Tuesday, October 18, 2005

Kasih Sayang No. 37

Saya memiliki kesulitan yang tidak biasa untuk perempuan pada umumnya. Kesulitan yang sedikit menghambat saat berinteraksi dengan rekan sekantor, tapi seringnya menyelamatkan saya untuk begitu banyak situasi. Percaya atau tidak, saya tidak suka berbelanja. Shopping. Deng dong.. Yup, berbelanja. Saya paling sulit menentukan pilihan saat belanja. Ciri-cirinya mudah, pada jam-jam awal saya akan mulai pusing, terlalu banyak pilihan, sedang saya hanya butuh satu, lalu tatapan saya mulai kabur, dan terakhir saya benar-benar butuh udara hangat sinar matahari dengan angin pelan yang meniup.

Jadi, biasanya strategi saya saat berbelanja adalah dengan dua kali datang ke toko tersebut. Tidak efisien memang, tapi efektif. Yah, begitulah menurut saya. Kedatangan pertama, saya melakukan survei. Saya tulis kebutuhan saya dan saya rinci apa yang saya inginkan untuk dibeli. Lihat-lihat beberapa keliling. Dan lalu pulang. Memikirkan dalam-dalam pilihan yang ada, mengurai untung ruginya, keinginan versus kesanggupan, dan akhirnya memutuskan. Pada kali kedua, saya langsung menuju pilihan saya dan menutup acara berbelanja super singkat tadi dengan menuju kasir.

’Aneh’, kalau kata rekan sekantor saya. ’Kamu perlu ikut kelas berbelanja’, kata yang lainnya. Tapi saya hanya meringis. Dan hal ini terjadi saat kami rekan satu departemen outing ke Bandung, menyusuri Factory-Factory Outlet di sepanjang jalan. Tema besarnya adalah berbelanja. Dan alhasil, belanjaan saya paling minim. Itu pun tidak ada untuk saya pribadi. Hanya beberapa helai baju untuk yang lain. ’Lho, des, katanya butuh beli sepatu? Di sini murah dan bagus lho, di Jakarta belum tentu dapat harga segini... ’ Saya hanya nyengir. Lebar. Masalahnya saya tidak bisa berpikir jika orang banyak berjubel dan barang-barang bertebaran.

Tapi baiklah, saya tidak ingin berbicara tentang style belanja saya lebih lanjut. Tapi masih ada kaitannya dengan belanja. Tentang tas Louis Vuitton. Tentang berlian. Tentang berdamai dengan hati. Tentang ahh.. suatu siang di bulan September.

Selepas makan siang, saya diajak dadakan oleh beberapa rekan kantor mencari kado untuk rekan satu departemen yang menikah minggu ini. Umumnya sih diberi uang mentah ya, tapi karena ingin terasa pribadi dan berhubung yang menikah adalah teman dekat, maka layaknya dicarikan barang yang sense personalnya jangka panjang. Kami melaju menuju Sogo – Plaza Indonesia. This is my first time – honestly.

Di Bogor belum begitu ramai dengan mal-mal besar dan pusat perbelanjaan mewah, tapi akan ramai sepertinya, mengingat Plaza Ekalokasari, Sarinah dan Bogor Trade Mall mulai berwujud. Lain dengan Depok, yang jeda sepuluh meter, sudah berdiri mall lagi, lihat saja ITC, Depok Town Square, lalu apalah itu yang pembangunannya bising sekali. Paling saya sempat melongok mal-mal mewah di KL, cuma melirik, melirik tidak akan membuat kepala saya sakit, saya tidak melihat label harganya dan saya pun tidak berniat membelinya. Hahaa…

Dan jadilah saya ke Sogo. Menanjak keatas setelah Avanza teman diparkir aman di basement. Saya melewati panggung utama yang biasanya digunakan syuting Citicard atau apalah acara jetset di MetroTv itu. Lalu menyusuri beberapa counter. Saya merasa seperti tidak di Indonesia. Lebih cocok di luar negeri. Entah saya yang terlalu ‘sederhana’ dan kurang membuka mata, atau memang benar ini tipikal mall mewah setaraf internasional.

Hati saya menggeleng keras, benar-benar jurang itu sedemikian dalam. Indonesia, sebuah negeri yang gemanya sangat memilukan hati. The have and the haven’t.

Beberapa counternya berkilauan, iyalah… Counter berlian gitu lo. Saling mengintip di balik kaca. ‘Itu tuh des, yang putih bundar, itu yang paling mahal..’

Dan ekor mata saya melirik perlahan, mencari label harga.

Wwhaattt, harganya delapan puluh juta !!! Seribu badai topan kalau kata Kapten Cook. Dan ada yang sakit jauh di lubuk hati saya. Tidak terbayang orang yang memakainya, saya pikir, tangannya pasti berat sekali. Dan pasti sering kali melambai-lambai menunjukkan cincin berliannya. Haha.. saya jadi teringat episode ceramah Aa Gym tentang ini.

Ya, sepertinya ingatan saya tahu ada cincin semahal itu, tapi rasanya itu tiak real, tidak mungkin ada di Indonesia, Indonesia sedang prihatin, BBM naik seratus persen. Teman saya nyeletuk, itu lho, sama persis yang dipunya artis ini. Mulut saya kaku, mendengar dan membaca sesuatu memang begitu berbeda dengan melihat sendiri secara nyata label harganya.

Saya teringat beberapa hari lalu, ada pameran berlian berjalan dari meja ke meja di kantor. Seorang teman berdagang beberapa berlian. Besar-besar dan ’ibu-ibu banget’ gayanya. Saya tidak menanyakan harganya. Tapi teman-teman kantor yang sudah berumur alias ibu-ibu asyik mengerubungi kilauan-kilauannya.

Kami beranjak melewati counter lain. Counter tas Louis Vuitton. Saya tak tahu apa hebatnya tas itu, selain international branded, apa tas itu tahan api, tahan gunting atau silet jika ada orang usil di kereta mau mencopet dompet kita misalnya. Sehari sebelumnya saya sempat terperangah, ada orang bawah, dept sales, membeli tas Louis Vuitton kecil yang Think Pad aja ga muat kali, seharga.. tarik napass.. tujuh koma delapan juta rupiah, sodara-sodara !!! Mendengarnya, saya tidak sempat lagi geleng-geleng, seperti dipaku, ada ya orang yang mengeluarkan begitu banyak uang demi gengsi atau apalah yang sama sekali tidak fungsional misalnya. Memandang begitu lekat pada bungkus, tidak isi. Baiklah, tegarlah des, ini Indonesia sayang !!!!

Teman yang lain cerita tentang satu merk yang saya tidak hapal namanya, yang sampai diperebutkan di Perancis dulu saat ia dan suami liburan kesana. Karena di Paris mementingkan kualitas dan produce limited, mereka hanya membolehkan satu orang membeli satu barang saja, controlnya ga main-main, mereka memasukkan nomor identitas ke dalam mesin mereka sebelum memproses pembelian. Dan disana banyak orang Indonesia yang rela menyewa joki untuk membeli barang itu dua sampai tiga. Dengan alasan yang silakan nilai sendiri, kalau di Indonesia harganya melambung sangat tinggi, di Paris harganya lebih murah.

Dan Juni kemarin saat Singapore Great Sale, delapan puluh persennya adalah orang Indonesia. That’s it, fact finally talk !!!!

Beginilah Indonesia, silakan berkenalan lebih dekat. Tapi jangan sebut namanya, terlalu sedih gemanya, rangkul saja, obati hatinya, karena ia sungguh sangat sakit…

Ada yang berderak. Entah dimana. Tapi nyerinya mengalir. Membuat kawah dihati.

Akhirnya kami membeli sehelai seprai dan lampu kamar untuk hadiah. Almost a million !! Saya hanya tertawa, entah sehalus apa seprai tadi. Atau seterang apa lampu tadi.

Des, des, be grown up...

Saat kerjaan saya selesai, saat malam beranjak perlahan.. Saya sengaja berlama-lama membereskan meja. Biarlah lewat kereta terakhir dari stasiun sudirman. Saya menuruni kantor dan menyibak udara malam dengan haru. Saya mesti berdamai dengan hati.

Menghalau angin menuju stasiun manggarai. Di mana begitu banyak jiwa lelah seharian bekerja keras. Demi anak, istri dan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Demi rupiah helai perhelai dihulurkan untuk menyambung napas satu persatu. Saya mesti berdamai dengan hati.

Kereta ekonomi. Terapi paling menyembuhkan untuk jiwa. Dimana saat tangan bersandar kuat, dan badan yang terlampau letih berpadu dengan lantangnya suara pengemis yang setia meminta meski malam bergulir. Atau anak kecil yang menyeret kaki menyapu lantai kereta mengharapkan upah. Atau gigihnya penjual minuman menarik dagangannya yang terasa berat. Mereka masih bekerja. Sedang saya dalam perjalanan pulang. Pengemis yang tengah beroperasi pun istilahnya sedang ’bekerja’. Ibu-ibu yang mengamen. Bapak-bapak penjual koran sore hari. Kereta hiruk pikuk. Penjual berbanding lurus penumpang. Meski malam ? Ya, meski telah larut. Karena lapar dan dahaga tidak bisa ditunda hingga besok pagi bukan ???

Saya berdiri. Tidak kebagian tempat duduk. Didepan saya bapak-bapak dengan begitu banyak gurat lelah diwajahnya. Tumben saya tidak ngomel-ngomel, tumben saya empati, biasanya saya berkeluh kesah tiada henti, memaki dalam hati pada laki-laki yang tidak gentle atau bersikap pura-pura begitu kelelahannya hingga pada akhirnya mereka akan menawarkan saya tempat duduk. Haha.. trik jaman kuliahan. Tapi saya hanya menatapi wajah-wajah terlelap yang dimakan beban hidup dihadapan saya.

Satu bintang berpendar indah di ujung langit. Sudahkah berdamai dengan hatimu, Des ?

Dan tiba-tiba saya teringat puisi ini. Aahh, des, nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ? dan cinta yang manakah yang kau khianati ?

Kasih Sayang No. 37*

(Nur Fahmi Taufik Al-Shaa’b)

Gemintang mengerjap

Ada yang jatuh di sela-selanya,

Mungkin puisi cinta

Langit pun seperti tirai:

Menyibak perlahan-lahan; tampilkan

Rahasia mawar merah itu

Demikianlah malam

Menyampaikan rindu hidung

Pada kesturi

Maka cinta yang manakah

Yang mesti kukhianati?

*QS Ar rahmaan: 37