Friday, January 13, 2006

Ulasan Novel Negara Kelima-nya ES Ito

“Ibu, Aku Ingin Mengubah Bintang.....“

Hhhh... indah sekali. Sesederhana itu. Dan saya jatuh cinta. Seketika.

Haha.. saya tidak sedang menulis tentang seseorang. Tapi tentang sesuatu. Sebuah buku. Mmh.. sebuah novel tepatnya. Seorang teman merekomendasikannya awal Desember kemarin. Dan saya menemukannya beberapa hari yang lalu. Tadinya saya sempat hopeless. Wong, saya browse di toko buku online langganan saya aja – yang super update itu -- gak ketemu. Eh, ternyata saya menemukannya secara tidak sengaja pas lunch break jum’at siang di Gramedia, Plangi. Yee, itu kan toko buku besar, kenapa gak dari kemarin aja ke sana, haha.. iya, soalnya ga sempat. Lagipula saya pikir, sepertinya tidak mugkin ada di Gramedia kalau di toko buku onlinenya aja nihil. Yaah, ternyata saya salah. Dan akhirnya saya mencatat rekor belanja buku tercepat. Pffiuhh...

Saya menemukannya di deretan buku-buku baru. Agak tersembunyi. Yah, pertama memang karena covernya gak eye catching – hitam suram dengan guratan-guratan biru kelam. Terus judulnya juga gak komersil : Negara Kelima. Terakhir, nama pengarangnya juga ga menjual : ES Ito. Hehe.. dasar desi, komentator sejati. Tapi toh saya tidak sempat berpikir dua kali, tidak sempat intip-intip isi novelnya (iyalah, kan diplastikin), tidak sempat pilih-pilih cetakan yang lebih bagus, segera novel itu saya bawa lari ke Kassa. Pertama karena hp saya berdering terus dengan suara galak plus ancaman teman kantor saya diujung sana kalau gak keluar Gramedia sekarang juga ditinggal pulang ke kantor – hiyyy galak deh, maklum, hampir lewat jam satu. Kedua, dan yang paling penting, karena saya mengenal pengarangnya.

’ES Ito, lahir pada tahun seribu sembilan ratus delapan puluh satu. Ibunya seorang petani, bapaknya seorang pedagang.’

Yupp, hanya itu saja keterangan tentang penulis. Letaknya di halaman terakhir. Dia ingin menyembunyikan identitasnya. Dan saya akan menghargainya dengan tidak menyebutkan secara eksplisit namanya. Tapi dia senior saya di kampus. Salah seorang aktivis kampus. Dulu, saya biasa membaca guratan-guratan pikirannya di mading BOE (Badan Otonom Economica FEUI) dengan pegal. Lho, kok pegal? hehe.. kan bacanya sambil berdiri. Dan tulisannya bisa berlembar-lembar panjangnya. Sarat akan semangat, gelisah dan harapan akan sebuah perubahan. Penuh realita.

Hhm.. tadinya saya berpikir jangan-jangan saya akan menemukan realita juga di novel ini. Bukan jenis tulisan yang akan saya pilih saat week end. Saya lebih menyukai negeri-negeri dongeng pada sebuah novel. Tentang mimpi dan cita-cita. Yah, tipikal LOTR, Harry Potter atau novel-novel indah yang sarat akan rasa-nya FLP. Hahha.. karena alasan sederhana, kita terbiasa melihat realita di sekitar kita. Di kereta api. Di tivi. Di kampus. Di kantor. Di jalanan. Dan bisa jadi pikiran kita akan terlampau penat. Sedang kita harus belajar untuk bermimpi. Tentang sesuatu yang lebih baik. Sesuatu yang lebih indah. Yah, begitulah...

Tapi toh, saya justru membacanya saat libur kompensasi tahun baru. Dalam semalam. Kalimat pembukanya – seperti yang saya tulis diatas – sangat indah. Mungkin karena mengandung unsur kata ’Ibu’. Sedang menurut saya, ’Ibu’ adalah salah satu kata terindah yang tercipta. Hhh...

By the way, novel ini unik. Genre yang berbeda dari yang biasa saya baca. Berarti bukan tipe melow dong? Hehe.. yupp, bukan tipe yang menyayat-nyayat perasaan saya. Saya tidak merasa terlibat secara emosional dengan alur dan para pelakunya. Saya juga tidak merasa terjun dan menyelami perasaan tiap tokohnya. Saya merasa seperti orang lain diluar lingkaran besarnya. Menatapi setiap putaran lewat kaca jendelanya. Alurnya mengalir. Lancar. Teratur. Dan bisa ditebak endingnya – itu menurut saya. Tapi tidak demikian halnya dengan komentar Bapak Maman S. Mahayana yang dosen FIB UI itu. Beliau memuji novel ini yang katanya menjanjikan ketegangan yang tiada habis, mengalir deras, berkelok-kelok, penuh kejutan, spekulatif, penuh intrik, dan narasinya yang tak terduga.

Meski demikian, ide ceritanya kreatif. Sangat bahkan. Dan saya menyukai setiap patahan konsep ceritanya. Meski dimulai dengan kasus pembunuhan. Tapi saya melihat sesuatu yang berbeda. Tentunya karena settingnya berbeda dengan novel yang biasa saya baca. Rasanya lucu membaca Polda Metro Jaya versus Reserse Kriminal. Karena saya biasa mendapati Kepolisian New York, misalnya, atau setting New Orleans di novel-novelnya Sidney Sheldon, Agatha Christie, atau novel-novel sejenis. Hehe.. gaya bener desi. Tapi jujur, novel ini membumi sekali. Seperti yang saya duga sebelumnya. Penuh realita. Tapi juga penuh mimpi dan cita-cita. Nah lho, bingung kan? Tapi ES Ito, menurut saya, cukup cerdas mengawinkan antara keduanya, mimpi dan realitas.

Baiklah, meski saya malas menceritakan kisahnya, ada baiknya juga membuat tergiur dengan beberapa potong episode yang mungkin akan menambah rasa penasaran lebih lanjut. Pucuk ceritanya tentang sebuah benda. Bernama Serat Ilmu. Selintas mirip idenya cincin di Lord of The Ring atau Lukisan Monalisanya Da Vinci Code ya. Tapi cuma selintas kok, selebihnya bertolak belakang. Jauh lebih luas ruang lingkupnya. Dan rentang waktunya dari masa Gunung Krakatau meletus, melewati Sultan Iskandar Agung, hingga Sjafruddin Prawiranegara dan generasi terancam hilang anak muda sekarang. Juga tentang zaman Mpu Gandring hingga Museum Nasional yang minim perawatan itu. Lha, des, jadi ini novel sejarah ? Mmh.. bolehlah, karena setelah membacanya saya jadi tahu Tambo-nya suku Minang. Tahu fiosofis matrilineal-nya Padang. Tahu sejarahnya Minang. Lha, kok Padang semua ? Hehe.. iyya, teman saya bilang novel ini narsis Padang sekali. Yah, tapi bolehlah, wong suka-suka novelisnya lah. Haha.. Mmh, tapi novel ini juga diselingi episode roman yang saya pikir kurang konflik. Atau jikalau ada, kurang dipertajam konfliknya. Sehingga ruang hati saya yang bernama ruang ’ konflik’ minus drastis.

Novel ini juga bicara banyak tentang dunia remaja elite yang penuh skandal pergaulan bebas. Dan mmh.. juga bicara tentang dunia bebas di luar sana. Tentang sifat-sifat mendasar manusia, tentang egoisme, tentang ketamakan, tentang idealisme, tentang rasa bangga akan sebuah identitas, tentang semangat, tentang perjuangan, tentang jalan panjang, dan juga tentang banyak kebaikan. Sebuah novel yang humanis. Meski di beberapa sisi ada hal-hal yang ditolak logika saya, tapi ini murni kecenderungan seseorang terhadap sesuatu. Namun secara keseluruhan, novel ini layak dibaca. Dan saya memberikan satu bintang untuknya. Hanya satu. Karena saya hanya punya satu bintang untuk merasakan – hanya merasakan lho, saya nda pantas lah menilai, hanya merasakan tok, sebagai penikmat novel sejati -- novel genre ini.

Namun, terlepas dari betapa cintanya saya pada ide ceritanya, saya yakin ES Ito memiliki berjuta gelisah dan harapan akan sebuah perubahan yang sanggup ia tuangkan dalam novel-novel berikutnya. Yang mungkin di novel selanjutnya, ia akan mengenalkan saya pada pelakunya dan mendorong saya terjun untuk setiap alurnya. Tidak membiarkan saya berdiri dibalik kaca menatapi semuanya bergulir seperti dalam novel ini.

Oh ya, ada satu hal yang membuat saya terharu biru, yaitu saat membaca satu bait bab akhir yang redaksionalnya seingat saya berbunyi : “Mahasiswa adalah kegelisahan. Dan derapnya adalah pergerakan..“ juga salah satu kalimat pelaku utama yang kembali seingat saya berbunyi : “Anak muda cerdas mana di Indonesia ini yang tidak menginginkan revolusi. Bangsa ini sudah rusak.“ Aaahh...

Seketika ada yang berderak jauh di lubuk hati saya. Sebuah perubahan. Dan sebuah proses. Dan diantara keduanya ada rentang berliku yang berisi pergulatan. Dan itu berarti perjuangan. Yang semuanya adalah jalan panjang. Maka, hanya kesabaranlah yang sanggup melaluinya. Mengisinya dengan begitu banyak kebaikan. Tanpa merusak dan menghancurkan. Kesabaran menjalani setiap proses. Kesabaran menitinya dengan doa dan usaha. Bahwa di setiapnya akan tumbuh begitu banyak kebaikan. Hingga Allah mengantar kita pada sebuah titik, yang terangnya telah menyilaukan. Entah kapan. Tapi yakinlah ada. Untuk diri kita. Untuk keluarga kita. Untuk masyarakat kita. Untuk bangsa kita. Untuk Islam dan tegaknya. Untuk semuanya yang berbalut cahaya. Aamiin.

Terakhir, jika teknis penulisannya dan senjata-senjata ES Ito untuk terjun ke medan perang publik – dimana mba-mba dan mas-mas jagonya di milis FLP ini – telah terasah dan jam terbangnya sudah tinggi, saya yakin saya akan lebih bahagia setelah membacanya. Saya ingat, saat itu pukul 11:58 tengah malam saat saya menutup novel ini dan tersenyum sambil menutup mata. Tertidur. Dan setelahnya saya bermimpi tentang semburat ungu dan hijau yang bertebaran acak. Indah sekali.

Baiklah, Bapak ES Ito yang terhormat, tetap semangat berkarya, saya tunggu karya berikutnya dengan berjuta pemikiran, idealisme, semangat, gelisah, harap dan cita untuk sebuah perubahan. Ke arah yang lebih baik. Pastinya.

Desi Novita Sari