Sunday, October 16, 2005

..Virtue...

“Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talent are to some extent a gift. Good character, by contrast, is not given to us. We have to build it piece by piece – by thought, choice, courage and determination”

Karakter yang baik, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit --- dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras

( John Luther )

Bismillahirrohmaanirrohiim....

Sepenggal pagi. Tapi diskusi mulai menghangat. Apalagi topiknya kalau bukan BBM dan segala efek sampingnya. Saya banyak diam. Mendengarkan. Menatap wajah-wajah bersinar di hadapan saya.

Salah seorang teman bercerita tentang satu kisah menarik saat berdiskusi dengan BPS Bogor. Setelah KKB (Kartu Kompensasi BBM) dibagikan, sekitar 7000 masyarakat yang menyatakan miskin ramai-ramai mengunjungi BPS. Mereka mengklaim lurah dan anggota BPS yang curang dan tidak akurat. Nah, saat ribut berdebat itulah, terdengar bunyi suara handphone yang ternyata dari kumpulan masyarakat miskin tadi. Kontan saja anggota BPS tadi berkata : ’Pak, handphone bapak saja lebih mahal dari handphone saya, masa bapak mau mengklaim sebagai masyarakat miskin....’ Bapak itupun segera menghilang. Malu, tentunya. Hahaha.... tawa pun berderai.

Tapi yah begitulah, meski dengan empat belas karakteristik miskin yang ditetapkan, masih sulit mendefinisikan miskin itu sendiri. Karena sejujurnya saya pikir, pada masyarakat kita, miskin itu sudah menjadi mentalitas. Bukan lagi kondisi dan keadaaan. Tapi karakter.

Teman yang lain berbagi sebuah cerita, tentang sebuah kampung di daerah Sumatera tempat mertuanya tinggal, berpenghasilan perbulan hanya Rp 200.000. Tapi percaya atau tidak, sekitar Rp 150.000 dibelanjakan untuk kredit DVD. Sisanya ya untuk hidup sehari-hari. Saya menggeleng kuat. Inilah yang saya sebut mentalitas miskin.

Lain lagi cerita di Bogor. Agak memilukan memang mengingat Bogor dekat sekali dengan Jakarta, tempat peradaban berpusat. Di Bogor, ditemui kasus kaki gajah, busung lapar, polio bahkan flu burung. Nah, bicara tentang kasus busung lapar, saat turun lapangan, ada beberapa diantara mereka memiliki televisi, dvd dan perhiasan emas. Kurangnya pendidikan, memang. Menimbang mana yang penting dan mana yang tidak penting. Tapi mentalitas miskin inilah yang membuat mereka menilai ’bungkus’ terlalu tinggi dan mengabaikan ’isi’. Menilai tinggi sesuatu yang tampak diluar dan mengabaikan tumbuh kembang didalam. Memilih membeli televisi dan dvd ketimbang membeli susu untuk gizi bayi-bayi mereka.

Saya jadi teringat cerita dikantor. Dalam obrolan lainnya. Bos baru saya, kebetulan orang India, bercerita bahwa dia sudah menjelajahi seluruh mall di jakarta dan dia takjub setiap kali memasukinya. Saya heran, memangnya di negeri asalnya tidak ada, dan dia dengan tegasnya mengatakan tidak ada. Ooh, saya paham, dia dulu di Bangalore, bukan pusat India. Aaah, tapi jika Bangalore disamakan dengan Semarang – sama-sama bukan ibu kota -- , masih timpang juga, bahkan di Semarang pun mall-mall besar berdiri megah.

Rekan kantor saya dengan sinisnya berkata, yah, itulah mentalitas Indonesia. Lihat, mall-mall mewah berdiri megah, sedangkan pusat pendidikan terabaikan. Buku-buku mahal sekali. India, lanjutnya, mungkin seperti bos saya bilang, no mall at all, atau setidaknya tidak ada yang semewah di Indonesia, tapi di Kompas pernah dimuat profil sekolah kedokteran terbaik di dunia dan adanya di sana. Hhh…

Rekan kantor lainnya berkata, adiknya yang kebetulan baru pulang dari menyelesaikan S3-nya di Inggris dengan herannya berkata handphone-handphone di Indonesia bagus-bagus ya. Semua handphone terbaru, ada dan dibeli. Sedang di Inggris yang notabene negara adidaya, gaungnya tidak seperti ini. Mmmh… saya jadi ingat beberapa kenalan saya yang menghabiskan gaji satu dua bulannya hanya untuk membeli handphone jenis terbaru. Padahal dia baru bekerja hitungan bulan. Style, des, katanya. Saya cuma menggeleng. Yah, antara paham dan heran, tapi inilah mentalitas masyarakat Indonesia kebanyakan. Lebih menyukai ‘bungkus’, daripada ‘isi’.

Mentalitas. Karakteristik. Apapun namanya, jika telah mendarah daging, berat untuk dilepas. Karena karakter itu ibarat otot. Otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih. Sebaliknya, ia akan kuat dan kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan yang terus menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Otot-otot karakter juga akan terbentuk melalui praktik-praktik latihan, yang akhirnya akan menjadi kebiasaan.

Kembali pada forum diskusi pagi ini. Saya khawatir jika tidak ada yang berubah dengan mentalitas miskin bangsa ini tahun-tahun mendatang, KKB yang katanya merupakan usaha awal untuk meluncurkan kartu jaminan sosial untuk orang miskin akan justru memperberat masalah bangsa kita. Hahaa.... karena alasan sederhana, orang-orang justru akan berebut menjadi miskin dan malas bekerja. Wong, sekarang pun, ada satu BPS yang kebanjiran komplain masyarakat miskin sekian ribu orang, yang jika dihitung awal jumlah pendemo dengan masyarakat yang telah mendapat KKB totalnya 90% dari masyarakat keseluruhan. Ini berarti 90% nya masyarakat daerah tersebut miskin dong. Yupp !!!

Mengutip ucapannya Al Ghazali kalau akhlaq adalah tabiat atau kebiasaan dalam melakukan hal-hal yang baik. Jadi, karakter ’miskin’ tadi meski sudah menghujam jauh ke akar masyarakat kita baik menengah kebawah atau pun keatas, harus berusaha kita lepas. Dimulai dari unit terkecil kehidupan kita. Mustahil? Yakinlah, tidak kok. Berat? Tentunya. Tapi jika itu membuat kita jatuh dan terpuruk pada akhirnya, boleh kan kalau kita bangkit dan berdiri lagi ?

Hhhh.. banyak sekali yah pe er kita, ujar Teteh di ujung sana dengan senyum yang luar biasanya teduhnya. Kami mengangguk. Kuat tapi perlahan. Dan pagi pun beranjak siang.

“Virtue is the muscle tone that develops from daily and hourly training of spiritual warrior”

Karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual.

(Tolbert Mc Caroll)

Terinspirasi oleh tulisannya Ratna Megawangi, pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF); sebuah yayasan yang bergerak dalam pengembangan model “Character-based Holistic Education”.