Friday, March 11, 2005

Adalah Membangun Peradaban...

“When you put faith, hope and love together, you can raise positive kids in a negative world.” (Zig Ziglar)

Saat beranjak menuju pernikahan, saya teringat pesan seorang teman, cukup singkat, tapi sarat makna. Menikah adalah membangun peradaban. Saya sempat terpaku beberapa saat. Hanya empat kata, tak lebih, tapi mengapa serasa pundak saya dilimpahi beban dua buah gunung sekaligus. Betapa beratnya…

Cukup lama waktu yang saya arungi untuk menyelami maknanya. Saya yakin, pada dasarnya, jauh di kedalaman benak saya, saya paham konsep tersebut. Tapi, entah mengapa, rasanya pernikahan terlampau indah jika dikaitkan dengan sesuatu yang membuat payah tulang-tulang sendi kita.

Peradaban adalah bentukan dari sebuah proses panjang yang melelahkan. Kata tersebut diidentikkan dengan sebuah perubahan yang diawali oleh perguliran masa, pkiran, tindakan, dan kebiasan yang hanya mengarah kepada sesuatu yang lebih baik lagi. Mendekati kebenaran. Menuju kesempurnaan. Serumit itu ? Ya, bahkan proses membangun peradaban lebih pelik lagi.

Namun, perlahan saya mampu menangkap inti konsep tersebut, setelah ---kembali--- seorang teman bertanya “Sudah siap menjadi ibu?”
“Terlampau jauh ah”, saya menepisnya., “harusnya pertanyaannya diubah menjadi ‘sudah siap menjadi istri?’, lha menikah saja belum kok”
“Bukankah menjadi seorang ibu adalah konsekuensi logis dari sebuah pernikahan ? Harusnya pertanyaan mengenai kesiapan menjadi seorang ibu ditanyakan pertama kali, karena hal itu bukan sesuatu yang ringan, mendidik generasi, membangun peradaban.”

Meski seketika dada saya sesak dipenuhi sebuah pemahaman baru, pundak saya terasa berat dan payah karena konsekuensi dibalik konsep ini. Bahwa pernikahan tidak hanya bunga-bunga yang mewangi dan bertebaran dimana-mana atau kapal-kapal pesiar dengan cahayanya yang gemintang, tapi juga ada tugas mulia yang baru untuk mendidik generasi yang jelas membutuhkan kesiapan mental yang kuat serta kelapangan hati yang ikhlas serta pengetahuan yang memadai. Meletakkan bata-bata kecil untuk proses pembangunan peradaban.

Dan mungkin inilah yang tidak disadari, atau disadari tetapi tidak diamalkan oleh sebagian besar pasangan yang hendak menikah. Hingga sedemikian seringnya kita mendengar dan melihat hal-hal yang seharusnya tidak terjadi, seperti kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual dan lain-lainnya yang tercela yang merupakan pemangkasan dari hak-hak anak.

Terlihat segala sesuatunya kini terasa berat, ya memang inilah yang harus dihadapi. Bahwa semuanya ini tidak mudah, meski jauh dari kategori sulit. Tapi, sungguh, jangan buat jadi terlalu berat. Itu adalah pilihan, membuatnya menjadi berat atau menjalaninya apa adanya.

Bukankah meski burung tercipta dengan kemampuan terbang tapi justru ia mesti tertatih-tatih untuk mengepakan sayapnya ? Karena Allah mengiringinya dengan terpaan angin yang kuat. Tetapi itu tidak membuat burung itu enggan terbang, dan berakhir kematian. Sebaliknya, justru membuatnya lebih kuat dan lebih bahagia mengelilingi cakrawala.

Dan, angin adalah bentuk cinta Allah, begitupun halnya dengan sayap…

Tidakkah manusia sama dengan burung. Ia ditakdirkan menanggung beban yang ditolak gunung. Beban yang berat, tentu. Tapi ia pun diberi akal, fisik yang kuat, dan jangan lupa iman dan islam. Lantas, apakah semuanya bergulir mudah ? Sebandingkah ? Atau manusia mengeluh, merasa enggan bergerak, berhenti, membusuk dan lalu mati ?

Disinilah letak pilihan kita. Pilihan yang harus ditentukan diawal, diluruskan di pertengahan dan disempurnakan di akhir. Dan Allah Maha Kuasa dengan melimpahkan kebebasan penuh pada kita untuk memilih, mengambil keputusan. Sedang akal dan islam adalah cinta Khalik pada makhlukNya, demikian pula beban yang ditanggung.

Baiklah, saya rasa kita semua sudah harus menetapkan pilihan, hilangkan segala kecemasan dan ketakutan diawal. Bahkan enyahkan perasaan terkungkung dengan beban berat yang membelenggu. Coba lihat sisi lain, tidakkah betapa beruntungnya kita, dianugerahi tugas mulia ini, ikut menentukan kemana arah generasi berpacu dan bentukan peradaban di masa membentang jauh setelah kita. Terbayang ? Berarti kita bisa melangkah pada pembahasan berikutnya.

Bahwa menikah, berkeluarga dan memiliki anak telah terpatri dalam benak kita dan sudah terinternalisasi dalam diri-diri kita adalah bekalan awal kita untuk mencoba mewujudkan sebuah peradaban yang tidak hanya sekedar guratan tindakan pada waktu, tapi juga cukup berharga untuk dikenang bagi pondasi awal perbaikan di masa yang mengikutinya. Selanjutnya adalah memahami bagaimana membahasakannya melalui tindakan terhadap anak-anak kita.

Seperti yang saya kutip dari Zig Ziglar. Ada tiga hak asasi dari seorang anak yang tidak boleh kita abaikan begitu saja. Mesti terpenuhi secara utuh. Ketimpangan sedikit saja memiliki effect multiflier yang mengerikan.

Pertama, faith. Iman. Saya sering memasangkannya dengan cinta, karena keduanya tidak terpisahkan. Iman, kata Anis Matta, adalah lautnya, sedangkan cinta adalah ombaknya. Iman yang memperhalus budi pekerti. Membuatnya kukuh saat sekeliling sedemikian goyah. Membuatnya tegar saat setiap benda tumbang. Dan membuatnya sanggup bertahan ketika setiap hal rapuh dan rentan.

Kedua, hope. Harapan. Harapan adalah lilin terakhir yang berhasil bertahan menerangi kepekatan kondisi yang melilit kita disaat lilin-lilin lainnya telah padam tersapu angin. Dan kemampuan memiliki harapan harus diajarkan pada anak-anak kita. Karena sebenarnya anak-anak itu sendiri adalah perwujudan dari sebuah harapan. Seperti semburat cahaya mentari yang tersembunyi dibalik dahan-dahan pohon di pagi hari. Seindah itu.

Ketiga, adalah love. Cinta. Tidak perlu berkisah banyak tentang ini. Cinta adalah seluruh makna tanpa perlu dideskripsikan.

Dan, jika tiga hak ini dipenuhi utuh, sesuram apapun kondisi disekitarnya, ia akan sanggup tumbuh dengan baik dan bersinar. Betapa memprihatinkannya mengetahui banyak keluarga yang retak karena tiga hal tadi tidak terpenuhi, atau terpenuhi namun tidak dengan porsi yang seimbang. Bukan proporsi faith:hope:love sama dengan 100% dibagi tiga. Tapi faith itu 100%. Hope pun 100%. Dan love pun penuh 100%.

Saya terbiasa menggunakan kereta ekonomi jabotabek setiap hari untuk pergi ke kampus. Sungguh mencubit-cubit hati jika melihat begitu banyaknya ibu-ibu yang menggendong anaknya lalu berjalan tertatih-tatih untuk mengemis. Atau anak-anak dibawah umur yang bekerja menggotong dagangan menjual minuman ringan di sepanjang kereta. Salah siapa ? Kedua orang tuanya ? Yang bahkan mempertahankan hak-hak dirinya pun sulit. Disinilah letak berbagi. Idealnya, janda-janda dan anak-anak terlantar adalah kewajiban negara. Pemerintahlah yang seharusnya memenuhi hak-hak mereka. Namun jika pemerintah sendiri tidak sanggup, karena memang pincang oleh keboborokan para politisinya, disinilah letak berbagi.

Hak-hak asasi anak-anak yang telah saya jelaskan sebelumnya bukan hanya harus dipenuhi oleh orang tuanya, tapi juga pemerintah dan terutama peran kita sebagai sesama manusia. Karena itulah cinta. Semuanya cinta.. Agar manusia menjadi kuat, berharga, bahagia dan mulia…di hadapan-Nya tentu….tidakkah demikian ?

* * *

Maret, 2004