Friday, January 13, 2006

Perasaan saya tentang Novel ”I don’t know how she does it” by Allison Pearson

From : Kate Reddy, Wrothly, Yorkshire

To : Debra Richardson

Debs sayang, bagaimana kabarmu?

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Kau tahu aku selalu mengatakan ingin bersama anak-anakku. Oke, aku benar-benar ingin bersama anak-anakku. Kadang-kadang, kalau pulang terlambat untuk mengantar Emily tidur, aku menghampiri keranjang cucian dan Menghirup Bau Pakaian Mereka. Aku begitu kehilangan mereka. Aku belum pernah mengatakan ini pada siapa pun. Tapi begitu aku bersama mereka, seperti sekarang ini, kebutuhan mereka jadi seperti tak ada habisnya. Rasanya seperti hubungan cinta yang dijejalkan ke dalam satu akhir minggu yang panjang – hasrat, ciuman, air mata, aku sayang padamu, jangan tinggalkan aku, aku mau minum, kau lebih sayang dia daripada aku, bawa aku ke ranjangmu, rambutmu bagus, peluk aku, aku benci padamu.

Capek dan ngeri dan ingin buru-buru kembali kerja supaya bisa istirahat. Ibu macam apa yang takut pada anak-anaknya sendiri ?

Salam dari Wrothly,

K8 xxxxx

Saya pertama kali melihatnya di toko buku Gunung Agung. Niatnya sih sekedar membeli DVD Akal untuk adik saya. Dan berwanti-wanti dalam hati untuk tidak membeli novel lagi. Dengan tanda seru dan garis bawah tiga rangkap !! Tapi saya tidak bisa menahan diri untuk sekedar melewati rak novel. Saya pikir, ah kan cuma lewat saja. Melirik tidak mengindikasikan akan membeli bukan ? Dan ya, saya pun melewatinya. Melenggang perlahan. Berkata dalam hati, cukup sudah belanja buku. Minggu kemarin kamu baru saja menghabiskan budget buku untuk tiga bulan mendatang. Jangan boros. Dan saya mengangguk berkali-kali. Ya. Ya. Ya. Jikalau saya menemukan buku bagus, berati tunggu empat bulan lagi. Oke. Berdamai dengan hati.

Dan lalu saya menemukannya. Di baris keempat. Warna covernya ramai, khas chiklit. Heyy, ini chiklit. Bayangkan, saya bahkan belum pernah tertarik pada chiklit sebelumnya. Saya pikir chiklit adalah bacaan yang terlalu ringan dan saking ringannya seperti melayang di udara, tidak berbekas bacanya. Huh !! Tapi rasanya rumusan tadi tidak berlaku. Saya meraihnya. Begitu saja. Membaca selintas judulnya : ”I don’t know how she does it ” yang diterjemahkan ”Sibuk Berat ”. Lalu membaca cover belakangnya.

”Kate Reddy, seorang manager investasi.............“

Huahh, mungkin saya langsung jatuh cinta pada buku ini gara-gara kata investasi. Terus terang saya rindu sekali bahasan investasi. Saya menekuninya saat kuliah. Felt like this topic is my blood. Tapi lalu mengikisnya perlahan karena bidang pekerjaan saya sekarang jauh sekali dari lingkupan investasi L.

”..............., ibu dua anak. Hidupnya diperhitungkan hingga ke menitnya, dan kepalanya berisi jutaan hal yang harus diingat. Presentasi, konser Natal di sekolah, telekonferensi dengan klien, membatalkan janji spa, mengecek indeks Dow Jones. ..... Dengan begitu banyak bola yang melayang di udara, cepat atau lambat salah satunya pasti jatuh juga. ”

Oke, ---dalam hati saya sok menyimpulkan---, jadi tokoh utamanya seorang ibu dua anak yang juga manager investasi yang super sibuk. Dan dia membagi – entah jika memang ada yang bisa dibagi – antara rumah dan kantornya. Baiklah, topik yang sensitif.

Di kantor saya, topik ini seperti gigitan nyamuk, kau tak bisa menikmatinya jika tidak menggaruknya. Bolehlah kantor saya mendapat award ”the best company for working mother”, tapi seorang perempuan adalah seorang ibu, bahkan sebelum dia menjadi karyawan, saat dia dilahirkan ke dunia pun dia sudah berpredikat seorang calon ibu. Dia tidak menikmati penuh pekerjaannya sebenarnya, dia hanya membagi perasaanya menjadi dua dan diharapkan pengorbanan itu sudah cukup. Ah, betapa sok tahunya saya, kan saya belum menjadi seorang ibu J.

Saya masih menggigiti bibir, saat melenggang keluar Gunung Agung tanpa buku itu. Padahal saya sudah hampir menghabiskan bab satu tanpa keluhan satu pun – bayangkan, saya yang selalu mengeluh setiap saat kali ini tidak mengeluh -- dan dengan berat hati meletakkannya kembali. Ini gara-gara saya beli buku ”Jika Einsten jadi Koki”, ”Growth Everyday”-nya Dottie siapa itu, terus delapan buku lainnya yang saya beli saat saya ’kalap’ minggu kemarin. Disiplin desi, disiplin, ujar saya berkali-kali.

Oke, baiklah, jika saya tidak boleh membelinya mengingat integritas saya dan janji bodoh untuk menepati pada diri sendiri – hikks. Kita kan bisa menyewanya. Ide bagus ( sungguh ? ). Maka keesokan harinya – yang kebetulan masih libur lebaran --, saya pergi ke Gerai Buku. Tempat penyewaan buku yang punya konsep bagus mulai dari tempat yang luas dan bersih, sofa-sofa empuk, buku-buku rapih yang bersampul jali, musik yang easy listening, hingga hari peminjaman yang cuma satu hari serta denda yang ekstra ketat. Konsep yang sama juga diterapkan oleh BUBU yang berlokasi di Margonda – UI – tapi dengan ukuran yang lebih kecil dan tingkat kenyaman tempat beberapa derajat lebih rendah.

Buku ini lumayan tebal – 468 halaman. Sebenarnya saya bisa membacanya habis dalam empat jam non stop. Tapi ternyata saya menghabiskannya dalam waktu enam hari – untung saya menyewa enam buku di Gerai Buku, pemborosan sejati karena tidak dibaca, kalau tidak bisa dibilang tindakan yang bodoh -- hikks. Karena setiap satu halaman, saya hanya harus berpikir sebentar dan lalu tertawa miris. Terlalu penuh kepala saya jika saya memaksa membaca keseluruhan buku tanpa mencerna dan mengunyahnya perlahan-lahan hingga saya menemukan inti sarinya. Karena itulah dibutuhkan waktu untuk sehari membaca penuh dan tertawa seminggu setelahnya.

Betapa miripnya apa yang dituliskan Allison Pearson dengan apa yang saya jalani setiap hari atau working mother lainnya. Draft untuk telecon nanti siang, review super singkat dengan bos besar yang tidak bisa terima hal lain kecuali kabar baik, bahan untuk meeting dengan cross team mate, dan kekacaubalauan lainnya yang sering terjadi di kantor. Atau telepon dini hari saat team mate menelepon mengatakan kondisi darurat di customer. Dan mengharuskan saya membuka laptop saya dan bicara dengan orang-orang Austria mengenai satu license keys yang harus selesai saat matahari terbit di negara saya. Tak terbayangkan jika saya punya suami nanti, apakah dia akan mengizinkan saya berada dalam ’kehidupan nyata’ kalau tidak dibilang ’kegilaan yang konsisten’. Haha... Belum lagi ditambah dengan aktivitas sebagai ibu yang tidak tergantikan. Wwoow.. .. i don’t know how she does it !! And i don’t know how you all do it, moms !!

Saya suka membaca novel ini karena seperti membaca bagian hidup seseorang yang begitu dekat. Seperti membaca buku harian seseorang dan merasa bersalah karena meneruskannya hingga lembar terakhir. Alurnya yang super cepat, naik turun, konflik-konfliknya yang menyedot tabungan emosi saya untuk tertawa, miris, jijik dan ber-mellow ria. Semuanya menakjubkan. Bahkan hingga epilognya yang menutup kisah ini dengan cukup bijak – yah setidaknya begitulah menurut saya. Ia memaparkan secara luwes apa yang mendorong seorang ibu bekerja, mulai dari materi yang lebih untuk memberikan seluruh fasilitas hidup terbaik bagi anak dan keluarga hingga materi lagi dan materi lagi. Hahaha…

Saya jadi teringat dulu saat masa sekolah, setiap pulang latihan Taekwondo, saya selalu melewati Yamaha Music tempat les piano. Saya hanya bisa memandangnya dari balik kaca. Seluruh piano dan alat musik lainnya yang begitu tampak mewah. Dan berpikir, mungkin suatu hari nanti, anak cucu saya harus dengan mudah bisa mengikuti seluruh les yang dia mau. Apapun itu. Hhmm.. sepertinya saya begitu mudahnya memahami Kate Reddy.

Selain masalah double occupation – as a mother and full time employee – dan perkembangan terbaru pasar saham dunia serta tak lupa Alan Greenspans-nya, Allison Pearson pun menyinggung diskriminasi gender di perusahaan, peran laki-laki – sebagai suami dan ayah -- dalam sebuah keluarga, hubungan mertua-menantu, sexual harrasment yang ‘terkesan’ wajar dan akhir yang manis dari persengkokolan para wanita – haha.. saya suka sekali bagian ini :p

Jeda lunch break, saya sempatkan untuk mencari informasi mengenai Allison Pearson di Google. Ternyata buku ini mendapatkan award pada tahun 2003 untuk beberapa kategori – saya tidak ingat detailnya, mungkin Critic Book of the Year-nya UK etc. Awalnya adalah tulisan lepas di Daily Telegraph-nya Inggris dan setelah itu dibukukan. Saya tidak meneruskan pencarian informasi mengenai background Mrs Pearson. Tapi saya meyakini jika ia pernah menjadi seorang manager investasi karena menggambarkan alur yang begitu cerdas dan tepat, dan jika ternyata tidak, berarti ia penulis yang saya cintai kedua setelah Mba Imun J.

Untuk buku ini, meski Amazon.com memberinya empat jempol dari lima yang ada, maka saya memberinya satu hati saya dan teriakan : Heyy guys, buku ini sangat layak dibaca, direnungi dan ditertawakan – itu harus, karena selera humor seringnya memudahkan seesorang bertahan di sebuah dunia yang berputar. Terus berputar. Dan berputar.

Maka sore ini, saat saya menggadaikan integritas saya dan berjanji inilah hal terakhir yang tidak saya tepati, saya menelepon inibuku.com dan menambahkan satu buku dalam keranjang belanja saya sambil mengitung sisa hari hingga gajian bulan ini.

”.... ya, mba, ……judul bahasa indonesianya, Sibuk Berat.. benar… Allison Pearson, ……Oke, .. lantai 32 ya, langsung hubungi nomer saya.... cash on delivery, baiklah.. terima kasih ..”

Hhh, ada yang membuncah seketika, haru dan penghargaan…

Salam hormat saya untuk seluruh ibu di dunia. Betapa kalian begitu sangat hebatnya !!!