Saturday, November 25, 2006

Facial ? ;p

Ritz Carlton, pertengahan hari di bulan November, tahun 2005…

Dia akhir empat puluh tebakanku. Mmmh.... nope, pertengahan lima puluh tepatnya. Ya rasanya begitu, dibalik segala ”persenjataan perang”-nya mulai dari pelembab, bedak dan blush on serta gradasi warna sepatu yang match dengan tas dan busananya, dia layak menjadi nenek seseorang. Gerak-geriknya energik. Dan saya memperhatikannya. Ya iyalah, dia kan pembicara dan saya peserta. Sebuah conference yang kebetulan diadakan oleh kantor saya. Bertema Woman and Leadership.

Tapi berbeda dengan pembicara sebelumnya, yang semuanya adalah perempuan, baik itu direktur utama sebuah bank milik pemerintah yang terkemuka, pemilik perusahaan yang sedang berkembang pesat hingga salah seorang tokoh penggerak bangkitnya perfilman Indonesia, ibu satu ini tidak sedikit pun menyentuh tema kepemimpinan, karena memang beliau mendapat peran menjelaskan tentang hakikat perempuan. Dan beliau pun sibuk mempromosikan buku terbarunya. Yang kebetulan baru saja terbit. Saya sempat melihat buku terbarunya di Gramedia. Buku ekslusif yang harganya bersaing keras dengan Keown-nya anak Accounting. Isinya tidak lain, bagaimana menghadiri sebuah pesta, tata busana, tata krama hingga penggunaan sendok dan pisau serta tidak lupa cara berjalan dan bergaul. Whoooaa… buku ibu-ibu pejabat, waktu dulu saya menyimpulkannya demikian, atau ibu-ibu yang kebanyakan waktu dan uang yang begitu mementingkan keserasian busana dan pernak-pernik lainnya dibandingkan isi kepalanya. Oalahh desi, sentimen berat !!

Saya tersenyum simpul. Mencoba sedikit lebih realistis. Ada kok tipe ibu-ibu yang akan masuk di antrian pertama pembeli buku ekslusif tadi. Saya melirik modul sekilas, sekarang masuk bagian kepribadian perempuan. Hhhh… bukannya saya tidak antusias dengan ceramah-ceramahnya, tapi sebaliknya, saya tertarik sekali. Hanya saja saya tidak begitu nyaman dengan cara beliau membawakannya. Sehingga berkali-kali ekor mata saya hinggap di jam tangan atau melayang memperhatikan interior ball room Ritz yang baru dibangun ini atau sekedar reaksi orang-orang di sekitar saya.

Dan memacu pikiran saya agar tetap tertuju padanya dibutuhkan upaya cukup keras. Dan saat saya akhirnya berhasil menyimak ceramahnya, beliau sedang menyinggung tema mengenai kebersihan. Hmm, layak didengarkan. Beliau menekankan tentang pentingnya perawatan pakaian dan tubuh, mulai dari mengganti pakaian dari ujung kepala sampai ujung kaki dan pakaian terluar sampai pakaian terdalam sehari sekali, hingga teraturnya luluran, creambath, facial dan perawatan tubuh lainnya. Hihihi.. saya meringis pelan. Antara miris dengan geli.

Percayalah, saya baru berkenalan dengan salon akhir-akhir ini. Haha… benar kok, saya tidak bohong. Salon dalam artian sesungguhnya ya, bukan salon untuk potong rambut tok ya, tapi perawatan tubuh keseluruhan. Saat saya mampu menghasilkan uang sendiri yang setelah ditempatkan pada beberapa pos wajib masih bersisa. Saat saya berganti status dari mahasiswa menjadi karyawan. Saat saya mendapati kenyataan bahwa kecepatan membeli buku saya melebihi kecepatan membaca buku itu sendiri, akibat waktu luang yang mulai terpangkas. Haha.. betapa dilemanya hidup.

Tapi saya ingat perkenalan awal saya dulu dengan tempat yang bernama salon. Letaknya di deretan Margonda. Beberapa bulan yang lalu selesai menghadiri acara HUT FE. Tengah hari yang terik saat badan terasa tanpa penopang karena “dipaksa” bangun sedemikian pagi. Lalu teringat ucapan seorang teman kalau di salon bisa menghilangkan lelah dan penat, akhirnya saya singgah juga. Alasan yang terdengar sedikit konyol memang, tapi akhirnya saya berada di resepsionis, memelototi daftar jasa yang tersedia. Facial buah, facial ekstra.., facial mawar, etc etc.. lalu creambath dan kesekian puluh jenisnya, dan berlembar-lembar keterangan dan produk jasa lainnya. Wuihh… banyaknya. Dan pada akhirnya memutuskan ringan mungkin saya harus mencoba creambath dulu, saya berpapasan dengan adik kelas saya, masih tingkat dua. Ia sudah menyelesaikan facialnya. Dan berujar cepat bahwa facialnya untuk mengatasi masalah jerawatnya. Hihihi, saya tersenyum geli, saat seusianya saya bahkan tidak terpikir facial itu untuk apa. Saya menyelesaikan creambath dengan sedikit lega, dan sedikit lebih segar serta sedikit patah tulang, karena saya benar-benar menikmati ‘proses pemijatannya’. Hahaha…

Kali kedua, saya diajak mengunjungi salon yang berbeda, tapi masih salon muslimah. Yang pada akhirnya jadi salon favorit saya. Masih berlokasi di Margonda. Tapi dengan suasana yang lebih nyaman dan corak ornamen jawa kental yang membuat pelanggannya serasa putri keraton. Kali ini saya memilih facial. Dan untuk produk jasa ini saya terpaksa mengiyakan pendapat teman kantor saya yang bersikeras kalau perempuan itu harus tahan sakit. Ia berpendapat demikian karena proses siklus bulanannya dan melahirkan oleh perempuan pada umumnya. Tapi menurut saya, bahkan dalam rangka perawatan pun, perempuan harus bersakit-sakit ria, karena difacial itu sakit saudara-saudara. Saya tidak melihat apa yang mereka lakukan, karena saya berbaring sambil terpejam, tapi saya bisa merasakannya. Seperti ada aliran listrik yang disentuhkan pada wajah kita, lalu bunyi besi yang berderit-derit dan begitu memilukan, dan wajah kita ditarik-tarik dengan benda yang terasa seperti pencabut botol. Huaahh... saat itu dalam pikiran saya, mungkin ini yang pertama dan terakhir kalinya saya difacial, mengingat untuk menghilangkan komedo dan jerawat saja mesti berkali-kali minta tissue kering untuk mengusap daerah sekitar mata yang tiba-tiba basah. Dan setelahnya, saat saya menengok teman saya yang juga difacial, saya mendapati matanya juga sama sembabnya dengan mata saya. Hahaha...

Kembali ke bangunan dengan bentuk aneh yang sulit dikategorikan segi empat atau segi tiga yang kebetulan dinamai Ritz Carlton, dengan senyum lebar, menertawai episode lalu saya dan juga gaya ibu pembicara di depan yang menggambarkan seorang perempuan yang tidak rajin melakukan perawatan tubuh, pikiran saya seperti dilecut dengan beberapa pernyataan seperti perempuan itu harus cantik, harus menarik, menghargai dirinya agar dihargai orang lain dengan cara merawat tubuhnya, dan karena memang demikianlah hakikat perempuan.

Untuk beberapa jangka, saya terdiam mengiyakan, saya sepakat kita harus merawat tubuh kita – terlepas dari bagaimana pun bentuk perawataanya -- karena dengan begitu berarti kita mensyukuri nikmat Allah, menjaga amanah-Nya dan juga menghargai diri kita sehingga orang pun secara tidak langsung akan menghargai kita. Tapi selebihnya, mengingat konteks dan konsep buah pikirannya, hati saya menggeleng keras.

Pikiran saya segera terbang pada beberapa raut wajah yang begitu saya kenal. Wajah sederhana tanpa polesan make-up. Namun, saat tersenyum, seakan seluruh cahaya mentari tumpah ruah di wajahnya. Ia selalu tersenyum sangat tulus. Dan ketulusannya melekat jauh ke dalam hati. Ada lagi wajah polos sederhana lainya, tapi matanya begitu berkilau saat ia mendengarkan gundahmu, melerai setiap pahit ceritamu, dan ia pun menjelma menjadi bidadari tercantik yang hadir ke bumi karena ia menerimamu begitu apa adanya. Hhh....

Maka, dalam perjalanan pulang dalam taksi menuju Stasiun Sudirman, saya pun berseru dalam hati. Wahai perempuan dimana saja, mari kita berdoa bersama, semoga seseorang yang memilih kita untuk dijadikan pelipur laranya, pelepas gundahnya dan penenang gelisahnya bukan dari lembutnya kulit kita, halusnya wajah kita, lentiknya jari jemari kita, bukan hanya sekedar bungkus. Bukan karena sesuatu yang begitu rapuh dan mudah luruh. Begitu gampang hilang dan tersapu waktu seperti apa yang begitu jelas terpampang.

Semoga kita dipilih karena keimanan kita, buah pikiran kita, kehalusan kepribadian kita, kelembutan akhlak kita, dan kelapangan hati dan jiwa kita. Yang keseluruhan berpadu dalam sinaran yang memancar dari aura kita, saya yakin demikian. Karena itulah hakikat perempuan. Sebenarnya. Aah.. itulah doa terindah saya hari itu.