Tuesday, May 06, 2008

Please enjoy reading my old file

18 April 2008. Setelah mengajar di lab akun. Menunggu suami tersayang. Dengan backsound lagu Rayuan Pulau Kelapa (halahh J) dari komputer lab. Ditingkahi suara indah percik hujan diluar sana. Hanya ingin berbagi. Please enjoy reading, file lama saya, tahun 2005, sepulang kantor.

Bismillah…..

Kereta api pakuan, selepas stasiun depok lama.…

Jam pulang kerja sore, kereta memang selalu padat. Puncaknya kereta pakuan jam setengah enam sore. Jangan terlalu banyak berharap bisa duduk di kursi jika datang ke stasiun lewat dari jam lima seperempat. Atau berharap bisa memeras sedikit letih dengan duduk beralas koran pun baru bisa setelah hampir separuh penumpangnya turun di stasiun depok lama. Karena alasan itulah, biasanya jika hari-hari normal workload, saya berusaha keras untuk naik kereta jam lima. Aturannya bebas tempat duduk, sedikit berebut tapi biasanya semua orang dapat kursi, hanya satu dua yang berdiri.

Seperti hari ini. Saya duduk dengan nyamannya. Bicara dengan bapak-bapak yang sudah sepuh disebelah saya. Tersenyum lebar sembari mengangguk dan sesekali mengomentari. Dan pikiran saya melayang, jika saya seusianya, saya pikir yang saya inginkan pun hanya didengarkan, mengenang dan berbicara. Tadinya saya pikir bapak ini terkena post syndrom mungkin ya. Dengan usia yang membuat hampir seluruh rambut di kepalanya memutih, usia yang sudah lepas dari usia pensiun, beliau masih giat bekerja. Anggota kehormatan di jajaran auditor sebuah perusahaan karena jenjang karir gemilangnya yang lama di dunia tersebut. Tapi ternyata bukan itu, bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Istrinya pun bekerja, ceritanya. Sedang mereka tidak dikaruniai putra. Jadi, lebih bermakna jika waktu yang tersisa dikontribusikan untuk yang lain, ceritanya singkat. Senyum bapak ini luruh. Masih tersisa gurat-gura pilu disana. Tapi senyumnya menulari saya. Saya tersenyum. Luruh. Dengan doa yang tumpah seketika untuk kebahagiaannya. Apapun itu, toh Allah pembuat skenario yang terindah.

Lepas stasiun depok lama, kereta mulai hening. Dan dinginnya AC – yang katanya cuma punya dua tombol, hidup atau mati tanpa ada setting dingin, lebih dingin, atau sangat dingin – mulai menusuk. Semua orang mulai merapatkan jaketnya. Sedang diluar hujan mulai berisik. Bapak tadi sudah turun dengan meninggalkan bekas di hati saya. Saya tidak tahu namanya, bayangkan. Tapi kami berbagi sesuatu. Allah Maha Mengetahui kapasitas kita masing-masing, yakinlah, ujar saya berulang-ulang. Biar menghujam jauh hingga lubuk hati.

Saya menarik perlahan jaket saya. Menghisap hangatnya. Mendengar sayup-sayup dan akhirnya melihat mereka. Saya – entah mengapa – jadi terbiasa mengingatnya, menghapal tiap personilnya, jenis-jenis lagu yang biasa mereka dendangkan hingga gaya pembuka dan penutupnya. Yup, mereka adalah pengamen. Sekelompok laki-laki usia pertengahan yang berdandan seadanya tapi nyatanya cukup berhasil menghibur. Mmh.. mungkin karena alasan terakhir inilah saya jadi mengingatnya.

Mereka mulai berdendang di gerbong yang saya tumpangi. Sedikit beradu mungkin jika jendela terbuka dengan deburan hujan di luar sana. Beberapa orang yang tertidur mulai menggeliat. Merasa terusik. Tapi saya tidak. Saya senang. Pertama kali saya melihatnya saat di kereta ekonomi larut malam saat saya pulang kantor. Kebetulan kereta kami mogok di tengah sawah dengan hujan yang semakin deras. Sedang kereta saat itu padat sekali. Mungkin karena kereta sebelumnya dibatalkan karena ada pohon tumbang yang akhirnya membuat kereta berjalan satu jalur. Hal luar biasa kah ? nope, kasus biasa jika hujan, dan orang-orang ini – termasuk saya mungkin --- sudah sangat pasrah hingga mendekati apatis. Dan mereka bernyanyi hampir sepuluh lagu saya hitung. Lebih karena mereka menikmati menghibur dan mengisi waktu hingga kereta berjalan lagi sedang mereka tidak bisa berpindah gerbong saking padatnya penumpang, bukan karena ingin upah yang lebih banyak dari para penumpang. Subhanallah kan..

Saat ini pun sepertinya saya dejavu, kereta pakuan kami pun mogok, menunggu sinyal dari stasiun depan atau semacamnya, itupun hanya menebak-nebak. Karena penumpang dibiarkan menunggu tanpa alasan apalagi kepastian. Tapi yah, sudah biasa sekali dan tingkatannya kini sudah sampai menikmati tidak lagi mengeluh. Dan saya menutup buku yang sedang saya baca dan menikmati mereka bernyanyi. Kalau di atas kertas, mungkin suara mereka sangat sumbang sekali. Tapi bernyanyi saya pikir bukan hanya soal suara dan pendengaran, tapi juga tentang suasana hati yang tercipta, tentang perasaan yang dibagi, tentang batas-batas yang ingin dilewati, tentang kemelut yang ingin ditaklukan.. Lho, kok bisa ?? Lucu memang, tapi sejujurnya itu yang saya rasakan. Dan kini mereka pun melakukan hal yang sama. Mereka tidak pelit menyanyi satu dua. Mereka menyanyi banyak sekali. Mungkin karena gerbong yang saya tempati gerbong paling ujung dan mereka sudah melewati bernyanyi di gerbong-gerbong sebelumnya. Mungkin mereka juga ingin membunuh rasa bosan menunggu kereta yang tidak juga bergerak. Apapun alasan pastinya, akhirnya penumpang gerbong ini mulai cerah karena alunan lagu mereka. Subhanallah ya pekerjaan sesederhana seperti mengamen itu. Jika mampu menghibur orang lain dan efeknya balik ke diri kita sendiri, membahagiakan hati karena membahagiakan orang lain. Bukankah itu indah ?

Akhirnya kereta kami mulai bergerak, perlahan. Saya melirik jam tangan saya, sudah hampir satu jam. Duh Gusti, limpahkan kesabaran sebanyak Engkau melimpahkan titik-titik air di balik jendela ini, harap saya. Mereka istirahat bernyanyi, dan mulai mengobrol. Saya mendengarnya. Lelucon-lelucon hangat episode persahabatan
.