Friday, March 11, 2005

True love doesn't have a happy ending, because true love doesn't have an ending

“True love doesn’t have a happy ending, because true love doesn’t have an ending.”

Entah apa ya namanya, jika seseorang melihat keletihan sebagai sesuatu keindahan. Jika memandang kepenatan sebagai sebuah kelegaan. Atau sekedar menganggap paksaan pada setiap derap langkah yang tercipta itu sebagai sebuah hal indah yang mengabaikan makna kepedihan.

Wah, saya tidak sedang membicarakan ‘pink’ lagi, tapi mungkin erat kaitannya dengan bilik-bilik hati kita yang mulai terisi dengan sebuah cinta yang lain. Yang seharusnya lebih mulia. Pasti.

Saya seperti nenek-nenek nih yang selalu memulai hal dengan bercerita, tapi yah, terkadang setiap patah kehidupan entah berepisode suram ataupun cerah memiliki makna yang nilainya lebih dari ‘nilai’ itu sendiri. Jika kita mampu mengevaluasi seseorang yang terpuruk karena sebuah kesulitan yang menghadang, dengan memahami mengapa sulit itu menerjang dan merenungkan pisau untuk memangkas ‘sulit’ itu, bukankah lebih merentangkan waktu berharga yang kita miliki, daripada hanya tenggelam dalam sebuah emosi, entah itu tawa atau derita ?

Seorang teman—lagi :)-- pernah berurai gelisah ketika ia merasa lelah tak berjera saat mengikuti sebuah kepanitiaan. Mmmh…bukan kepanitiaan lingkup dakwah fakultas seperti FSI. Melainkan kepanitian lingkup lain yang lebih umum. Acaranya terbilang sukses, bahkan surplus puluhan juta. Tapi justru hal itulah yang membuatnya bingung, mengapa dengan sebuah akhir yang gemilang namun justru kondisi hatinya terpuruk ? sepertinya ada sesuatu yang tercabut di jiwanya, hanya menyisakan kering tak berkesudahan dan kepiluan yang bertambah mengiringi ketidaktahuannya akan pemicunya.

Saat itu sore dan hebatnya air mancur di taman FEUI sedang indah-indahnya. Sedang langit ceria dengan pelanginya. Kisahnya berlanjut, hari-hari kerjanya diisi dengan beraneka target dan dead line, berbagai tekanan dan tuntutan. Melelahkan jelas, tapi karena ia seorang koordinator tak pantas rasanya menyebut ‘lelah’ bahkan sekali pun. Khawatirnya, rasa lelah itu menyebar ke staf-staf dibawahnya dan menghambat langkah kegiatan yang tersendat.

Sedang Sang PO cukup bersemangat untuk mengobarkan kata ‘motivasi’ , dalam setiap celah kegiatan atau rapat-rapat, bapak PO tidak lupa mengingatkan bahwa kerja ini menyusung nama UI, kinerja yang buruk akan selalu dikaitkan ke nama besar UI dan itu memalukan hasilnya berlipat-lipat ganda. Itu yang didengung-dengungkan selalu. Nama besar UI tidak berhak tercoreng hanya karena kinerja sebagian mahasiswanya separuh dari maksimal. Tidak Berhak , tandasnya jelas !!

Pada awalnya, hal tersebut cukup efektif, tapi tidak untuk jangka waktu yang menyentuh belasan bulan. Baterai energi ‘hanya untuk menyenangkan UI’, ‘hanya menjaga kebesaran nama UI’, ‘hanya untuk menunjukkan bahwa UI masih berjaya dalam segala bidang’, hanya itu semua ternyata tidak cukup untuk menjaga keberlangsungan energi kerja. Terlalu kecil kapasitas hal itu sedang supply energi yang dibutuhkan terlalu besar dan menuntut kontinuitas.

Buktinya, banyak yang berjatuhan, tidak sedikit yang berguguran, dan sungguh tidak jarang yang menghilang saat tuntutan dan roda kerja semakin meninggi.

Akhwat –teman saya tadi lho—pun menghela napas panjang dan dalam rasanya. Mungkin untuk mengisahkan sesuatu yang menghujam rasa seperti ini harus membuka isi lemari jiwa di kalbunya, yang mungkin sebenarnya enggan ia buka. Terlalu menyakitkan sepertinya…

Ia pun menyuplai energinya dengan ungkapan sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai koordinator, that’s it and that’s all… Tidak untuk hal lain, tidak untuk sebuah visi yang terpatri dalam benaknya dan tercermin dalam tekadnya untuk mewujudkannya nyata…Tidak untuk hal-hal seperti itu….Hhhh…

Poor you, honey…itu hal pertama yang terpintas di benak saya….

Jika, hidup hanya berujung pada satu bundaran titik,
Jika, hidup hanya berputar pada selapis garis tipis,
Jika, waktu demi waktu yang terseret berpendar pada pijar cahaya yang melemah,
terus memudar,
meski letih,
terus berpendar,
walau galau,
pada lingkup yang sedemikian rentan,
masih sanggupkah kata ‘hidup’ dieja ?

Sungguh, tidak bermaksud puitis dan menyulitkan,
Tapi…yeah.. terkadang hidup memang tampak menyedihkan jika tonggak acuan kita hanya sesosok ‘makhluk’…..

Satu sosok yang memiliki ragam rupa,
Satu sosok yang berbaju macam rasa,
Satu sosok yang tidak menyodorkan kita apapun, selain tanda tanya besar yang kian mengawang, dan bergumpal-gumpal kelam yang timbunannya melambung….

Duh, afwan yah, jika tiap deret disini sulit dicerna, tapi bukankah sastra itu memperhalus budi pekerti ? :) ----big smile---

Saya hanya berpikir, tidakkah terlalu melelahkan jika terlalu bergantung pada ‘sekedar’ pendapat orang lain ?
Tidakkah terlalu memperberat beban di pundak jika pusat seluruh gerak dan rasa berlabel ‘asal orang lain senang’ ?
Dan saya pikir itu menyedihkan…

Terlebih jika alur lajunya sebuah tindakan tetap kita hidupkan dengan bertolak dari pikiran pendek yang sempit dan mungkin ---afwan--- picik…
Seakan seseorang hidup dalam garis tipis sesaat, terlalu micro bukan ?
Seakan ia tidak pernah menjulangkan raganya untuk sekedar melihat dimanakah posisinya dalam bagian yang global !

Hhhh…

Seperti halnya setiap jejak yang coba kita tancapkan,
bukankah terasa lebih indah jika larasnya disejajarkan dengan sebentuk arti kehadiran kita kala menghirup segarnya kehidupan ?

Jika, makna sebuah kehadiran berarti menggapai cinta Allah,
Jika, tiap tarikan napas mencoba mengais cinta Allah,
Jika, segarnya udara yang mengarungi rongga di jiwa berhawa cinta Allah,
Maka,

Lelah kita pun karena Allah,
Pedih kita pun sebab Allah,

Marah kita pun,
Sakit kita pun,
Haru kita pun,
Gumpalan biru jiwa kita pun,

Mesti bermula karena Allah…

Dan, bukankah tebaran cinta Allah jauh tak berbatas ?

Jadi, entah senggang, entah sibuk, sungguh damainya dapat merenungi tiap hal yang membuat kita haru, letih, pedih, bahkan gundah…
dan melantunkan nadanya hanya untuk memastikan apakah larasnya berpadu utuh dengan cinta Allah…

Mungkin, ukh, kala terluka, dan meredam duka saat direndahkan,
atau, akh, saat gentar atau amarah yang memuncak bila dihujat,
seluruhnya mesti berlapis keikhlasan dan kerelaan pada Allah jua….
dan berakhir pada peniadaan gumpalan demi gumpalan yasng menyumbat…

Tapi, akh, jika yang direndahkan adalah islam,
dan ukh, jika yang dihujat adalah muslim,
itulah saat rasa harus nyata terwujud…
entah apa pun itu…


Karena, cinta Allah cinta sejati, belum tentu berakhir bahagia, karena cinta pada-Nya tak memiliki akhir…

Untuk semua FSI-ers....
Jika diawal telah sedemikian berat, sangat bahkan, mungkin kita harus memacu semangat dan amal lebih lagi sepanjang tarikan napas, karena cinta Allah yang kita tuju, tidak yang lain…

Dedicated to my beloved team, muxon, iffan & muti :
sulit, karena kita tidak serupa
beda tindak, beda rasa
tapi mudah, karena kita satu iman
satu Allah, satu cinta
tidakkah itu cukup ?

Taken from my my mail to FSI milist
June 2004