Thursday, May 08, 2008

Barakallah ya...

Bismillahirrohmanirrohim…

Di acara rekruitmen bank yang paling dinantikan tiap tahun.
”Ooh, udah nikah ya... Aku belum Des, nunggu dapat kerjaan tetap dulu, pacarku sih udah tetap kerjanya, tapi kan aku belum. Biar penghasilan keluarganya mantap nih. Makanya doain ya. Biar keterima nih.” Seloroh gadis teman SMU ku dulu. Pekerjaan ya, hhmm...

Ngobrol siang-siang dengan majalah terbuka dan hembusan sepoi-sepoi.
”Gak Des, belum euy, ini masih hunting rumah, setelah rumahnya udah pasti, baru mulai serius nyusun nikahan. Ada rekomendasi nda? ”. Ujar teman kuliah saya. Hhhm.. rumah ya.

Sambil memegang dua undangan, saya menceritakan dua kisah diatas itu semuanya saat kami sedang menikmati air mancur di FEUI -- Duduk di taman. Langit begitu senja. Untunglah Safwa ada dipangkuan saya. Jika tidak nanti timbul gosip lagi ada mahasiswi berjilbab pacaran depan taman. Halah.. serasa tampang masih mahasiswi aja hehe.. -- Suami saya berujar, ”Semoga dilapangkan hati orang-orang yang akan menikah itu..” Hhhmm.. amiin...

Saya jadi teringat dulu saat menikah. Saya sudah dua tahun kerja di sebuah perusahaan. Karyawan tetap. Tunjangan kesehatan dan keuarga lengkap. Tapi sejak awal menikah pun saya sudah mulai rewel ingin keluar kerjaan. Approval dari suami sih langsung sekejap. Tapi approval dari manager baru setahun kemudian terpenuhi. Lebih karena moral hazard sih, transfer kerjaan harus smooth samapi ke centralnya di Kuala Lumpur. Sedang suami baru saja menyelesaikan studi S2-nya. Ia sudah terikat kontrak lima tahun balik ke kampus sebagai dosen karena beasiswanya. Tapi saat itu satu mata kuliah pun untuk diajar belum didapatkan. Sekarang saya ibu rumah tangga. Suami masih di kampus. Mengajar. Tapi dalam setahun ini, sudah dua kali menolak ajakan temannya untuk jalan-jalan keliling eropa saat pulang dari Mexico karena terlalu merindukan anak istrinya yang sudah ditinggal hampir dua minggu. Perjalanan selanjutnya bakal diiiyakan ajakannya, karena ada juga tugas yang harus dikerjakan di Belanda. Maka keseluruhan suami saya akan melakukan lima kali perjalanan dengan lebih dari 26 jam minus transit (satu kali perjalanannya) dalam setahun ini.

Waktu saya menikah dulu, boro-boro mikirin mau rumah dimana, mempelai laki-lakinya saja baru pulang dari sekolahnya di Aussie H-3 minggu. Hehhe.. Satu minggu kecapean. Satu minggu memperkenalkan diri dengan keluarga – berhubung baru lewat foto saja sebelumnya--. Satu minggu menjamu keluarga besar yang datang ke Bogor. Jangankan ngomongin rumah, ngomongin tetek bengek nikah aja banyak yang dilewat hehehe... Lalu, kami tinggal seminggu di rumah orangtua. Setelahnya ngekost satu kamar di Setiabudi. Iya, satu kamar di belakang kantor saya. Hanya ada tempat tidur dan lemari – yang itu pun perabot dari kost-annya--. Kamar mandi di dalam kamar, yang seingat saya jika kamar mandi dibuka, yang tidur di tempat tidur bisa merasakan percik-percik air basahannya deh. Hhaha...
Sebulan setelahnya baru ngontrak di Pramuka. Tapi sekarang saya sedang mensyukuri tiap bata yang menyusun rumah kami. Dulu kalau hitungan logis, tak terpikir akan membangun rumah sendiri dalam usia pernikahan sesingkat ini. Saya dan suami bukan keluarga orang kaya. Penghasilan kami pun ala kadarnya. Tapi memang hanya Allah-lah pemilik skenario terbaik.

Terakhir, tulisan ini tidak bermaksud lain kecuali ditulis dengan penuh doa bagi orang-orang yang berlapang hati untuk menyempurnakan agamanya. Karena menikah adalah ibadah. Dan semoga selalu ikhlas. Sehingga bisa melihat keindahan dalam setiap kepingannya.

Ps: Barokallah untuk Ai&Adi dan Didith&Dika