti test TOEFL dan mengapply scholarship. Saya mengejar beasiswa dan itu tentu tidak mudah. Mungkin butuh waktu dua tahun, tiga atau lebih saat saya akhirnya mendapat beasiswa. Saya ingin bekerja, Mr Punjabi. Saya ingin melihat ilmu-ilmu yang dulu saya pelajari bergerak dinamis dalam dunia yang lebih nyata. Dan saya menikmatinya.

Lalu Mr Punjabi bertanya tentang rencana personal saya. Kapan saya akan menikah, keluarga jenis apa yang akan saya bina, apakah saya akan tetap menikmati pekerjaan saya. Saya berkata, tentu setelah menikah, sudut pandang saya akan berbeda. Dunia saya tidak akan berputar sendiri. Dunia saya akan berputar bersama dunia yang lain, mungkin berputar mengelilingi dunia lainnya yang lebih besar. Lalu, saya berkata padanya, dunia perempuan berbeda dengan dunia laki-laki. Dalam agama yang saya anut, surga termudah seorang perempuan ada dalam ridho suaminya. Jadi tentu nantinya, akan ada perubahan dalam hidup dan pencapaian-pencapaian saya setelah menikah.

Dan setelahnya saya banyak menjawab pertanyaanya dengan kata-kata yang dimulai dengan, ’itu tergantung Mr Punjabi, tergantung kompromi saya dengan suami kelak’, ’banyak pertimbangan Mr Punjabi, pertimbangan saya dan suami saya’ dan sebagainya. Dan dia pun berkata ’’mengapa begitu banyak variabel des?’ Dari sorot matanya saya menangkap sepertinya dia melihat saya tidak punya kendali apapun terhadap hidup saya sendiri. Ya bagaimana tidak, dia menanyakan sesuatu di masa depan yang saya tidak punya kendali sedikit pun padanya. Saya kan tidak tahu apakah saya akan menikahi seorang birokrat, politisi, pengusaha, eksekutif kantor, karyawan biasa, akademisi, budayawan, olahragawan atau seorang dokter maupun insinyur. Jelas saja saya tidak bisa menjawab pertanyaan teknis seperti itu, jika konsep nilai tentu akan saya ladeni. Hhh...

Tapi akhirnya, setelah saya berusaha keras menjawab pertanyaan-pertanyaanya dengan ’gaya cerdik’ tapi nampaknya dia masih berkerut entah tidak setuju dengan pendapat saya atau berusaha menangkap kata-kata saya yang tidak beraturan kala emosi saya pecah, saya jadi berpikir panjang. Mengapa begitu banyak variabel ya dalam hidup seorang perempuan ? dan kita harus menyiapkan begitu banyak planning supaya jika terjadi nanti, kita hanya tinggal memilih satu diantara begitu banyak planning. Mba Rita, teman saya di kereta yang kebetulan marketing di kantor sebelah yang sedang naik daun, baru saja resign kerja dan pindah ke Banjarmasin mengikuti suaminya yang ditempatkan disana. Mba Dian senior saya di kantor cuti sekolah ke Belanda karena mendapat STUNED tahun lalu. Dia berangkat sendiri. Suaminya punya pekerjaan bagus dan tetap di Indonesia. Baru tiga bulan di sana, dia baru tahu kalau dirinya hamil dan akhirnya dia pulang ke Indonesia, melahirkan. Sepertinya STUNEDnya hangus.

Tapi setelah saya pikir lagi, memang perempuan itu diciptakan Allah sangat fleksibel. Hidupnya penuh variabel-varibel. Teman saya bilang, it’s oke des, setelah menikah kamu hanya tinggal membelokkan rencanamu, tidak menggantinya penuh. Misalnya, jika kamu ingin sekolah lagi di luar negeri, dan suamimu tidak mengizinkan / tidak bisa / tidak mau menemanimu, ya gantilah dengan sekolah dalam negeri. Uuuhh.. dan saya merenggut, berbeda sekali sekolah di luar dan dalam negeri. Dan saya punya listnya penuh satu buku. Lha, terus, masa kamu mau menolak seorang calon potensial gara-gara merasa dia tidak mendukung impianmu ? Saya tertawa, enggak, dia pasti langsung mundur melihat kok ada perempuan yang penuh obsesi terlalu tinggi dan gak bisa diatur. Haha..

Atau idenya teman chat saya yang sedang kuliah di Jerman. Dia cerita baru berkenalan dengan ibu-ibu usia pertengahan yang baru memulai kelas masternya. Ibu ini sangat bersemangat meski ia tampak jauh dari kesan muda. Ketika ditanya, kenapa baru memulai sekarang, ibu ini menjawab, karena saat muda dulu ia memiliki prioritas lain, yaitu anak-anaknya. Sekarang saat anak-anaknya dewasa, dia baru membuka impiannya lagi. Dan hebatnya, she just made it !!

Dan saya pun akhirnya tersenyum sambil menjawab, “that’s woman, Mr Punjabi, so many variabel....’” Saya tidak ingin mendebatnya lagi, karena dia dalam posisi atasan yang mencoba mempertahankan karyawannya sedang saya melihat dari sudut kehidupan yang lain. Sedang saya tahu Mr Punjabi melarang istrinya bekerja. Anaknya cuma satu, 14 tahun, sekolah di British International School hampir seharian. Dan saya tergerak untuk bertanya, apa yang Mrs. Punjabi kerjakan hampir seharian saat anak dan suaminya tidak dirumah sedang pembantunya ada dua ? Yah untunglah saya berhasil menahan diri untuk tidak bertanya, tapi mungkin jawaban yang paling mungkin ya memasak. Mereka kan sulit menemukan masakan vegetarian yang khas India. Lagipula untuk alasan apa istrinya bekerja ? Sudah rahasia umum gaji seorang CFO jauh lebih besar dari gaji CEO dikantor saya. Maklum, tenaga impor seh.

Lalu Mr Punjabi bertanya bidang yang ingin saya ambil kelak. Saya jawab, mungkin finance, saya suka bidang itu. Lalu dia pun mengajukan satu pertanyaan yang bisa meruntuhkan seluruh planning saya. Bagaimana jika saya beri kamu assignment yang benar-benar finance, mungkin di tempatnya Vincent, atau kamu bisa apply untuk assignment finance di KL, apakah kamu masih mau sekolah ? Hhhmm, interesting offering, tapi rencana besar saya jauh dari sekedar sekolah atau tidak. Sekolah hanya satu bagian kecil. Tapi tentunya saya tidak bisa katakan itu padanya. Pola pikir kami pun berbeda. Mr Punjabi besar secara profesional, dia punya gelar CFA, dan sederet gelar profesional lainnya. Dia hanya bachelor, bukan master apalagi doctor. Jadi saya hanya menjawab garis besar saja. Lagi-lagi soal variabel. Dan dia hanya mengangguk berkali-kali. Lebih karena semangat saya ketimbang isi dari jawaban saya.

Dari balik kaca yang berukir indah khas melayu -- maklum Penang Bistro resto Malay, saya tahu kalau Jakarta mulai hujan. Setelah hujan, biasanya Jakarta lebih bersih. Lebih hening. Lebih tenang.

Jadi saat akhirnya Mr Punjabi menjawab ’Yeah, that’s challenge for me’ menanggapi pertanyaan mba Emi, saya berpikir lagi tentang perempuan-perempuan masa kini. Betapa tantangannya begitu hebat. Di semua lini bisa kita temui perempuan tangguh. Bahkan di kantor saya yang notabene industri laki-laki, CEO-nya seorang perempuan. Dia seorang perempuan bervisi yang sejak tahun pertama di kantor menetapkan cita-citanya untuk menjadi seorang CEO perempuan pertama di kantor saya. Dan akhirnya memang tercapai.

Setelah menyelesaikan dessert dan beranjak pulang, saya pun bertanya, ’lalu, apa visimu des ?’

Hujan turun. Titik-titiknya indah. Menghujam. Melerai semua kelabu. Menghadirkan tenang. Semoga syukur yang berdengung benar-benar membumi. Hingga ke sudut-sudut penuh luka sekalipun.

Sesampainya dikantor jam sudah menunjukkan setengah dua. Jumat memang hari pendek. Saya membuka email saya dan menemukan satu undangan menghadiri Women’s Leadership Conference di Ritz Carlton minggu depan. Pengisinya mulai dari Mien Uno, ibu Shinta pendirinya Bubu.com, ibu Gayatri direkturnya BRI sampai direkturnya HR IBM ASEAN yang lagi-lagi perempuan. Serta beberapa petinggi kantor saya yang kebetulan juga perempuan. Teringat pagi tadi saat membaca koran di kereta, saya membaca sosok kanselir Jerman baru yang seorang perempuan, fisikawan yang banting setir jadi politisi. Suami keduanya seorang ilmuwan dengan dua gelar doctor yang dua-duanya summa cum laude, tapi tidak mendampingi istrinya saat dilantik sebagai kanselir baru. Perempuan disemua lini. Dan semuanya berputar. Aah, woman..

Minggu pagi, Miftahul Jannah, saat ketenangan berhimpun dalam satu asa

Kelas perdana tahsin dan tilawah. Ustadz Muzzammil dari LTQ Al-hikmah yang mengisi. Dan dibutuhkan niat dan sesal hampir enam bulan penuh untuk menghadirinya. Dan saya mengucapkan selamat pada diri saya sendiri. Selamat, desi !! Haha.. saya mendaftar dan membayar penuh untuk semester yang lalu, tapi hebatnya – atau menyedihkannya – saya tidak pernah menghadiri satu pun kelasnya. Alasan klise tentang sulit bangun pagi dan sudah stand by di Miftahul Jannah pukul 6 pagi teng di hari minggu. Pffiuhhh.. Maka dengan niat yang semoga Allah selalu menguatkannya juga rasa iri berat karena teman-teman saya sudah naik kelas tahfidz, saya akhirnya hadir disini.

Ada rasa yang membubung saat saya berada di lautan jilbab. Kain agung yang dihulurkan menutupi setiap jengkal tubuh. Aah, bukan kainnya yang agung, tapi komitmennya, niatnya.. dan saya bangga berada diantara mereka. Rasanya sesak dan terharu. Rindu sekali saya akan suasana seperti ini. Matahari baru saja menyapa, tapi mesjid ini sudah penuh. Wajah-wajah bersahaja penuh senyum. Yang melihatnya saja sudah meredam semua gejolak hati saya. Perbandingannya lima puluh persen lah. Antara ibu-ibu dengan yang single. Tapi mungkin saya salah prediksi. Karena ruangan ini pun penuh balita. Yang berlarian bebas mengelilingi luasnya mesjid. Saya jadi terpikir, ibu-ibu itu bangun jam berapa ya, membersihkan rumah, mempersiapkan sarapan untuk suami di rumah, memandikan dan menyuapi si kecil lalu berangkat ikut kelas bersama si kecil dan sudah berada disini tepat jam 6. Subhanallah, memang pejuang tangguh !!

Saya jadi teringat seorang teman. Dia sangat kontroversial dan untuk alasan kuat saya ingin dia berada disini saat ini. Dia berkata, ’kebanyakan wanita Indonesia berhenti berpikir saat dia menikah. Ia menyerahkan hidupnya pada suaminya. Dia berhenti bertumbuh. Baru mereka mulai berpikir lagi saat suaminya meninggal atau cerai, saat kendali hidupnya diserahkan lagi padanya’. Ggrhh....

Tapi heyy look, disini buktinya tidak kok. Saya melambai pada seseorang diujung sana. Senyumnya melebar dan balas melambai. Namanya Teh Neneng. Ia sarjana psikologi UGM. Usianya sepuluh tahun diatas saya. Tapi anaknya ada empat. Aktif-aktif semua. Dia ibu rumah tangga tanpa pembantu. Hebat kan. Suaminya kali yang berbagi peran secara adil dengannya. Hoho, nope !! Teh Neneng sih memang akhwat luar biasa. Suaminya bekerja di Libya atau negara Timur Tengah sana deh. Lulusan teknik minyak UGM juga. Pulangnya setiap tiga bulan. Mereka menikah saat sama-sama lulus kuliah. Teh Neneng sering cerita kondisi ikhwah di jamannya, sangat ketat, tidak selonggar sekarang. Saya cuma bisa nyengir, time is changed so much. Saat menikah Teh Neneng merelakan sekolah profesi psikologinya untuk mengikuti suaminya yang ditempatkan di Cilegon. Berpindah-pindah akhirnya. Mulai dari flat dua pintu – depan dan belakang --, sampai rumah super sederhana di ujung bukit dengan ular bebas berkeliaran. Hiiyy, bergidik saya mendengarnya, tapi dia memang tangguh.

Setelah keadaan ekonomi mulai membaik, suaminya ditempatkan di luar negeri, ya di Libya itu. Teh Neneng ikut juga. Tapi saat anak-anaknya balita, dia memutuskan kembali ke Indonesia, sendiri. Alasannya, Libya tidak baik untuk perkembangan psikologis dan agama anak-anaknya. Saya terharu jika sampai bagian ini. Teh Neneng cerita soal Libya yang begini dan begitu. Dan tidak ada surga seindah Indonesia untuk perkembangan Islam. Dan akhirnya beginilah. Suaminya pulang tiga bulan sekali. Tapi sepertinya saat anak-anaknya cukup bagus pondasi agamanya, dia akan ikut suaminya lagi. Dan itu berarti tahun depan. Dan saya tahu saya akan sedih sekali saat itu.

Tapi meski tidak pernah berprofesi profesional, saya tidak pernah berpikir sedikitpun Teh Neneng berhenti bertumbuh. Ia cerdas. Diskusi kita tentang politik jalan. Analisisnya tajam. Dia cermat mengamati koran dan telivisi. Diskusi tentang harakah dan pergerakan dinamis kalau dengan dia. Dia terupdate selalu. Diskusi tentang kiprah perempuan pun maju. Dia menenangkan sekali. Rasanya wajar dan biasa saja ya, semua orang juga, tapi jika melihat dia memiliki empat orang anak yang aktif-aktif yang beda usianya cuma setahun dua tahun tanpa pembantu serta suami yang terpisah jauh, saya beri dia dua jempol. Teh Neneng cerita bangun tiap pagi pukul tiga lalu mulai belajar. Saya tanya belajar apa ? Belajar tahsin katanya. Baca buku – koleksi perpustakaanya hebat. Dan menghapal quran. Hhh.. Subhanallah. Tak terbayang saya sepertinya. Dan saya tidak ragu keempat anaknya akan tumbuh hebat.

Siapa bilang, wanita Indonesia saat menikah lalu mulai berhenti berpikir ? Heyy, des, kan kebanyakan, contoh yang tadi mungkin pengecualian yah. Hhhmm..

Pikiran saya teralih. Saya menekuri diktat baru saya. Belajar tahsin itu sulit. Kenapa mesti bacaannya begini, landasannya apa, ternyata ada semua. Dan saya jadi termenung. Dulu empat tahun kuliah saya tidak terbujuk sedikit pun untuk tahsin. Kan sudah lancar bacaanya. Tapi lancar pun tidak cukup. Harus benar bacaanya. Itu ucapannya Ust Muzammil. Ustadz muda awal tiga puluh yang sudah hafidz sejak usia 15 tahun. Dia cerita sertifikasi syahadah di LTQ Al Hikmah kemarin, dari 25 kelas tahfidz, yang lulus sertifikasi hanya empat. Dan dari kelas tahsin, tidak ada satu pun yang lulus. Wuiihh...

Seorang anak kecil berlari-lari memutari saya. Dia tertawa riang. Ibunya tekun mendengarkan kuliah perdana. Dan entah mengapa saya merasa nyaman disini. Meski suasanya ribut. Meski saya berusaha keras untuk menyimak kuliah Ustdz di depan. Meski anak kecil tadi mengajak saya bermain dengan tawanya. Ya, saya merasa nyaman. Semuanya terasa alami. Apa adanya. Banyak kebaikan disini. Mungkin kelak anak kecil ini akan tumbuh cintanya untuk mempelajari quran secara menyeluruh sedari dini karena terbiasa melihat ibunya akrab dengan quran, tidak seperti saya yang usia kepala dua baru memulai belajar secara serius.

Seperti cerita Ustdz Yusuf Qardhawi tentang seorang anak usia tiga tahun di Iran yang ajaibnya sudah hapal quran. Dan setelah ditelusuri mungkin ini karena keberkahan ibunya yang menjaga kesucian dirinya semasa mengandung. Subhanallah...

Allah memberi banyak kebaikan pada perempuan. Dan lebih banyak lagi kebaikan saat dia memutuskan menjadi seorang ibu. Mungkin tidak terlihat pada dirinya. Tapi nanti pada anak-anaknya. Cucu-cucunya. Dan keturunanya kelak.

Dan pikiran saya mengalun pada mba Ifa, mba Dian, Teh Neneng, mba Rita, dan wanita-wanita lainnya yang saya kenal. Mungkin selama ini saya selalu terpaku pada cangkir itu sendiri. Apakah itu porselen ? Jika ya, tolong berikan pada saya. Oh, bukan ya, plastik ?, oh tidak, buang jauh-jauh saja jika plastik. Dan saya mengabaikan isi didalam cangkir itu sendiri, saya tidak peduli itu teh, kopi, susu atau air mineral, asalkan porselen. Padahal justru saya harus memutuskan saya ingin teh, kopi atau susu terlebih dahulu. Bukan hanya berkisar pada porselen atau plastik saja.

Astagfirullahaladzhim...

Robb, sujud padaMu...

.........dan saat itu saya hanya ingin bersimpuh dalam sujud panjang yang tak putus, membilas semua debu hati saya, dan menenangkan setiap gelisah jiwa saya......

desi novita sari

27 nov 05

Wednesday, November 23, 2005

Masihkah ingat ?

Kita menyibak waktu dengan haru. Dengan pilu. Ya, dengan lega juga. Dengan balutan seluruh rasa. Sepenuh raga. Ingatkah ?

Meski dengan kesederhanaan dalam mengeja. Menyingkirkan sepenggal berat. Dan sepenggalnya lagi harus kita telan utuh. Setelah terkoyak tak bertubuh. Ingatkah ?

Kita sering pandangi langit yang bergerak. Menitipkan setiap tatap harap kita. Cita kita. Mimpi kita. Yang terlalu indah, sahutmu. Tapi, heyy, bukankah manusia pun Allah ciptakan indah ? Dan adalah wajar, jika yang lahir dari keindahan adalah keindahan ? potongku cepat. Kau tersenyum. Mengerti. Dan menggenggam tanganku. Erat. Bismillah, ujarmu tegar.

’Surga itu harus kita rebut sekuat tenaga’ ujarmu satu saat.

’Sekuat tenaga’ kau menekankan.

Dan aku mengangguk. Mencoba menghapus haru yang tiba-tiba menyesak kuat dan berwujud. Mengalir.

’Harus kita rebut dari siapa? Dari syetan yang memang tak pernah layak memilikinya? Atau dari diri yang begitu bodohnya amat mencintai neraka?’

Tatapmu hanya nanar. Menerawang beribu-ribu mega.

Masihkah ingat ?

Saat aku bergulung. Meratapi setiap kelabu yang kerap singgah. Dan yang kau tawari hanya lantunan kerinduan. Ayat demi ayat. Alquran. Lalu seketika menggilas segala kelamku. Tak berbekas.

’Kebahagiaan itu,’ katamu, ’terletak bagaimana kita mensyukuri nikmat yang Allah berikan’

Lalu kelu pun hadir. Tatapku bertanya.

’Jadi,’ sambungmu, ’ berhentilah mengeluh, dan jalanilah hidup, dalam syukur yang tak pernah putus’

Dan, berjuta kata yang kurangkai remuk seketika.

Karena, kau benar. Apa adanya. Karena, sekali lagi, kau benar, dan itu adalah sebenarnya.

Tidakkah kau ingat ?

Karena, aku ingat.

Lalu kita pun belajar meniti hari. Dalam syukur yang tak pernah putus. Kelak, kita pun akan mulai belajar meniti langit. ’Kenapa?’ tanyaku. ’Apakah karena seluruh hari sudah kita lalui? Bukankah itu berarti kita berada dalam dekapan kematian? ’

Selapis senyum. Dan kau menggeleng. Perlahan. ’Bukan. Tapi karena langkah kita, satu demi satu, harus kita tanya. Berkali-kali. Apakah arah yang kita tuju, menuju Allah, saja ?’

’Oo begitu, bagaimana, jika kita belajar mulai dari sekarang saja?’ ajakku.

Dan kau mengiyakan.

Aku masih mengingatnya, akan selalu begitu.

Hidup, seperti sebuah garis. Dan kau menggariskannya pada secarik kertas.

’Kita ada dimana?’ tanyamu. ’yang ujung saat kita lahir, satunya lagi saat kita menutup mata, dan kita ada dimana?’ tanyamu. Lagi.

Aku menekurinya. Tanpa kata.

’Kita tidak tahu bukan, karena kita tidak tahu garis hidup kita sepanjang apa, pendekkah, panjangkah, dan meskipun kita tahu, kita pun tidak tahu kita ada di titik keberapa dari awal atau masih tersisa berapa titik lagi hingga ke akhir, iya kan?’

Mata kita bersitatap. Dan lalu secara bersamaan kita mengulang kalimat favorit kita.

’Hidup hanya sekali. Dan yang sekali pun hanya sesaat. Maka dari itu, yang sesaat harus sangat berarti.’

Senyum kita mengembang. Meski dada kita sesak, saat punggung kita bertambah lebar beberapa inchi demi menanggung cita jiwa yang semakin memberat.

Sekarang, sudahkah kau ingat ?

Saat dengan kalut, aku mempertanyakanmu, ’menurutmu begitu?’

Dan kau hanya menghela napas. Satu satu. Dan kerut di wajahmu pun memudar.

‘hidup adalah sebuah pilihan,

menjalani hidup, berarti memilih dengan bijak

memilih dengan dasar ilmu,

memilih karena cinta, cinta tak berperi, pada Ilahi,

dengan, doa dan harap di penghujungnya,

agar hanya kebaikanlah yang berwujud

di setiap pilihan kita,

mengertikah?’

masih dengan kalut, aku pun berujar ’apakah aku memilih untuk ’mengerti’ ?

bukankah ’kemengertian’ adalah sebuah pilihan,

juga ?’

Lalu kau merenggang. Seperti berjuta jaraknya.

Dibutuhkan bertak-terhingga doa dalam sujud-sujud panjangmu,

saat dengan tulus kau membawaku serta dalam setiap rintihmu

untuk membuatku utuh, kembali.

Kini, kau pasti ingat.

Sepenggal malam terakhir saat untuk merenung, untuk berkeluh kesah, tiada berbatas. Dan kita titipkan segala galau. Untuk diganti dengan keyakinan dan keberanian. Karena hari sedemikian panjang. Sedang kita sedemikian lemahnya. Hanya setitik debu. Bagaimana meraih ridho-Nya ?

Saat bulan mulai terlelap, kau katakan sesuatu tentang bergegas. Bergerak. Bangun. Jangan terlalu lama terlena. Jangan tertidur terlalu panjang. Karena demi masa, kita rugi jika tidak bergerak maksimal. Sedang Allah menitipkan kita begitu banyak potensi. Kita zolim jika tidak mewujudkannya sebagai amal nyata. Karena demi masa, ujarmu sekali lagi, kita sungguh merugi.

Dan aku tersenyum. Semangatnya memeras kantukku hingga titik-titik. Dan aku menuliskannya. Bukankah kita sedang bergerak, Sis ? Belum maksimal, memang. Tapi kita akan selalu menaikkan kapasitas kita, bukan ? Sepanjang garis ini, menuju titik kesempurnaan itu, saat amal-amal kita diangkat. Yang kita tidak tahu kapan.

Karena demi masa Sis, kita memang sangat merugi jika tidak bergerak maksimal.

Baiklah, sekarang, selalu ingatlah. Seperti aku yang selalu mengingatnya.

For my dear Sisters, do love you coz Allah…

Counting the days to 23, please don’t be sad, and never worried, terhadap apapun, yang ada di depan sana, karena jika kita berlumur takwa, yang ada hanya kebaikan di sepanjang jalan ini, masalahnya, apakah kita sudah cukup bertakwa? Dan heyy, adakah kata ‘cukup’ dalam takwa ?

Bogor, 22 November 2005

Saat kering menelan setiap percik yang telah hadir,

Desi Novita Sari

Tuesday, November 01, 2005

Untuk mba Rie yang jauh disana………

Untuk mba Rie yang jauh disana………

Dua hari sebelum lebaran,

Akhir-akhir ini saya sering sekali teringat mba. Begitu saja. Hhh… Mungkin karena suhu di bogor yang semakin muram. Atau mungkin karena sekarang waktu sedemikian hebatnya bergulat dengan Ramadhan. Dan, hari-hari lalu pun diputar ulang. Gerak cepat.

Mba baik-baik saja kan disana ?

Negeri kita ini adalah surganya berislam, kata mba saat sore menjejak. Karena di setiap jengkalnya, ayat-ayat Allah dikumandangkan dengan bebasnya, tanpa takut, tanpa himpitan. Dan untuk alasan sesederhana itu, tak ada ruang untuk mengeluh. Hhh.... sekarang, masihkah begitu ?

Aaahh.. mba, tapi realita berbicara lain. Dan tiba-tiba berwujud perih. Mba ingat rumahku tidak ? Haha.. ya benar, masuk kategori Bogor coret. Karena sudah selayaknya tidak masuk peta. Masjid di daerahku jaraknya satu kilo dari rumah. Jalannya berliku-liku. Termasuk sempit. Banyak celah di jalanan, harus ekstra hati-hati saat melangkah, apalagi saat hujan. Penerangannya pun minim. Kampung banget, deh J Tapi hari-hari terakhir ini, shafnya tinggal dua. Di awal dulu, hampir enam bahkan tujuh. Sekarang hanya deretan badan-badan bungkuk, napas yang mudah letih dan langkah yang tertatih-tatih. Mereka yang setia hadir. Di mana ya bunga-bunga yang sedang tumbuh dan mekar ? Yang harumnya semerbak itu ? Lenyap, mba. Shaf ikhwannya pun setali dua, hanya rambut-rambut putih yang tertiup kipas angin di puncak, dan bunyi deraknya terkadang memilukan. Bahkan, anak-anak kecil yang selalu ribut di ujung shaf sana hilang dari peredaran. Ada yang lega masjid lebih lengang, shalat terasa khusyu. Ah, tapi, siapa yang menggantikan saat usia terlampau senja ? Jika sudah begini, sunyinya masjid seringnya menusuk. Bacaan imam masjid terasa mengiris. Pilu, mba.

Dan mba, tiba-tiba begitu banyak pemgemis di kota Bogor. Mba tahu Jembatan Merah? Yang panjangnya cuma lima belas meter itu. Sekarang penuuuh pengemis. Dulu, paling diujung kiri dan kanan. Sekarang jeda satu meter, ada yang setia menanti dengan baskom kecil. Ada bayi-bayi yang gemuk , penuh gizi ? nope, karena udara mba, lha wong perutnya membusung gitu, gemuk nda normal. Janda-janda dengan tatapan patah. Kakek nenek yang sudah tak utuh. Entah penglihatannya, lengannya atau mentalnya. Hhh.. kalau sudah begini, saya selalu berpikir, pemerintah kita itu zoliim banget, mba. Mereka kan tanggungannya ya. Benar kan mba ?

Hhh.. susah kalau sudah bicara tentang pemerintah, bukannya hopeless ya mba, tapi begitulah adanya. Kemarinnya lagi saat pembagian Kartu Kompensasi BBM, ada nenek-nenek yang semaput gara-gara terinjak-injak. Kehabisan napas. Pun, saat penjualan sembako murah, ada saja korbannya. Dan herannya, kenapa coba ya, sedikit sekali dana pembagian sembako. Dulu saat kampanye, rasanya tiap saat ada pembagian sembako. Sekarang kemana partai-partai hebat itu ? Apa perlu jadwal kampanye disamakan dengan saat kenaikan BBM ? Dan mulut saya terkatup erat, menggigit perlahan. Memaki hati. Tangan serasa lumpuh. Mulut gagu. Apa daya.

Belum lagi soal mudik. Budaya. Mengakar jauh ke tulang. Tapi mengapa ya silaturahim identik dengan idul fitri ? Sehingga konteksnya jadi kacau balau. Dengan kondisi seperti ini,--- bayangkan mba harga cabai naik dari enam ribu jadi empat puluh ribu, walahh.. -- , banyak orang yang tidak mudik. Ada yang pasrah, tapi ada pula yang maksa. Jarak Jakarta – Semarang dengan motor dan seorang bayi. Duhai, apa sih yang kau cari ? Beberapa hari lalu, jumlah kecelakaan di jalur mudik bertumbuh. Rasanya saking banyaknya penduduk kita, nyawa tidak lagi berbilang mba. Hilang satu, masih sekian ratus juta lagi, mungkin begitu kali ya pikirannya. Pikiran yang tidak bermutu. Padahal tiap jiwa terletak rasa. Dan dikelilingi sejuta rasa lainnya. Mereka individu, pribadi utuh, bukan hanya bilangan dalam arus statistik. Jika diletakkan proporsional, akan terlihat seimbang. Dan hal-hal ini tidak perlu dimaknai berlebihan. Tapi beginilah arusnya.

Polisi pun mulai ramai, mba. Dan jalanan di Bogr kian menyempit beberapa meter. Karena tiba-tiba kaki lima berhamburan. Ada yang jual kaos murah. Sepatu murah. Tas murah. Pokoknya semuanya serba murah. Dalam lapak-lapak bebas di pinggir jalan. Yupp, bagaimana pun beratnya hidup, ini tetap lebaran sweetheart !! Dan lebaran berarti baju baru untuk semuanya. Dan sepuluh hari terakhir ini, toko-toko dipenuhi orang untuk i’tikaf. Hebat kan mba. I’tikaf di mall. Memilih aneka helai baju. Untuk adik. Untuk kakak. Untuk ayah. Untuk semuanya. H-10 diskonnya masih 20%. Semakin mendekati lebaran, diskonnya dinaikkan perlahan. Jelas saja semua orang jadi giat beri’tikaf di mall. Wong pemicunya luar biasa manis. Diskon. Padat sekali, mba. Dari luar saja bisa terlihat. Orang dan barang bertumpuk.

Hhh.. kenapa ya mba, kalau lebaran itu identik dengan baju baru. Apa karena jiwa kita terlahir suci kembali ? Stupid sekali ya mba, kalau hal ini dikaitkan dengan jiwa yang belum tentu kembali bersih. Atau mungkin hanya ingin menyenangkan hati anak-anak kecil ? Supaya mereka lebih berantusias menyambut lebaran ? Hmm... Tapi yah begitulah mba, apapun sejarahnya, setiap anak kecil pun ditanyainya itu, sudah punya baju baru untuk lebaran ? berapa banyak ? Jelas saja anak-anak kecil terpola baju dan hal-hal lain yang baru dan kasat mata. Tunas-tunas bangsa itu, mba. Eh, kalau Yudha ga gitu kan ya? Banyak doa untuknya. Semoga jadi anak sholeh. Abi dan uminya kan hebat J.

Terlintas sesuatu nih mba. Kemarin pas cuti – sengaja ambil sebanyak mungkin pas ramadhan, biar gak tumbang tarawihnya ;p --, sempat ke Gramedia. Dan tiba-tiba tertarik buku-buku kesehatan. Alhasil belilah satu buku kesehatan. Wah, masyaAllah mba, being a woman is soooo hard. Di tiap jenjang usia perempuan ada resikonya. Mulai dari vertigo, osteoporosis, kista, hot flashes pra monopouse, kanker payudara hingga kanker rahim. Dan semuanya terkait dengan hormon estrogen. Itulah alasannya kenapa laki-laki minim probabilitasnya terkena osteoporosis. Karena laki-laki kan ga punya hormon estrogen !! Selesai baca, luar biasa iri dengan laki-laki. How could, gitu deh. Tapi tadi, sepulang dari kantor, melihat satu sosok, saya jadi berubah pikiran. Menjadi laki-laki pun luar biasa berat.

Bapak-bapak mba. Sepertinya perawakannya lebih lapuk dari usianya. Gurat-gurat wajahnya kasar. Tertempa kerasnya hidup. Mungkin tukang becak, tukang pikul buah, atau barangkali kuli pasar. Ia menghitung lembaran uang biru. Di dekat lapak bebas kaki lima baju-baju. Harganya luar biasa miring. Tapi dia masih menawarnya. Saya memperhatikannya. Dan saya berpikir. Kok harganya begini miring ya, ternyata baju-baju bekas. Baju bekas yang terlihat setidaknya layak pakai. Duuh, mata saya berkabut. Di negara yang begitu sangat kaya, penduduknya sedemikian miskin. Bahkan mereka pun berebut dan menawar untuk membeli baju bekas !! Ilahi....

Bapak tadi, dengan napas beratnya, membeli dua pasang baju kecil – untuk anaknya, bisik saya -- dan sehelai baju perempuan – tentu untuk istrinya --. Dia pun berlalu. Dan saya masih terpaku. Beban hidup, harapan, mimpi, cita dan usaha seluruhnya dipikul oleh laki-laki. Karena bagaimana pun seorang laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan di sekitarnya. Bagi ibunya, bagi saudara perempuannya, bagi istrinya, bagi anak perempuannya. Pemimpin berarti penggenggam tanggung jawab, pelindung, pengayom, dan bahkan dalam arti luasnya bisa menjadi penjamin kebahagiaan. Dan itu luar biasa berat.

Bapak tadi mungkin hanya ingin sekedar membahagiakan istrinya, membuat tertawa senang anaknya, dengan semampunya, apa adanya. Dan saya jadi mengaitkannya dengan korupsi mba. Pelaku korupsi yang notabene laki-laki mungkin dipicu oleh orang-orang terdekatanya. Harapan-harapan mereka. Keinginan-keinginan mereka. Tidak perlu diutarakan. Raut wajah sudah terang menyuarakan. Mungkin rumah yang lebih besar. Perhiasan yang lebih banyak. Mobil yang lebih baru. Aah, saya jadi berpikir ngalor ngidul mba. Tapi sungguh mba, betapa pun hebatnya menjadi seorang perempuan, begitu pun hebatnya menjadi seorang laki-laki. Karena menurut saya, setiap laki-laki adalah pahlawan bagi orang-orang disekitarnya. Ayah bagi anaknya. Kakak bagi adiknya. Suami bagi istrinya.

Dan saat abang penjualnya menawari, saya menolaknya dengan menjawab ’ga ada jilbab sih’. Jawaban sekenanya. Dan segera berlalu. Tapi dalam hati ngilu pun mengalir. Deras.

Dan begitulah mba, kabar negeri kita tercinta. Terlihat mengenaskan ? Tapi mungkin seperti nasihat mba dulu, semua hal berproses dan setiap proses mesti dijalani. Mungkin ini proses yang Allah gariskan bagi bangsa kita ya mba. Banyak hikmah dalam setiap jejak perjalanannya. Dan kelak di titik sana, saat cinta begitu berlimpah, saat setiap jiwa berlabuh, harumnya akan semerbak mewangi.

Maka saat matahari tergelincir, dan setiap dahaga tertunaikan, saya pun merintih pelan, perkuatlah kesabaran saya dalam menjalani prosesMu Robb. Pun, perkokohlah kesabaran semua hati di negeri ini. Aaamiin...

Hoaemmm... Sudah sangat larut. Mata mulai sulit terjaga. Titip salam untuk langit Manchester ya mba, semoga kilaunya seindah langit malam ini di Bogor. Saat berjuta cahaya terhampar. Dan setiap hati pasrah. Tunduk.

Happy Ied Mubarak, mba...

Taqoballahu minna wa minkum...

Dengan cinta yang membiru….

Desi Novita Sar

Monday, October 24, 2005

...pun derap juga

kemilau yang berpendar itu,

adalah cahaya....

derap yang berbalut rindu,

pun derap juga.....

percikannya pecah

dan bilur-bilur pun mengalir...

berjejak...

Hhh... malam itu, didepan tv, saya tertegun. Saya sering mendengarnya. Namun setiap kalinya, selalu berkesan. Selalu lebih kuat.

”Lho, bukannya saya ingin kaya, tapi saya harus kaya” diiringi derai tawa Aa Gym.

Hhmm.. begitulah, akhir-akhir ini saya jadi sering sekali berpikir tentang kekayaan. Bukan, bukannya saya tidak sepakat dengan ucapannya Aa Gym. Tapi justru karena saya mengiyakan setiap baitnya. Muslim memang harus kaya. Tapi, masalahnya, siapa sih yang layak disebut kaya itu ? Lalu, sebanyak apa kekayaanya ?

Ide yang paling umum, orang kaya adalah orang yang punya rumah di deretan Valentino-nya kompleks bintaro plus honda jazz terbaru digarasinya. Mmm, tapi kalau rumah itu berarti kredit dua puluh tahun plus mobil itu tambahan lima tahun kredit lagi, judulnya adalah gak tenang. Mau pakai istilah credit card kek, KPR plus plus kek, itu tetap saja hutang. Yah, seperti beberapa kenalan saya yang kebetulan pasangan muda dan punya double income. Lha des, terus kalo ngontrak terus, judulnya juga deg-degan. Aah, itu diluar konteks yah, kan tulisan ini tidak memuat tips-tips bagi pasangan muda. Tapi lebih luas lagi J

Lalu, ide yang lain ? mmm... mungkin seperti senior saya di kantor, yang anaknya cuma dua dan kebetulah dua-duanya sudah di perguruan tinggi, tapi pembantunya di rumah ada empat. Pasti kaya banget kan. Eh, tapi kalau menjelang lebaran ini, dia panik luar biasa karena pembantu-pembantunya pulang kampung semua, menurut saya dia harus kita coret ya. Lha, wong, mempertahankan sesuatu saja ’nda bisa, rasanya dia tidak sungguh-sungguh kaya.

Ooh ya, ada lagi, mungkin seperti cerita teman saya, yang kaya itu adalah perempuan yang jadi manager di perusahaan bagus dan suaminya pejabat pemerintahan dan petinggi partai yang sedang berkuasa. Kaya dong, tentunya, bukan double income lagi tapi multi income. Aah, tapi kalau sebentar-sebentar anaknya yang perempuan – yang ternyata ga pe de sama sekali -- minta operasi bedah plastik kakinya karena kurang seksi, atau hidungnya yang dirasa kurang bangir dan gak berbentuk segitiga ( nah lho ?? ). Dan kebetulan minta operasinya di Perancis atau di MayoClinicnya Rochester, kan ga normal tuh. Cash flow nya balance sekali. Uang yang masuk sederas uang keluar. Atau mungkin malah cash flownya bleeding lagi. Di reject saja pendapat teman saya itu.

Terus, siapa dong yang kaya itu? Kalau ini bukan, itu ditolak. Ooopss, pasti artis ya, artis kan pemasukannya bisa setengah milyar ya dalam semalam. Wah, kalau artis sih, sudah ga masuk list dari awal. Kok bisa ? Ya iya dong, kan para artis ini ga bisa membeli kebebasannya. Waktu-waktu pribadinya. Di gosipin terus.

Haha... terus siapa dong yang kaya itu? Jangan-jangan ga ada lagi, bottom line-nya aja ga jelas gitu. Sebelumnya, saya juga berpikir begitu. Rasanya orang yang saya cari tidak nyata. Adanya hanya pada tataran teoritis atau di alam saat semua garis adalah kebaikan. Tapi, akhir-akhir ini saya baru menemukannya. Dan, heyy, look, ini bukan di negeri dongeng. Mereka ada, dan real !

Salah satu contohnya ya, salah seorang teman kantor saya, ibu-ibu. Sangat sederhana, bahkan untuk ukuran karyawan kantoran. Posisinya dikantor biasa saja. Suaminya pegawai negeri biasa. Anaknya empat, laki-laki, usia sekolah semua. Tapi ternyata sedekahnya untuk para satpam/cleaning service/messenger – itu lho yang bawa-bawain surat dari lantai ke lantai -- /host -- itu lho, yang suka beliin makanan kita kalau malas turun ke kantin – jumlahnya sangat besar, bahkan lebih besar dari salah satu manager saya. Kok saya bisa tahu ? Iyya dong, saya kan ga sengaja ngintip dari listnya. Dan saya terharu. Seketika. Dia gak repot ngurusin baju kebaya baru, atau model tas manik-manik baru dan perkara-perkara ibu-ibu lainnya, tapi justru memindahkan konsentrasinya untuk memberi banyak pada yang lain. Dia, menurut saya, sangat kaya.

Seorang teman perempuan saya pun saya sebut sangat kaya. Dia bekerja di perusahaan yang menurut saya sih ga manusiawi, kerja dengan waktu di luar batas toleransi saya. Mending gajinya sepadan bebannya, tapi nope tuh. Saya berkali-kali bilang padanya, tapi dia bilang bekerja itu ibadah, dan yang penting ikhlas, sampai Allah menentukan sesuatu yang lebih baik. Hh.. susah deh, kalau orang terlalu baik begini. Terlalu ’nrimo, tidak punya daya pemberontak. Haha.. untungnya imannya kuat, tidak terpengaruh saya J. Tapi yang saya kagumi, dia rela membelah-belah dirinya demi sesuatu yang lebih baik dan lebih besar. Di sisa-sisa waktunya – yang masih aktif di berbagai kegiatan --, masih sempat ngurusin bazaar ramadhan di balaikota hari ini sampai rela menguras uangnya, tenaga dan pikirannya tentu. Dan saya yakinnya, besok senin, dia pasti sudah stand by di kantor dengan kalem tanpa ada orang yang mengira dia sudah melakukan hal besar kemarinnya. Seseorang yang tidak hanya memikirkan segala pernak-pernik tentang dirinya, tidak hanya berpusat pada dirinya, tidak egosentris, dan masih memiliki energi banyak untuk memberi dan berbagi pada yang lain adalah sangat kaya menurut saya.

Oh ya, adalagi yang kaya menurut saya, seorang laki-laki, usia pertengahan. Saya melihatnya saat di kereta suatu siang. Biasa saja. Tipe bapak-bapaklah. Tapi saya jadi memperhatikannya. Lekat. Habis hatinya baik sekali. Terharu sekali saya melihatnya. Dia tidak membiarkan satu pengemis/pengamen/anak-anak yang menyapu sambil menadahkan upah di kereta itu --– yang jumlahnya buuanyaaakk sekali itu --- lewat didepannya tanpa ia menyodorkan sehelai kertas. Entah laki-laki itu baru dapat bonus mungkin, atau warisan, who knows. Tapi orang yang tidak membiarkan tangan dibawah lewat dengan hampa begitu saja dari hadapannya adalah orang yang kaya, menurut saya. Meskipun dia sudah membayar zakat atau sedekah ditempat lain, misalnya.

Karena mengutip ucapan ayah saya ya, sedekah itu adalah wujud nyata kemurahan hati. Kalau zakat, bukan tentang kemurahan hati, tapi tentang kebesaran hati, karena zakat adalah hak orang lain. Nah, kalimat terakhir ini yang membuat mendung saya kemarin sore sirna seketika. Dan saya merasa sangat bodoh setelahnya. Iya dong, zakat adalah hak orang lain, hak fakir miskin, hak para mualaf, hak pejuang fii sabillilah, dan hak orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Tidak pernah sekali pun jadi milik kita. Hanya kebetulan dititipkan pada kita.

Makanya, saya menertawakan diri saya sendiri, lama, kok bisa-bisanya cemberut hampir seharian gara-gara terlalu nervous menghitung zakat tahunan saya. Lha, logikanya kan dapat, hak orang lain toh. Bukan milik kita. Kok seperti melepas sesuatu yang begitu lekat ? poor me...

Setelahnya dengan semangat seorang relawan baru pengumpul zakat plus galak sedikit, saya sms teman-teman saya, ayo, hitung zakat dengan teliti. Mobil, coba dimasukin. Emas, coba ya, dihitung juga. Usaha-usaha, dagang, ternak lobster, konsultan komputer, coba ya, teliti ulang – kebetulan beberapa teman ada yang berwiraswasta --. Haha.. gak apa-apa galak sedikit, inginnya kan kaya bareng-bareng, iya gak ?

Jadilah sore itu sore pembelajaran menjadi kaya. Ingin kaya, berzakatlah... bisik saya berkali-berkali. Mmh.. setelah dipikir-pikir, motto itu bagus juga, kok jadi narsis gini. Saya tergelak pelan sambil mematikan televisi. Famous to famous-nya baru saja usai. Yup, bismillah, sebuah usaha kan, sama-sama pejuang kan, untuk mendekat pada Pusat Seluruh Cinta... Insyaallah kita bertemu disana ya... Janji ?

Ooopss, saya tersentak, tiba-tiba, eh, wait deh, ada yang melintas cepat, jika zakat profesi 2,5%, zakat maal 2,5%, terus.. terus.. zakat bonus itu kan 20%... Huuaaah.. THR itu masuk zakat bonus gak ya? Terus bonus review performance tengah tahun saya kemarin... itu 20% juga-kah ? Jika iyyyaaa…………

Adduhh, hati, mengapa begitu membenci surga sih ???

-dns-

Late nite, 23 oct 05

with backsound Bila Waktu Tlah Berakhir-nya Opick..

mmh… jika sungguh-sungguh waktu telah berakhir???

Tuesday, October 18, 2005

Kasih Sayang No. 37

Saya memiliki kesulitan yang tidak biasa untuk perempuan pada umumnya. Kesulitan yang sedikit menghambat saat berinteraksi dengan rekan sekantor, tapi seringnya menyelamatkan saya untuk begitu banyak situasi. Percaya atau tidak, saya tidak suka berbelanja. Shopping. Deng dong.. Yup, berbelanja. Saya paling sulit menentukan pilihan saat belanja. Ciri-cirinya mudah, pada jam-jam awal saya akan mulai pusing, terlalu banyak pilihan, sedang saya hanya butuh satu, lalu tatapan saya mulai kabur, dan terakhir saya benar-benar butuh udara hangat sinar matahari dengan angin pelan yang meniup.

Jadi, biasanya strategi saya saat berbelanja adalah dengan dua kali datang ke toko tersebut. Tidak efisien memang, tapi efektif. Yah, begitulah menurut saya. Kedatangan pertama, saya melakukan survei. Saya tulis kebutuhan saya dan saya rinci apa yang saya inginkan untuk dibeli. Lihat-lihat beberapa keliling. Dan lalu pulang. Memikirkan dalam-dalam pilihan yang ada, mengurai untung ruginya, keinginan versus kesanggupan, dan akhirnya memutuskan. Pada kali kedua, saya langsung menuju pilihan saya dan menutup acara berbelanja super singkat tadi dengan menuju kasir.

’Aneh’, kalau kata rekan sekantor saya. ’Kamu perlu ikut kelas berbelanja’, kata yang lainnya. Tapi saya hanya meringis. Dan hal ini terjadi saat kami rekan satu departemen outing ke Bandung, menyusuri Factory-Factory Outlet di sepanjang jalan. Tema besarnya adalah berbelanja. Dan alhasil, belanjaan saya paling minim. Itu pun tidak ada untuk saya pribadi. Hanya beberapa helai baju untuk yang lain. ’Lho, des, katanya butuh beli sepatu? Di sini murah dan bagus lho, di Jakarta belum tentu dapat harga segini... ’ Saya hanya nyengir. Lebar. Masalahnya saya tidak bisa berpikir jika orang banyak berjubel dan barang-barang bertebaran.

Tapi baiklah, saya tidak ingin berbicara tentang style belanja saya lebih lanjut. Tapi masih ada kaitannya dengan belanja. Tentang tas Louis Vuitton. Tentang berlian. Tentang berdamai dengan hati. Tentang ahh.. suatu siang di bulan September.

Selepas makan siang, saya diajak dadakan oleh beberapa rekan kantor mencari kado untuk rekan satu departemen yang menikah minggu ini. Umumnya sih diberi uang mentah ya, tapi karena ingin terasa pribadi dan berhubung yang menikah adalah teman dekat, maka layaknya dicarikan barang yang sense personalnya jangka panjang. Kami melaju menuju Sogo – Plaza Indonesia. This is my first time – honestly.

Di Bogor belum begitu ramai dengan mal-mal besar dan pusat perbelanjaan mewah, tapi akan ramai sepertinya, mengingat Plaza Ekalokasari, Sarinah dan Bogor Trade Mall mulai berwujud. Lain dengan Depok, yang jeda sepuluh meter, sudah berdiri mall lagi, lihat saja ITC, Depok Town Square, lalu apalah itu yang pembangunannya bising sekali. Paling saya sempat melongok mal-mal mewah di KL, cuma melirik, melirik tidak akan membuat kepala saya sakit, saya tidak melihat label harganya dan saya pun tidak berniat membelinya. Hahaa…

Dan jadilah saya ke Sogo. Menanjak keatas setelah Avanza teman diparkir aman di basement. Saya melewati panggung utama yang biasanya digunakan syuting Citicard atau apalah acara jetset di MetroTv itu. Lalu menyusuri beberapa counter. Saya merasa seperti tidak di Indonesia. Lebih cocok di luar negeri. Entah saya yang terlalu ‘sederhana’ dan kurang membuka mata, atau memang benar ini tipikal mall mewah setaraf internasional.

Hati saya menggeleng keras, benar-benar jurang itu sedemikian dalam. Indonesia, sebuah negeri yang gemanya sangat memilukan hati. The have and the haven’t.

Beberapa counternya berkilauan, iyalah… Counter berlian gitu lo. Saling mengintip di balik kaca. ‘Itu tuh des, yang putih bundar, itu yang paling mahal..’

Dan ekor mata saya melirik perlahan, mencari label harga.

Wwhaattt, harganya delapan puluh juta !!! Seribu badai topan kalau kata Kapten Cook. Dan ada yang sakit jauh di lubuk hati saya. Tidak terbayang orang yang memakainya, saya pikir, tangannya pasti berat sekali. Dan pasti sering kali melambai-lambai menunjukkan cincin berliannya. Haha.. saya jadi teringat episode ceramah Aa Gym tentang ini.

Ya, sepertinya ingatan saya tahu ada cincin semahal itu, tapi rasanya itu tiak real, tidak mungkin ada di Indonesia, Indonesia sedang prihatin, BBM naik seratus persen. Teman saya nyeletuk, itu lho, sama persis yang dipunya artis ini. Mulut saya kaku, mendengar dan membaca sesuatu memang begitu berbeda dengan melihat sendiri secara nyata label harganya.

Saya teringat beberapa hari lalu, ada pameran berlian berjalan dari meja ke meja di kantor. Seorang teman berdagang beberapa berlian. Besar-besar dan ’ibu-ibu banget’ gayanya. Saya tidak menanyakan harganya. Tapi teman-teman kantor yang sudah berumur alias ibu-ibu asyik mengerubungi kilauan-kilauannya.

Kami beranjak melewati counter lain. Counter tas Louis Vuitton. Saya tak tahu apa hebatnya tas itu, selain international branded, apa tas itu tahan api, tahan gunting atau silet jika ada orang usil di kereta mau mencopet dompet kita misalnya. Sehari sebelumnya saya sempat terperangah, ada orang bawah, dept sales, membeli tas Louis Vuitton kecil yang Think Pad aja ga muat kali, seharga.. tarik napass.. tujuh koma delapan juta rupiah, sodara-sodara !!! Mendengarnya, saya tidak sempat lagi geleng-geleng, seperti dipaku, ada ya orang yang mengeluarkan begitu banyak uang demi gengsi atau apalah yang sama sekali tidak fungsional misalnya. Memandang begitu lekat pada bungkus, tidak isi. Baiklah, tegarlah des, ini Indonesia sayang !!!!

Teman yang lain cerita tentang satu merk yang saya tidak hapal namanya, yang sampai diperebutkan di Perancis dulu saat ia dan suami liburan kesana. Karena di Paris mementingkan kualitas dan produce limited, mereka hanya membolehkan satu orang membeli satu barang saja, controlnya ga main-main, mereka memasukkan nomor identitas ke dalam mesin mereka sebelum memproses pembelian. Dan disana banyak orang Indonesia yang rela menyewa joki untuk membeli barang itu dua sampai tiga. Dengan alasan yang silakan nilai sendiri, kalau di Indonesia harganya melambung sangat tinggi, di Paris harganya lebih murah.

Dan Juni kemarin saat Singapore Great Sale, delapan puluh persennya adalah orang Indonesia. That’s it, fact finally talk !!!!

Beginilah Indonesia, silakan berkenalan lebih dekat. Tapi jangan sebut namanya, terlalu sedih gemanya, rangkul saja, obati hatinya, karena ia sungguh sangat sakit…

Ada yang berderak. Entah dimana. Tapi nyerinya mengalir. Membuat kawah dihati.

Akhirnya kami membeli sehelai seprai dan lampu kamar untuk hadiah. Almost a million !! Saya hanya tertawa, entah sehalus apa seprai tadi. Atau seterang apa lampu tadi.

Des, des, be grown up...

Saat kerjaan saya selesai, saat malam beranjak perlahan.. Saya sengaja berlama-lama membereskan meja. Biarlah lewat kereta terakhir dari stasiun sudirman. Saya menuruni kantor dan menyibak udara malam dengan haru. Saya mesti berdamai dengan hati.

Menghalau angin menuju stasiun manggarai. Di mana begitu banyak jiwa lelah seharian bekerja keras. Demi anak, istri dan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Demi rupiah helai perhelai dihulurkan untuk menyambung napas satu persatu. Saya mesti berdamai dengan hati.

Kereta ekonomi. Terapi paling menyembuhkan untuk jiwa. Dimana saat tangan bersandar kuat, dan badan yang terlampau letih berpadu dengan lantangnya suara pengemis yang setia meminta meski malam bergulir. Atau anak kecil yang menyeret kaki menyapu lantai kereta mengharapkan upah. Atau gigihnya penjual minuman menarik dagangannya yang terasa berat. Mereka masih bekerja. Sedang saya dalam perjalanan pulang. Pengemis yang tengah beroperasi pun istilahnya sedang ’bekerja’. Ibu-ibu yang mengamen. Bapak-bapak penjual koran sore hari. Kereta hiruk pikuk. Penjual berbanding lurus penumpang. Meski malam ? Ya, meski telah larut. Karena lapar dan dahaga tidak bisa ditunda hingga besok pagi bukan ???

Saya berdiri. Tidak kebagian tempat duduk. Didepan saya bapak-bapak dengan begitu banyak gurat lelah diwajahnya. Tumben saya tidak ngomel-ngomel, tumben saya empati, biasanya saya berkeluh kesah tiada henti, memaki dalam hati pada laki-laki yang tidak gentle atau bersikap pura-pura begitu kelelahannya hingga pada akhirnya mereka akan menawarkan saya tempat duduk. Haha.. trik jaman kuliahan. Tapi saya hanya menatapi wajah-wajah terlelap yang dimakan beban hidup dihadapan saya.

Satu bintang berpendar indah di ujung langit. Sudahkah berdamai dengan hatimu, Des ?

Dan tiba-tiba saya teringat puisi ini. Aahh, des, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ? dan cinta yang manakah yang kau khianati ?

Kasih Sayang No. 37*

(Nur Fahmi Taufik Al-Shaa’b)

Gemintang mengerjap

Ada yang jatuh di sela-selanya,

Mungkin puisi cinta

Langit pun seperti tirai:

Menyibak perlahan-lahan; tampilkan

Rahasia mawar merah itu

Demikianlah malam

Menyampaikan rindu hidung

Pada kesturi

Maka cinta yang manakah

Yang mesti kukhianati?

*QS Ar rahmaan: 37